Suara.com - Sarah Brown BBC Travel
Tinggal di pulau terpencil yang tandus dengan sedikit sumber daya, orang-orang asli Rapanui perlu menggabungkan desain yang cerdik dengan pahatan yang sempurna untuk memindahkan moai raksasa tanpa mesin apa pun.
Angin pantai menerpa wajah saya ketika saya menjulurkan leher demi melihat 15 moai (patung-patung monolit yang dipahat oleh orang-orang Rapanui) yang berjejer di depan saya.
Berdiri setinggi dua lantai dan membelakangi Samudra Pasifik dengan ombaknya yang kuat, rongga mata patung-patung yang kosong—dulu dihiasi dengan karang puting batu skoria merah—menatap terus menerus di sepanjang Pulau Paskah.
Baca Juga: Bukan Cuma di Makan, Ahli Ungkap Bagaimana Manusia Prasejarah Asia Manfaatkan Burung
Tubuh mereka diukir dengan simbol-simbol yang penuh teka-teki. Demikian halnya wajah mereka, dengan alis yang menonjol dan hidung yang memanjang, tampak sangat manusiawi dan ilahi pada saat yang sama.
Saat ini, ada 887 moai yang tersebar di Pulau Paskah, atau Rapa Nui, sebagaimana penduduk lokal menyebut pulau itu.
Sebanyak 13 moai berdiri di alas Ahu Tongariki, tempat ritual terbesar di pulau terpencil di Samudra Pasifik, yang menjadi bagian dari negara Chile itu.
Dengan kepala patung-patung itu yang berukuran terlalu besar dan tubuh tanpa kaki, saya merasa sulit membayangkan bagaimana patung monolitik raksasa ini—yang beratnya mencapai 88 ton dan dibangun setidaknya 900 tahun yang lalu—bisa sampai di pulau terpencil ini.
Akan tetapi, bukan hanya saya saja yang kebingungan: para peneliti telah lama bertanya-tanya bagaimana moai yang berat ini bisa diangkut secara manual melintasi pulau.
Baca Juga: Jantung Tertua di Dunia Ditemukan di Dalam Fosil Ikan Prasejarah
Bagaimana patung itu ‘berjalan’?
Beberapa teori telah diajukan, termasuk menggunakan kayu gelondongan untuk menggelindingkan patung, hingga keyakinan adanya bantuan ekstra-terestrial.
Namun, tampaknya rahasianya terletak pada perpaduan desain yang cerdik dan pahatan yang sempurna, yang memungkinkan patung-patung mirip manusia ini berdiri tegak dan bergoyang ke depan dari sisi ke sisi sambil dipandu oleh tali, memberikan patung-patung itu kemampuan untuk "berjalan".
Gerakannya akan serupa dengan gerakan lemari es yang dipindahkan dalam posisi berdiri, dengan masing-masing sisi beringsut ke depan satu per satu.
"Namun Rapanui [masyarakat Polinesia asli yang tinggal di Rapa Nui] melampaui itu dan benar-benar mengukir dasar patung dan menambahkan sudut tertentu sehingga patung itu bergerak lebih baik," jelas Carl Lipo, seorang arkeolog yang mengkhususkan diri pada penelitian mengenai moai dan penulis utama studi tahun 2013 tentang bagaimana patung-patung itu bergerak.
Penelitiannya melibatkan replika patung seberat lima ton yang berhasil “berjalan” menggunakan metode yang dijelaskan sebelumnya.
Teori patung berjalan yang diusulkan oleh Carl Lipo, “menyatukan sejarah lisan dan sains”, menurut Ellen Caldwell, profesor sejarah seni di Mt San Antonio College di California.
Caldwell adalah pakar dalam seni kelautan kuno.
Perempuan itu menjelaskan bahwa patung berjalan adalah bagian dari tradisi lisan orang-orang Rapanui, dengan kata “neke-neke”, yang dalam bahasa Rapanui berarti “berjalan tanpa kaki”.
Dia juga mengungkapkan bahwa sejarah lisan inilah yang dikenang oleh para tetua dan keturunan Rapanui, kala menjawab pertanyaan bagaimana moai dipindahkan melintasi jarak yang sangat jauh tanpa mesin apapun.
"Ada banyak lagu dan cerita leluhur yang berbicara tentang patung berjalan"
Pantun yang sering dilantunkan anak-anak Rapanui juga bercerita tentang patung berjalan; dan legenda menyebut seorang kepala suku yang memiliki mana, atau kekuatan gaib, membantu moai berjalan.
