Suara.com - Polisi kembali menjadi bulan-bulanan setelah mengklaim gas air mata bukan penyebab banyak suporter Arema FC meninggal di tragedi Kanjuruhan.
Dalam konferensi persnya, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan tidak ada riset ilmiah yang membuktikan fatalitas gas air mata.
Justru Dedi mengklaim suporter yang berdesak-desakan di pintu keluar Stadion Kanjuruhan sebagai penyebab terjadinya petaka pada awal Oktober 2022 tersebut.
Pernyataan inilah yang menjadi buah bibir karena dianggap sebagai upaya "cuci tangan" dan melimpahkan penyebab tragedi Kanjuruhan kepada suporter.
Baca Juga: Diduga Demi Iklan, Siapa yang Bertanggung Jawab soal Jadwal Laga Malam Hari di Kanjuruhan?
Padahal para suporter itu pun menjadi korban tembakan gas air mata. Bahkan saat ini para penyintas tragedi Kanjuruhan belum sepenuhnya pulih akibat paparan gas air mata.
Bahkan kali ini pernyataan polisi kembali dibantah oleh jurnalis media internasional. Dilihat Suara.com di akun Twitter editor AFP Fact Check wilayah Asia, Yenni Kwok, ia tampak melampirkan pernyataan dari Asosiasi Paru-paru Amerika.
"Polisi Indonesia: Tidak ada ahli yang menyatakan paparan gas air mata dalam jumlah besar bisa mematikan. Padahal Asosiasi Paru-paru Amerika menyatakan hal sebaliknya," tulis @yennikwok, dikutip pada Selasa (11/10/2022).
Efek Paparan Gas Air Mata Menurut Asosiasi Paru-paru Amerika
Tangkapan layar unggahan Yenni Kwok diambil dari laman lung.org yang secara spesifik membahas mengenai dampak penggunaan agen pengendali kerusuhan alias gas air mata.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan Akhiri Sepak Terjang Nico Afinta Sebagai Kapolda Jatim
Asosiasi pakar kesehatan itu menyatakan paparan gas air mata dapat menyebabkan dada sesak, batuk, sensasi tercekik, bersin, hingga kesulitan bernapas.
"Selain itu, korban juga bisa merasakan sensasi terbakar di mata, mulut, dan hidung; penglihatan buram hingga kesulitan menelan," sambung Asosiasi Paru-paru Amerika.
Gas air mata juga dapat menyebabkan reaksi alergi hingga gangguan pernapasan. Gejala yang timbul bisa lebih buruk bahkan mematikan untuk orang-orang dengan komorbid gangguan pernapasan seperti asma dan penyakit paru-paru obstruktif kronis (PPOK / COPD).
PPOK sendiri merupakan penyakit paru-paru yang menghalangi aliran udara sehingga penderitanya kesulitan bernapas. Kerusakan paru-paru akibat PPOK tidak bisa dipulihkan sehingga penderitanya mungkin memerlukan inhaler darurat maupun steroid inhalasi atau oral untuk mengendalikan gejala.
"Dampak kesehatan jangka panjang lebih mungkin timbul apabila korban terpapar gas air mata untuk jangka waktu lama di tempat tertutup. Dalam situasi ini, paparan gas air mata dapat berpotensi pada kegagalan pernapasan hingga meninggal dunia," pungkasnya.
Pernyataan Polri tentang Penyebab Tragedi Kanjuruhan
Perihal tidak adanya riset ilmiah yang membuktikan gas air mata dapat bersifat mematikan adalah salah satu hal yang diungkap Kadiv Humas Polri dalam konferensi persnya, Senin (10/10/2022).
"Kalau misalnya terjadi iritasi pada pernapasan, sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah menyebutkan bahwa ada fatalitas gas air mata yang mengakibatkan orang meninggal dunia," terang Irjen Pol Dedi Prasetyo, dikutip dari ANTARA.
Ia mengklaim polisi telah melakukan diskusi dengan beberapa dokter saat mengunjungi rumah sakit tempat para korban dirawat. Hasilnya, tidak ada yang menyebutkan penyebab kematian korban adalah akibat gas air mata.
"Penyebab kematian adalah kekurangan oksigen karena terjadi desak-desakan, terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan, mengakibatkan kekurangan oksigen di pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini jatuh korban cukup banyak, jadi perlu saya sampaikan seperti itu," lanjut Dedi.
Namun pada kesempatan yang sama, Polri juga mengakui penggunaan gas air mata yang sudah kedaluwarsa saat mengendalikan massa di Stadion Kanjuruhan.