Suara.com - Rusia memperingatkan adanya potensi eskalasi perang setelah Amerika Serikat mengumumkan bantuan sebesar 625 juta dolar AS ke Ukraina untuk persenjataan tambahan.
Bantuan AS tersebut juga disebut termasuk peluncur High Mobility Artillery Rocket System (HIMARS) atau sistem roket artileri mobilitas tinggi
Menurut Al Jazeera, Presiden Joe Biden berbicara dengan pemimpin Ukraina, Volodymyr Zelensky, pada hari Selasa di tengah upaya Ukraina melanjutkan serangan di bagian selatan dan timur negara itu untuk merebut kembali daerah-daerah yang diduduki oleh Rusia.
Dalam sambungan telepon tersebut, Biden menegaskan komitmen AS dalam melanjutkan dukungan untuk Kiev.
Sang presiden "berjanji untuk terus mendukung Ukraina mempertahankan diri dari agresi Rusia", kata sebuah pernyataan dari Gedung Putih.
Paket bantuan militer tersebut merupakan yang pertama sejak Rusia mengumumkan secara resmi pencaplokan empat wilayah Ukraina menyusul serangkaian referendum yang dicap sebagai pemaksaan dan dianggap melanggar hukum internasional.
Gedung Putih mengatakan senjata yang akan diberikan AS mencakup empat peluncur roket presisi HIMARS lagi, 32 Howitzer dengan 75.000 butir amunisi, 200 kendaraan anti-ranjau Mine-Resistant Ambush Protected (MRAP), dan ranjau Claymore.
Bantuan militer ini akan diambil dari persediaan militer AS yang telah ada.
“Perkembangan terbaru dari referendum palsu Rusia, upaya pencaplokan wilayah, dan fakta baru tentang kebrutalan terhadap warga sipil di wilayah Ukraina yang sebelumnya dikendalikan oleh Rusia telah memperkuat tekad kami,” kata Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, dalam sebuah pernyataan.
Keputusan AS untuk mengirim lebih banyak bantuan militer memicu kritik dari Duta Besar Rusia untuk Amerika Serikat, Anatoly Antonov, yang memperingatkan adanya potensi konsekuensi dari keputusan ini.
“Kami menganggap ini sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan strategis negara kami,” kata Antonov melalui Telegram, Rabu (5/10).
“Pasokan peralatan militer dari AS dan sekutunya tidak hanya menimbulkan pertumpahan darah yang berkepanjangan dan korban baru, tetapi juga meningkatkan risiko bentrokan militer langsung antara Rusia dan negara-negara Barat.”