"Tradisi lisan yang ada di pulau ini mengisahkan moai berjalan dari tempat di mana mereka dibuat, ke tujuan akhir mereka di atas altar," kata Patricia Ramirez, yang telah tinggal di Rapa Nui sejak dia berusia lima tahun dan sekarang bekerja di sana sebagai pemandu wisata.
"Secara tradisional, satu-satunya cara sejarah diturunkan di pulau ini adalah melalui lagu, nyanyian, permainan, dan puisi. Ada banyak lagu dan cerita leluhur yang berbicara tentang patung berjalan."
Betapapun, kendati penduduk setempat telah lama membicarakan patung-patung itu berjalan, butuh lebih dari dua abad bagi para sarjana asing untuk menerima metode pengangkutan moai ini.
“Orang-orang Eropa dan peneliti lain mengatakan, ‘tidak, pasti ada cara lain, tidak mungkin seperti ini,” kata Lipo.
“Tak terbayangkan oleh kami bagaimana cara menggerakkan patung itu selain dengan melibatkan banyak orang. Ini ternyata tidak benar. Catatan arkeologi benar-benar menunjukkan hal itu.”
Bagaimana patung itu diciptakan?
Hampir semua patung dibuat di tambang batu vulkanik Rano Raraku sebelum diangkut ke alas batu (dikenal sebagai ahus) di berbagai titik di garis pantai pulau.
Penelitian yang dilakukan Lipo menemukan bahwa patung-patung yang belum selesai di tambang dan patung-patung terbengkalai yang tergeletak di sisi jalan pulau – yang perlu dipindahkan – memiliki dasar yang lebih lebar dibandingkan dengan patung yang berdiri di atas ahus.
Patung-patung itu juga mencondongkan tubuh ke depan sekitar 17 derajat, menyebabkan pusat massa diposisikan tepat di atas tepi bawah depan yang membulat.
Penyesuaian ini memungkinkan patung untuk berguling dari sisi ke sisi dan diangkut ke tempat terakhir mereka.
"Yang menakjubkan adalah bahwa mereka sangat condong ke depan, mereka tidak bisa berdiri sendiri karena mereka akan jatuh ke depan," katanya.
Ciri-ciri ini menunjukkan bahwa model moai ini disesuaikan dengan "cara berjalan kita sendiri", kata Lipo, menjelaskan bahwa ketika kita berjalan, kita memutar pinggul dan jatuh ke depan.
"Rapanui pada dasarnya menciptakan struktur yang bisa melakukan hal yang sama. Saat patung itu condong ke depan, patung itu jatuh dan bergerak melintasi bagian depan untuk melangkah maju."
Ketika “berjalan”, Moai didukung dan dipandu oleh tali, dengan sekelompok orang Rapanui di setiap sisi patung memimpin tangga dan sekelompok kecil di belakang memantapkan gerakan.
Begitu patung mencapai ahu, pemahat batu akan memahat mata dan membentuk kembali alasnya untuk menyesuaikan pusat massa, memungkinkan patung berdiri tegak dengan sendirinya.
Mengapa Rapanui memilih membuat patung itu berjalan daripada menyeretnya atau menggelindingkannya di atas kayu gelondongan, menurut Lipo, demi alasan praktis.
Berat patung-patung itu akan menghancurkan kayu gelondongan, sementara menyeret moai sebesar itu akan membutuhkan tenaga kerja yang sangat besar.
Di pulau terpencil dan tandus yang memiliki sedikit sumber daya, berjalan dengan patung-patung akan menjadi metode yang efisien.
"Anda lihat teknik yang digunakan untuk membuat dan memindahkan moai dengan biaya paling murah. Orang Rapanui melakukannya dalam batasan pulau, pada dasarnya dengan kerja sama dan kecerdikan," katanya.
Proses dengan banyak percobaan
Perjalanan saya dari kawah Rano Raraku ke Ahu Tongariki hanya berjarak 800 meter, tetapi saya tidak mencoba memandu moai seberat 88 ton dengan beberapa tali.
Patung-patung lain yang saya kunjungi berdiri di ahus hingga 18 km jauhnya dari tambang, membuat perjalanan saya dengan sepeda di sana terasa lebih mudah dibandingkan dengan prestasi yang dicapai peradaban Rapanui kuno.
