Suara.com - Para siswi di Iran melepas jilbab mereka, melambai-lambaikannya di udara dan meneriakkan penentangan terhadap pemerintah, dalam aksi yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendukung protes yang melanda negara itu.
Sejumlah video yang telah diverifikasi oleh BBC menunjukkan bahwa demonstrasi terjadi di dalam halaman sekolah dan di jalanan beberapa kota.
Aksi itu menggemakan protes lebih luas yang dipicu kematian seorang perempuan yang dianggap melanggar hukum Iran soal jilbab pada bulan lalu.
Baca juga:
Baca Juga: Buntut Kematian Mahsa Amini, Partai Reformis Desak Iran Akhiri Wajib Jilbab
- Aksi protes di Iran usai tewasnya Mahsa Amini menyebabkan puluhan orang meninggal
- Kesaksian ayah Mahsa Amini: 'Saya ingin melihat putri saya, tetapi mereka tidak mengizinkan masuk'
- ‘Tidak berarti tidak' - Perempuan Iran yang memprotes aturan wajib berhijab
Di Karaj, yang berlokasi di sebelah barat ibu kota Teheran, para siswi dilaporkan memaksa seorang pejabat pendidikan keluar dari sekolah mereka.
Rekaman yang diunggah di media sosial pada Senin (04/10), menunjukkan para siswi itu berteriak “tidak tahu malu” dan melemparkan benda-benda yang tampak seperti botol air kosong kepada pria itu hingga dia pergi.
Dalam video lainnya di Karaj, para siswi terdengar meneriakkan, “Jika kita tidak bersatu, mereka akan membunuh kita satu per satu.”
Sementara itu di Kota Shiraz yang berlokasi di selatan Iran, pada Senin, puluhan siswa memblokir lalu lintas di jalan utama kota sambil melambaikan jilbab mereka ke udara dan meneriakkan “matilah diktator”, merujuk pada pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang biasanya memberi keputusan akhir pada seluruh urusan negara.
Protes lainnya oleh para siswi juga dilaporkan terjadi pada hari Selasa di Karaj, Teheran, serta kota-kota barat laut Saqez dan Sanandaj.
Sejumlah siswa tampak difoto berdiri di ruang kelas mereka tanpa menggunakan jilbab.
Beberapa dari mereka mengacungkan jari tengah pada potret Ayatollah Khamenei dan pendiri Republik Islam Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Kepemimpinan Iran hadapi musuh baru
Analisis oleh Rana Rahimpour, BBC Persia
Setelah hampir tiga minggu protes berlangsung, jelas bahwa kepemimpinan Iran menghadapi tantangan serius.
Lawannya tidak sebatas politisi atau penduduk berusia 20-an. Mereka sekarang juga menghadapi siswi remaja yang tidak takut membakar foto pemimpin tertinggi.
Aksi protes pun terus berlanjut meskipun Ayatollah Ali Khamenei menuding bahwa aksi-aksi itu adalah “kerusuhan” yang diatur oleh Barat.
Banyak dari mereka yang ikut serta untuk protes hanya menginginkan kehidupan normal. Mereka mungkin tidak mengerti politik, tetapi mereka sadar bahwa mereka tidak bebas menjalani hidup yang mereka inginkan.
Saat ini, setiap sekolah dan universitas di Iran berpeluang menjadi markas para pengunjuk rasa. Setiap hari di sekolah, para remaja bisa berkumpul dan bertukar pikiran tentang ara menggulingkan rezim.
Pertanyaannya adalah apakah Republik Islam dapat menghentikan mereka, dan bagaimana menghentikan mereka.
Aksi protes oleh para siswi dimulai beberapa jam setelah Ayatollah Khamenei, yang memiliki keputusan akhir soal seluruh permasalahan negara, akhirnya berbicara atas aksi-aksi protes dan menuduh Amerika Serikat dan Isralel, yang merupakan musuh bebuyutan Iran, mendalangi “kerusuhan”.
Dia juga mendukung penuh pasukan keamanan yang merespons aksi-aksi protes dengan tindakan represif.
Rentetan aksi protes ini, yang diwarnai oleh kekerasan, dipicu oleh kematian Mahsa Amini, seorang perempuan Kurdi berusia 22 tahun yang kritis setelah ditahan oleh polisi moral pada 13 September di Teheran.
Amini ditahan karena diduga melanggar undang-undang yang mewajibkan perempuan menutupi rambut mereka dengan jilbab. Dia meninggal di rumah sakit tiga hari kemudian.
Keluarganya menuduh bahwa petugas memukul kepada Amini dengan tongkat dan membenturkan kepala Amini ke salah satu kendaraan mereka.
Polisi membantah bahwa Amini dianiaya dan mengklaim dia mengalami “serangan jantung”.
Aksi protes pertama berlangsung di wilayah barat laut Iran, yang dihuni oleh orang-orang Kurdi, juga tempat Amini tinggal. Aksi protes serupa kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh negeri.
Kelompok Hak Asasi Manusia Iran, yang berbasis di Norwegia, melaporkan pada Selasa (05/10), bahwa setidaknya 154 orang telah dibunuh oleh aparat keamanan sejauh ini.
Data korban itu mencakup 63 pengunjuk rasa yag menurut aktivis etnis Baluch, telah tewas dalam bentrokan di kota Zahedan pada Jumat lalu.