Suara.com - Tragedi Kanjuruhan masih menjadi duka mendalam bagi masyarakat Indonesia, terutama untuk para suporter Arema FC yang berurusan dengan hidup dan mati pasca pertandingan hari Sabtu (1/10/2022) kemarin.
Tak terkecuali untuk Dadang Indarto yang berhasil selamat dari insiden maut tersebut. Bahkan ia harus menyaksikan momen terakhir sejumlah rekannya sesama Aremania yang meregang nyawa di Stadion Kanjuruhan.
Seperti pengakuan Aremania lain, Dadang mengaku pihaknya tidak berniat untuk membahayakan pemain dan ofisial Persebaya Surabaya. Para Aremania turun untuk memberikan dukungan kepada Arema FC yang kalah di kandang sendiri.
Saat itu polisi sudah berusaha menghalau dengan cara biasa, sampai akhirnya melepaskan tembakan gas air mata.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan Sita Perhatian Dunia, Ketum PSSI Minta Timnas Indonesia U-17 Tetap Fokus
"Mereka berlarian (menyelamatkan diri), ada yang dipukul, ada yang ditendang, saya tetap berada di Tribun," jelas Dadang sembari menahan air matanya kuat-kuat, seperti dikutip Suara.com dari program Kabar Siang di kanal YouTube tvOneNews, Selasa (4/10/2022).
Situasi semakin tidak terkendali ketika polisi melepaskan tembakan gas air mata ke tribun penonton. Dalam sekejap mata Stadion Kanjuruhan sudah dipenuhi dengan gas air mata yang menimbulkan kepanikan massal.
Namun nahas, pintu keluar Stadion Kanjuruhan malah ditutup ketika para penonton berusaha untuk keluar menyelamatkan diri.
"Yang dibuka hanya Pintu 13 dan itu pun satu pintu. Pintu yang lain ditutup. Informasi teman-teman yang di tribun utara itu juga seperti itu, semua ditutup, hanya Tribun 4 (yang dibuka)," ungkap Dadang.
"Dan penembakan gas air mata bukan hanya di dalam, Mas, di luar juga ada," sambungnya dengan suara yang terdengar parau.
Bahkan saking mencekamnya situasi yang terjadi, Dadang menggambarkan suasana di Tribun 13 selayaknya kuburan massal.
"Di Tribun 13 itu kuburan massal, Mas. Banyak yang mati, temen-temen saya. Ada yang kena kepala belakang, mulai sakaratul maut sampai dia meninggal ada di bopongan tangan saya," tutur Dadang.
"Setelah saya menolong, saya taruh, saya mencari bantuan ke polisi, tapi nggak ada yang mau. Saya balik lagi, teman saya ada yang meninggal," lanjutnya.
Pengalaman itu begitu traumatis, membuat Dadang tak kuasa bila harus kembali mengingat detail kejadiannya. Apalagi karena teman-temannya banyak yang menjadi korban tewas.
Bahkan ia mengaku mengevakuasi empat jenazah, sebuah pengalaman yang menjadi memori buruk di benaknya.
Peristiwa kemarin, menurut Dadang, sangat berlebihan. Pasalnya Aremania sendiri bukan suporter klub sepak bola yang baru berdiri hingga perlu diamankan dengan kekerasan.
"Aremania bukan suporter kemarin sore, suporter yang nurut. Cukuplah dihalau, nggak perlu pakai kekerasan, nggak perlu pakai gas air mata," jelasnya.
"Apa salah kami kepada negara? Apa salah kami kepada kepolisian? Apa salah kami Aremania kepada Arema itu apa? Ini di rumah kami sendiri, kenapa kami diperlakukan seperti ini di rumah kami sendiri?" pungkasnya.