Dominasi Kasus Kekerasan di Papua, KontraS: TNI Harus Berhenti Pakai Dalih Oknum

Selasa, 04 Oktober 2022 | 18:20 WIB
Dominasi Kasus Kekerasan di Papua, KontraS: TNI Harus Berhenti Pakai Dalih Oknum
Dominasi Kasus Kekerasan di Papua, KontraS: TNI Harus Berhenti Pakai Dalih Oknum. [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sebanyak 61 kekerasan yang melibatkan anggota TNI selama periode Oktober 2021 sampai September 2022. Jika merujuk pada peta persebarannya, kekerasan oleh anggota TNI paling banyak terjadi di Papua.

Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS, Rozi Brilian menyampaikan, terdapat 11 kasus kekerasan oleh anggota TNI di Bumi Cenderawasih.

Misalnya, penyiksaan terhadap tujuh anak yang terjadi di Kabupaten Puncak pada Februari 2022, penembakan salah satu mama di Kabupaten Intan Jaya, hingga mutilasi terhadap empat warga sipil di Kabupaten Mimika.

"Bahwa Papua masih menjadi daerah atau provinsi dengan angka kekerasan tertinggi yang melibatkan militer. Kami catat ada 11 kasus," ucap Rozi di kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2022).

Baca Juga: Melonjak Ketimbang Tahun Lalu, KontraS Catat Ada 61 Kasus Kekerasan Oleh TNI

KontraS soroti pembentukan TGIPF tragedi Kanjuruhan Malang. (Suara.com/Arga)
KontraS mencatat institusi TNI paling tertinggi terlibat kasus kekerasan di Papua. (Suara.com/Arga)

Kemudian, KontraS juga mencatat sebanyak delapan kasus kekerasan di Maluku dan tujuh kasus di Sumatera Utara. Berbagai peristiwa itu, kata Rozi tidak dapat diselesaikan secara case by case -- melainkan sebuah problem struktural di tubuh TNI itu sendiri.

Untuk itu, KontraS meminta agar TNI untuk berhenti berdalih dibalik kata "oknum" dalam setiap pelanggaran yang terjadi. Tanggung jawab kolektif institusi, kata dia, juga harus dikedepankan sembari membangun sistem pengawasan yang optimal guna mencegah terjadinya keberulangan peristiwa.

"Institusi (TNI) harus berhenti berdalih di belakang kata ‘oknum’ dalam setiap pelanggaran yang terjadi," beber Rozi.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menambahkan, sudah seharusnya pemerintah melakukan dialog secara konstruktif dan terbuka kepada warga Papua. Untuk itu, penempatan militer di Papua secara skala besar itu sudah seharusnya dihentikan.

"Karena memang pemerintah tidak pernah mendeklarasikan papua sebagai daerah operasi militer (DOM) seperti yang terjadi di era 90-an dan itu sudah dicabut. Apa yang terjadi di Papua sebenarnya ilegal karena Papua tidak dikatakan sebagai daerah operasi militer," ucap Fatia.

Baca Juga: Kekerasan di Papua Terus Berulang, KontraS: Buah Pendekatan Militeristik yang Sangat Kental

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti  saat rapat audensi antara Paguyuban Korban (PAKU) UU ITE dan Badan Legislasi (Baleg) DPR. (Tangkapan layar/Suara.com/Novian)
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti saat rapat audensi antara Paguyuban Korban (PAKU) UU ITE dan Badan Legislasi (Baleg) DPR. (Tangkapan layar/Suara.com/Novian)

Dengan demikian, KontraS mendesak agar pendekatan militeristik di Papua untuk dihentikan. Pasalnya, metode penerjunan aparat dan pendirian posko militer harus dievaluasi karena terbukti tidak efektif dalam menyelesaikan situasi kemanusiaan di Papua.

"Pemerintah bersama DPR untuk menghentikan segala bentuk pendekatan militeristik dan sekuritisasi di Papua," sambungnya.

Fatia menambahkan, pendekatan atau operasi harus mengedepankan cara-cara persuasif. Bukan justru mengedepankan kontak senjata, utamanya dalam menghadapi kelompok yang ingin memisahkan diri.

"Sebab pendekatan dengan senjata juga akan berimplikasi pada jatuhnya korban sipil," tambah dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI