Suara.com - Investigasi tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang masih dilakukan. Peristiwa mematikan dalam sejarah sepak bola Indonesia itu dipicu oleh gas air mata yang membuat para suporter panik.
Kepanikan supoter itu berubah menjadi tragedi kala ratusan orang terhimpit dan terinjak-injak saat berusaha keluar dari Stadion Kanjuruhan. Mereka berusaha menghindari dari pedih dan sesaknya gas air mata yang terus ditembakkan aparat ke arah tribun.
Pemerintah Indonesia sendiri telah membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) untuk mengupas bagaimana kejadian mengerikan ini bisa terjadi. Meski demikian, sejauh ini pemerintah belum mengakui bahwa gas air mata menjadi pemicu ratusan suporter tewas.
Ini terlihat dari respons Presiden Jokowi, PSSI hingga kepolisian Republik Indonesia. Mereka sama sekali tidak membahas mengenai fatalnya gas air mata yang dilepaskan setelah pertandingan antara Arema vs Persebaya tersebut.
Respons Jokowi
Sebagai contoh, Presiden Jokowi sudah memeriksa langsung Stadion Kanjuruhan. Presiden melihat beberapa titik yang menjadi lokasi jatuhnya korban, salah satunya yaitu pintu yang terkunci di tribun selatan.
Presiden Jokowi juga meminta ada evaluasi besar-besaran untuk sepak bola Indonesia, tidak hanya dari mekanisme keamanan dan kenyamanan para suporter, tetapi juga hal-hal terkecil agar peristiwa yang sama tidak terulang kembali.
Namun yang disayangkan, Presiden Jokowi sama sekali tidak mengungkap fatalnya penggunaan gas air mata di stadion. Sebaliknya, orang nomor satu di Indonesia ini justru menyoroti curamnya tangga dan kondisi pintu terkunci di Kanjuruhan.
Respons Jokowi itu pun dikritik oleh anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Santoso. Ia menilai pernyataan Presiden Jokowi terkait tragedi Kanjuruhan kurang bijak.
Baca Juga: Tersangka Tragedi Kanjuruhan Diumumkan Polri Sore Ini
Hal tersebut dikarenakan Presiden Jokowi hanya membahas soal keamanan di Stadion Kanjuruhan, yaitu pintu dan tangga stadion.
Santoso menilai bahwa Jokowi tidak sama sekali membahas mengenai aparat kepolisian yang menembakkan gas air mata pada saat terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.
Bahkan, Presiden Jokowi dinilai seolah-olah pasang badan untuk politik karena pernyataannya tidak menyinggung soal penggunaan air mata.
Respons Polri
Polri menjadi sorotan tajam dalam tragedi ini. Ini tak lain karena kinerja anggota polisi dalam melakukan pengamanan massa. Diketahui, polisi menembakkan gas air mata dengan dalih menenangkan dan melerai massa yang berhamburan ke lapangan.
Penggunaan gas air mata yang berlebihan itu diduga menjadi penyebab terjadinya kepanikan massal, sehingga berujung celaka karena para suporter berdesakan ingin keluar dari stadion untuk menghindari gas air mata tersebut.
Namun, Polri sejauh ini tidak mengakui kesalahan fatal dengan menggunakan gas air mata. Padahal, aturan FIFA sudah jelas menegaskan gas air mata dilarang digunakan di stadion untuk pengendalian massa.
Mengenai itu, Porli justru sempat menilai "wajar" menggunakan gas air mata di Kanjuruhan. Kepolisian menyebut bahwa suporter Arema FC atau Aremania bertindak secara anarkis karena tidak bisa menerima kekalahan dari Persebaya.
Perilaku anarkis para suporter tersebutlah yang disebut-sebut oleh Polri menjadi alasan institusi tersebut menembakkan gas air mata. Polisi juga menyebut bahwa perilaku anarkis para suporter juga harus menjadi titik perhatian publik.
Respons PSSI
PSSI sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia juga tidak membahas fatalnya gas air mata. Sebaliknya, PSSI justru mengumumkan telah menemukan 42 botol minuman keras (miras) bersegel di Stadion Kanjuruhan.
Temuan tersebut menjadi salah satu catatan bagi PSSI. Pasalnya, organisasi yang dipimpin Iwan Bule ini mengatakan bahwa minuman keras sendiri tidak sepantasnya bisa masuk ke dalam stadion.
Di sisi lain, Aremania membantah temuan PSSI tersebut. Pihaknya menyebut bahwa tidak mungkin minuman keras botol bisa masuk ke tribun Stadion Kanjuruhan.
Hal tersebut dikarenakan ada pemeriksaan masuk ke tribun yang bisa dibilang sangat ketat. Selain itu, 42 botol miras juga tidak menjawab bagaimana 131 orang meninggal dunia di Stadion Kanjuruhan.
Selain miras, PSSI juga memberikan sanksi kepada Arema FC. Klub kebanggaan kota Malang itu didenda Rp 250 juta dan dilarang menjadi tuan rumah hingga sisa musim ini.
Arema FC juga wajib pindah stadion 250 km dari Kanjuruhan untuk sementara jika akan menggelar pertandingan.
Hukuman juga diberikan PSSI kepada Panpel dan Security Officer Arema FC. Mereka dilarang melakukan aktivitas di lingkungan sepak bola seumur hidup.
Indikasi Pelanggaran HAM dan Menanti Sanksi FIFA
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut bahwa ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Hal tersebut dilihat dari banyaknya korban yang meninggal dunia.
Pihak Komnas HAM menyebut bahwa perlu adanya pendalaman lebih jauh terkait dengan penggunaan gas air mata yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Ini dikarenakan dugaan gas air mata yang menyebabkan kepanikan di stadion.
Dunia sepak bola Indonesia juga tengah menanti sanksi tegas dari FIFA buntut tragedi Kanjuruhan. Salah satu sanksi yang membayangi adalah Indonesia bisa dilarang menggelar pertandingan sepak bola dalam periode waktu yang lama.
Kontributor : Syifa Khoerunnisa