Suara.com - TANGIS Alfan Hafiz Mualizar pecah, kepalanya terus tertunduk dan tubuhnya lunglai. Badannya terpekur setia menunggu di depan ruang jenazah RSUD Kanjuruhan.
Minggu 2 Oktober 2022, sejumlah orang sibuk membungkus mayat Ahmad Huzein Rahmadani. Ia adalah sahabat karib Alfan. Bertahun-tahun mereka kerap berdua mendukung tim sepak bola kebanggaan Arema FC dan menjadi bagian Aremania.
Malang tak dapat ditolak, Alfian dan Ahmad harus berpisah selama-lamanya usai menjadi korban tragedi di Stadion Kanjuruhan, hanya berselang beberapa menit saja usai mereka menyaksikan laga derby sarat gengsi Arema FC vs Persebaya pada Sabtu 1 Oktober 2022 malam.
"Saya dan Huzein berboncengan memakai motor dari Tulungagung ke sini, menonton Arema. Tapi kini, saya akan pulang bersama Huzein memakai mobil jenazah,” kata Alfan dengan nada sedih penuh penyesalan.
Alfan tak sempat berganti baju. Dia masih menggunakan jaket putih, celana jins, dan sepatu kets—sama yang ia pakai bersama Huzein saat berangkat ke Malang.
Setelah Huzein menjadi korban tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan yang dipicu gas air mata polisi, Alfan langsung ikut mengawal sahabatnya ke rumah sakit, hingga mengurus kepulangan jenazah.
Alfan masih mengingat perjalanan mereka dari Tulungagung ke Malang untuk menyaksikan laga derby klasik antara Arema FC vs Persebaya Surabaya.
“Huzein dan saya sering bercanda di perjalanan," katanya.
Keduanya berboncengan dalam rombongan 12 orang ke Malang. Keduanya sudah sejak lama bersahabat. Mereka menjalin pertemanan karena selalu sekelas saat di SMK 3 Boyolangu.
Baca Juga: Bertubi-tubi Ujian Bagi Polri: Dari Perkara Ferdy Sambo, Kini Tragedi Kanjuruhan
Setibanya di Stadion Kanjuruhan, ke-12 dari Tulungagung itu masuk ke tribun 12. Posisi mereka berada di tengah, larut dalam semangat meneriakkan yel-yel mendung tim kesayangan, Arema FC.
Sayang, Arema harus mengakui kemenangan tim tamu Persebaya dengan skor 2-3. Ini adalah kekalahan pertama mereka dalam 23 tahun dalam laga derby. Kecewa pasti, namun hingga wasit meniup peluit akhir, tak ada tanda-tanda kerusuhan. Pertandingan pun kelar tanpa keributan.
Skuat Arema yang kalah malam itu, berdiri di tengah lapangan, menyapa sekaligus meminta maaf kepada pendukung mereka.
Bahkan, sejumlah Aremania memasuki lapangan, ingin bersalaman dengan pemain idola mereka. Tapi polisi bertindak lain, mereka justru menghalau, memukul mundur Aremania. Tak hanya itu, aparat juga melepaskan tembakan gas air mata.
Ketika polisi membabi buta menembakkan gas air mata, semua penonton sangat panik, berusaha keluar dari stadion—termasuk Alfan dan Huzein.
Hanya, karena sangat padat, akhirnya banyak Aremania susah untuk keluar. Saat itulah, 12 sahabat berpisah. Mereka berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
"Saya sudah tak kuat, akhirnya naik ke atas tribun,” ucap Alfan.
Dia sempat mencari-cari Huzein di tribun, tapi tak ketemu. Ketika berhasil keluar selamat dari stadion, Alfan terus mencari sahabatnya itu.
Sampai Minggu subuh hari pukul 04.00 WIB, Alfan mondar-mandir ke rumah-rumah sakit dan klinik yang diketahui menerima pasien korban dari Stadion Kanjuruhan. Tapi nihil, Huzein tak ditemukan.
“Minggu siang, baru saya dapat informasi Huzein meninggal dunia di RSUD," ucap Alfian kelu.
Ia dan teman-temannya pun langsung mendatangi tempat tersebut. Setibanya di sana, sudah ada ibu Huzein mengurus administrasi.
Setelah semua administrasi selesai, jenazah itu langsung dibawa ke rumah Huzein di Desa Junjung, Kecamatan Sumber Gempol, Kabupaten Tulungagung.
"Kami semua akan langsung menemani sampai rumah Huzein," kata Alfan.
