Suara.com - Kamis (20/10/2022) hari ini tepat tiga tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan catatannya.
KontraS memberikan catatan tiga tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, salah satunya adalah penuntasan peristiwa pelanggaran HAM berat Paniai yang kekinian proses peradilannya sedang berjalan di Pengadilan HAM Berat di Makassar.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tioria Pretty Stephanie mengatakan, peradilan kasus tersebut sangat buruk dan mengecewakan.
"Pengumuman penyidikan jelang Hari HAM Sedunia di 2021 seolah menjadi angin segar bagi situasi penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia. Namun seiring berjalan, penyidikan ini yang justru menjadi masalah bagi buruknya proses pengadilan HAM yang masih berlanjut sampai hari ini. Kita dihadapkan pada hasil penyidikan yang mengecewakan," kata Tioria saat menggelar konferensi pers, Kamis (20/10/2022).
Baca Juga: Sidang Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai: Saksi Sebut Korban Ditembak dan Ditikam
KontraS menyayangkan hanya terdapat satu tersangka, yakni Isak Sattu seorang purnawirawan TNI yang bertugas sebagai Perwira Penghubung di Kodim 1705/Paniai saat peristiwa terjadi. Padahal, peristiwa ini dikonstruksikan sebagai kejahatan kemanusiaan dalam bentuk pembunuhan dan penganiayaan yang juga dikaitkan dengan pasal rantai komando.
Kemudian KontraS juga menyoroti proses persiapan persidangan Pengadilan HAM Berat oleh Mahkamah Agung, yang mereka nilai dilakukan secara tidak optimal.
Untuk diketahui, peristiwa kekerasan Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014, kemudian sidang perdananya digelar pada Rabu 21 September 2022.
"Lamanya jeda waktu antara Pengadilan HAM sebelum peristiwa Paniai ini membuat seolah kekuasaan dan lembaga negara terkait gagap untuk menyelenggarakan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai. Tercatat bahwa Mahkamah Agung baru melempar informasi perekrutan Hakim Ad Hoc di tanggal 20 Juni 2022 sehingga menyebabkan prosesnya menjadi tergesa-gesa," tuturnya.
Pada proses persidangannya masih berjalan dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli. Namun yang disayangkan belum ada pelibatan dari para korban dan keluarga korban.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Berat Paniai Hanya 1 Terdakwa, KontraS: Jaksa Jangan Terkesan Lindungi Pelaku!
"Tidak adanya pelibatan para penyintas dan keluarga korban sebagai saksi dan pihak yang harus dipenuhi pemulihannya. Pihak penyintas dan keluarga korban bersama dengan sejumlah pendamping di Paniai menyampaikan kekecewaan mendalam akan proses hukum yang berlangsung yang justru menjadi pintu ketidakadilan berikutnya," papar Tioria.
"Lambannya tindak lanjut proses hukum meski warga sudah kooperatif, dipilihnya lokasi pengadilan di Makassar meski ketentuan hukum memungkinkan Pengadilan HAM untuk diselenggarakan di Papua serta terdakwa yang hanya berjumlah satu orang menjadi faktor di balik pilihan mereka," sambungnya.
Atas sejumlah catatan itu, Tioria mengkhawatirkan proses persidangan tidak akan memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarganya, sehingga pada akhirnya sedang yang berjalan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi dinilai kembali memberikan impunitas bagi para pelakunya.
"Ketiadaan para penyintas dan keluarga korban sebagai saksi di Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai menyebabkan narasi yang berkembang kembali menyudutkan korban.Berbagai penggambaran perilaku warga ditonjolkan seolah menjadi pembenaran dari tindakan kekerasan dan penanganan yang tidak terukur dari aparat saat kejadian meletus," katanya.
"Dengan kondisi seperti ini, Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai yang sebelum prosesnya berlangsung sudah diklaim secara sepihak apresiasinya berpotensi untuk berakhir antiklimaks layaknya tiga Pengadilan HAM sebelumnya dan impunitas tetap merajalela," sambung Tioria.
Diketahui, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat pada 3 Februari 2020. Peristiwa tersebut berlangsung pada 7-8 Desember 2014, menewaskan 4 warga sipil dan 21 orang menjadi korban penganiayaan.