Suara.com - Tragedi Kanjuruhan telah menjadi catatan hitam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Ratusan nyawa melayang setelah kekacauan terjadi akibat tembakan gas air mata yang dilepaskan aparat keamanan.
Hingga kini, tersangka dalam kejadian yang menewaskan 125 orang belum ada. Sementara berbagai bukti video dan foto yang menggambarkan kejadian mengerikan di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu (4/10/2022) tengah malam sudah bertebaran di media sosial.
Melansir Wartaekonomi.co.id -- jaringan Suara.com, salah satu tragedi terburuk dalam sejarah sepak bola dunia itu dinilai terjadi karena kelalaian aparat keamanan. Hal ini diungkap oleh Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institite, Achmad Nur Hidayat.
Menurutnya, tewasnya ratusan suporter Arema itu karena selaku aparat, baik Polri dan TNI kurang didikan. Apalagi dari beberapa video yang tersebar, tampak ada anggota Polri dan TNI yang melakukan tindakan kekerasan di tengah lapangan kepada para suporter.
Achmad juga membahas reaksi Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengenai kekerasan yang dilakukan bawahannya. Jenderal Andika secara tegas menyatakan tindakan itu adalah pidana, bukan kode etik lagi.
“Pemandangan ini (kekerasan yang dilakukan oknum TNI) tentunya mendapat reaksi geram dari masyarakat," kata Achmad melalui keterangan tertulis, Selasa (4/10/2022).
"Sehingga Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa pun mengatakan bahwa tindakan tersebut bukan lagi melanggar kode etik profesi, tetapi sudah masuk ke dalam tindak pidana,” sambungnya.
Achmad menilai video-video kekerasan yang dilakukan aparat keamanan tersebut sangatlah mengerikan. Padahal, seharusnya anggota TNI dan Polri berkewajiban melindungi dan menertibkan suporter, alih-alih menyerang.
Tak hanya itu, Achmad juga mengingatkan aparat keamanan harusnya memegang prinsip zero mistake dalam melindungi masyarakat. Termasuk menahan diri agar tidak menyebabkan kesalahan fatal.
Baca Juga: Respect Buat Army Indonesia, Galang Dana Untuk Korban Tragedi Kanjuruhan, Nominalnya Fantastis
“Artinya aparat tidak boleh sembarangan ataupun terburu-buru melakukan tindakan penanganan. Sebab jika penanganan yang dilakukan dapat menimbulkan korban ataupun dapat menyebabkan collateral damage maka harus menahan diri,” ujar Achmad.
Berdasarkan video yang beredar luas, Achmad menolai bahwa sebagian besar kematian suporter disebabkan karena aparat over-reacting. Khususnya dalam menangani banyaknya suporter Arema yang masuk ke lapangan.
Adapun dugaan pelanggaran aparat dalam tragedi Kanjuruhan itu adalah penggunaan gas air mata. Semprotan gas air mata itu telah memicu kepanikan yang mengakibatkan ratusan suporter sesak meninggal.
Tak sedikit suporter yang kehabisan napas karena menghirup gas air mata atau terhimpit. Bahkan, ada juga yang terinjak-injak di tengah kepanikan tersebut.
Padahal, organisasi internasional sepak bola FIFA dengan jelas sudah melarang penggunaan gas air mata di stadion sepak bola, khususnya terkait penanganan kerusuhan massa.
Karena itu, Achmad menilai seharusnya aparat keamanan yang bertugas menjaga pertandingan perlu didik terlebih dahulu. Terutama mengenai SOP jika terjadi kerusuhan di dalam stadion.
“Para petugas yang melakukan pengamanan seharusnya dididik terlebih dahulu mengenai SOP penanganan jika terjadi kerusuhan di dalam stadion, agar tidak menggunakan gas air mata,” tandasnya.