Alfan masih belum menerima musibah yang dialaminya, “Sehari lalu kami masih bercanda di motor. Kini saya menemani Huzein sudah di kantong jenazah.”
Direktur RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang Bobi Prabowo mengatakan, korban yang dirawat pihaknya sebanyak 93 orang. Dari jumlah itu, 21 orang meninggal dunia.
“Yang luka-luka banyak yang sudah pulang. Tinggal sembilan orang dalam perawatan. Dua di ICU, sisanya IGD,” kata Bobi.
Sugeng Kehilangan Si Bungsu
PIKIRAN Sugeng membucah ketika pulang berdagang Minggu dini hari sekitar pukul 01.30 WIB, tak mendapati putra bungsunya di rumah.
Rizky Dendy Nugroho, yang masih berusia 19 tahun, sempat berpamitan kepada sang ayah untuk pergi ke Stadion Kanjuruhan Sabtu sore demi menyaksikan klub kesayangannya berlaga. Tapi sejak itu, dia tak pulang.
Lelaki berusia 50 tahun itu semakin cemas ketika mengetahui polisi menembaki gas air mata ke Aremania seusai laga melawan Persebaya.
Dia menyambangi lima teman sebaya Dendy yang ternyata sudah pulang. Tapi kelimanya mengatakan tidak melihat Dendy setelah kerusuhan.
Tengah malam itu juga, tak memedulikan tubuhnya yang sudah lelah, Sugeng berangkat ke stadion mencari si bungsu.
"Teman-temannya bilang sempat menunggu Dendy di depan stadion, tapi tak ketemu. Akhirnya mereka pulang,” kata Sugeng.
Di stadion, Sugeng hanya mendapati sepeda motor yang dipakai Dendy. Kendaraan itu dijaga petugas parkir di area stadion.
“Tapi motornya belum bisa diambil karena harus bawa BPKB," katanya.
Sugeng melanjutkan pencarian. Dia pergi ke sejumlah rumah sakit sekitar stadion. Di sana, dia sempat membuka satu per satu kantong jenazah.
Terpaksa ia melakukannya, karena pada kantong jenazah tidak tertulis nama, hanya jenis kelamin.
“Jenazahnya ada yang luka parah bagian muka, seperti kesiram air panas. Mayoritas seperti itu," kata dia.
Hingga pagi tak kunjung menemukan anaknya di beberapa rumah sakit, Sugeng sempat putus harapan. Namun, ada satu sanak keluarganya menyarankan Sugeng ke RSUD DR Saiful Anwar Malang.
"Akhirnya ketemu. Sempat putus asa, karena sejak dini hari hingga pagi tadi belum ketemu. Di sini banyak sekali yang jadi korban (kerusuhan) di Kanjuruhan.”
RSUD DR Saiful Anwar merawat 12 suporter yang mengalami cedera berat hingga ringan, dan salah satunya Dendy.
Dendy mengalami luka di bagian mulut. Hingga Minggu siang, putra bungsunya itu belum sadarkan diri.
Humas RSUD DR Saiful Anwar, Doni, mengatakan pihaknya juga menerima 21 jenazah korban kerusuhan, selain 12 orang luka.
"Saudara Kami Dibantai'
MINGGU malam, ribuan Aremania berkumpul di Jalan Semeru Kota Malang. Mereka menggelar doa bersama untuk 125 korban tragedi Kanjuruhan.
Ratusan lilin dinyalakan, sebagai simbolisasi simpati untuk korban. Setelah berdoa, sejumlah Aremania didaulat berorasi.
Satu Aremanita—perempuan fans Arema—berorasi menyatakan kesedihannya. Terlebih, ada anak-anak yang menjadi korban.
"Sebagai ibu, saya sangat prihatin ada anak yang turut jadi korban. Langkah hukum harus ditempuh," kata dia, disambut tepuk tangan Aremania yang memenuhi sisi Timur Stadion Gajayana.
Fanda Ardianto, seorang Aremania, mengatakan doa bersama akan dilakukan selama tujuh hari berturut-turut sembari menunggu perkembangan penyelidikan tragedi Kanjuruhan.
"Harus ada tersangka. Ratusan orang dibunuh di depan mata ribuan orang. Masak satu tersangka saja satu hari tak bisa. Kan tak masuk akal," tegas Fanda.
Dia menilai tragedi di kandang Singo Edan—julukan Arema FC—adalah aksi pembantaian.
“Ini pembantaian. Ditembaki gas air mata, tapi pintu ditutup. Bagaimana tak banyak orang meninggal, banyak anak kecil," kecamnya.