Suara.com - Sejumlah aparat TNI tertangkap kamera sedang menendang suporter hingga jatuh tersungkur saat kericuhan terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (Jatim). Analis militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengungkapkan, lebih setuju apabila aparat TNI tidak ikut turun saat bertugas membantu aparat Polri dalam pengamanan pertandingan sepak bola.
Pernyataan tersebut disampaikan Fahmi, lantaran dirinya memahami kalau prajurit TNI itu didik untuk bertempur dan mampu menghilangkan ancaman terhadap negara.
"Sederhananya, doktrin mereka adalah 'membunuh atau dibunuh'. Jika tidak hati-hati dan terkendali, pelibatan tentara tersebut justru bisa jadi bumerang," kata Fahmi saat dihubungi Suara.com, Selasa (4/10/2022).
Apabila situasi memburuk, maka menurut Fahmi, para prajurit TNI secara naluriah akan menganggap yang dihadapinya itu musuh yang mesti dibasmi.
"Sehingga sangat mungkin terjadi kekerasan yang tidak patut dan berlebihan," ucapnya.
Ketimbang dilibatkan langsung ke lapangan, Fahmi menilai kalau para prajurit TNI itu cukup diperankan sebagai kekuatan cadangan apabila terjadi eskalasi serta berpotensi menjadi huru-hara yang meluas hingga menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat.
Perihal pelibatan prajurit TNI, Fahmi menilai sebaiknya mengacu pada ketentuan perundang-undangan.
Idealnya, soal dilibatkan atau tidak, sebaiknya mengacu pada ketentuan perundang-undangan. Dalam konteks pengamanan di stadion, menurutnya sudah jelas menjadi tanggung jawab Polri. Pelibatan personel TNI dalam pengamanan kegiatan masyarakat itu sifatnya adalah tugas perbantuan pada Polri.
"Jadi (mestinya) dilakukan atas permintaan Polri," tuturnya.
Baca Juga: Sederet Pernyataan Kompolnas Soal Tragedi Kanjuruhan, Sebut Tak Ada Perintah Tembakkan Gas Air Mata
Ketegasan Panglima TNI