Membuat patung berjalan akan menjadi proses dengan banyak percobaan.
Sekitar 400 patung tetap berada di dalam dan di sekitar tambang Rano Raraku dalam berbagai tahap penyelesaian.
Menurut Lipo, itu adalah sebuah indikasi bahwa para pemahat batu menggunakan lembah itu sebagai laboratorium artistik untuk bereksperimen dengan berbagai prototipe sebelum mencapai salah satu yang dapat dipindahkan secara efisien.
"Ini benar-benar mendokumentasikan sejarah pengerjaan, eksperimen, upaya dan kegagalan," tambahnya.
Baca juga:
- Patung Yunani kuno ditemukan di Gaza
- Patung Discobulus: Yunani, Nazi, dan tubuh indah
- ISIS 'hancurkan' patung-patung kuno dari zaman Assiria
Setelah patung siap, patung itu akan dibawa keluar dari lembah dan dipandu menuju ahu.
Jalan kuno menuju Rano Raraku berbentuk cekung, yang membantu dan mendukung gerakan goyang moai dari sisi ke sisi.
Namun, tidak semua moai berhasil mencapai ahu mereka – beberapa kehilangan keseimbangan di sepanjang jalan dan jatuh dari jalan.
Pengunjung tambang akan melihat reruntuhan puluhan patung terbengkalai yang berada di lereng luar dan pinggir jalan; ini adalah tempat terbaik di pulau untuk merasakan banyaknya jumlah moai yang dibuat.
Studi Lipo menemukan bahwa moai yang jatuh ini memiliki jeda yang konsisten dengan jatuh dari posisi berdiri vertikal, memperkuat teori bahwa mereka berjalan.
Begitu patung itu mencapai tujuannya dan telah dibentuk kembali untuk memungkinkannya berdiri tegak, patung itu akan diangkat ke atas ahu.
Pada saat itu, moai kadang-kadang ditutup dengan topi batu yang disebut pukao untuk memberi mereka aringa ora (wajah hidup), atau, dengan kata lain, "bentuk manusia mereka", kata Jo Anne Van Tilburg, seorang arkeolog yang mengkhususkan diri dalam seni cadas Rapa Nui.
Memiliki penampilan seperti manusia penting bagi Rapanui, karena moai digunakan dalam ritual untuk orang mati dan untuk menghormati kepala adat Rapanui.
Orang-orang Rapanui percaya bahwa dunia orang hidup dan orang mati itu berkesinambungan, jelas Ramirez.
"Mereka tidak puas hanya secara simbolis mengingat nenek moyang mereka - mereka ingin memiliki gambar fisik untuk mewakili mereka," tambahnya.
"Dan itulah guna patung-patung moai. Mereka adalah wajah para leluhur yang telah meninggal."
"Kontak pertama dengan orang Eropa menghancurkan budaya mereka. Ini adalah kisah yang sama di semua pulau Polinesia"
Lipo mencatat bahwa para pemahat batu mungkin telah menyanyikan lagu-lagu seremonial saat patung-patung itu berjalan untuk menjaga ritme gerakan, dengan lagu-lagu yang berbeda untuk figur-figur berukuran berbeda agar sesuai dengan kecepatan gerakan moai.
Namun, sedikit sisa sejarah lisan orang Rapanui yang mengkonfirmasi hal ini.
"Banyak lagu dan cerita hilang karena penjajahan dan misionisasi," kata Tilburg.
"Kontak pertama dengan orang Eropa menghancurkan budaya mereka. Ini adalah kisah yang sama di semua pulau Polinesia."
Meskipun penelitian ilmiah menjawab banyak pertanyaan paling membingungkan tentang moai, kurangnya sejarah lisan dan tertulis membuat Rapa Nui diselimuti mitos.
Tapi elemen misteri inilah yang memikat saya – dan puluhan ribu turis lainnya setiap tahun – ke titik pulau terpencil ini.
Saya membayangkan 15 patung di Ahu Tongariki berjalan beriringan di tanah tandus, nyanyian surgawi memenuhi udara.
Namun setelah berjalan di jalan tak beraspal kuno di pulau Polinesia selatan ini, moai raksasa ini sekarang berdiri tak bergerak dan diam, konstruksi mereka berbicara banyak tentang kecerdikan pencipta mereka di masa lalu.
---
Versi Bahasa Inggris dari artikel ini, The ‘walking’ statues of Easter Island, bisa Anda simak di laman BBC Travel.