Suara.com - Ratusan Aremania terbantai di ‘rumah’ mereka sendiri, Stadion Kanjuruhan Malang. Polisi kembali menjadi sorotan. Satu pelajaran penting dari tragedi ini, rumus pentungan + gas air mata aparat, tak pernah bisa menenangkan gejolak massa.
KEPALA Alfan Hafiz Mualizar terus tertunduk. Tubuhnya lemas. Tapi dia tetap setia menunggu di depan ruang jenazah, sembari menangis.
Dalam kamar jenazah RSUD Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Minggu 2 Oktober, sejumlah orang sibuk membungkus mayat Ahmad Huzein Rahmadani.
Jenazah Huzein lah yang ditangisi oleh Alfan.
Baca Juga: Tragedi Kerusuhan Kanjuruhan Malang, Polri Periksa Sejumlah Pihak, Ini Daftarnya
Keduanya adalah suporter Arema Malang, yang menjadi korban tragedi di Stadion Kanjuruhan, sehari sebelumnya.
"Saya dan Huzein berboncengan memakai motor dari Tulungagung ke sini, menonton Arema. Tapi kini, saya akan pulang bersama Huzein memakai mobil jenazah,” kata Alfan menyesali keadaan.
Alfan tak sempat berganti baju. Dia masih menggunakan jaket putih, celana jins, dan sepatu kets—sama yang ia pakai bersama Huzein saat berangkat ke Malang.
Setelah Huzein menjadi korban tragedi di Stadion Kanjuruhan yang dipicu gas air mata polisi, Alfan langsung ikut mengawal sahabatnya ke rumah sakit, hingga mengurus kepulangan jenazah.
Baca Juga: Usut Tragedi Kanjuruhan, Propam Periksa 18 Anggota Polri yang Jadi Operator Pelontar Gas Air Mata
Alfan masih mengingat perjalanan mereka dari Tulungagung ke Malang untuk menyaksikan laga derby klasik Aremania versus Persebaya Surabaya, Sabtu 1 Oktober malam.
“Huzein dan saya sering bercanda di perjalanan.”
Keduanya berboncengan dalam rombongan 12 orang ke Malang. Keduanya sudah sejak lama bersahabat. Mereka menjalin pertemanan karena selalu sekelas saat di SMK 3 Boyolangu.
Setibanya di Stadion Kanjuruhan, keduabelas remaja itu masuk ke tribun 12. Posisi mereka berada di tengah, larut dalam semangat meneriakkan yel-yel mendung Arema.
Pertandingan selesai tanpa ada keributan apa pun. Skuat Arema yang kalah melawan Persebaya dalam pertandingan itu, berdiri di tengah lapangan, menyapa sekaligus meminta maaf kepada pendukung mereka.
Sejumlah Aremania memasuki lapangan, ingin bersalaman dengan pemain idola mereka. Tapi polisi bertindak menghalau, memukul mundur Aremania. Tak hanya itu, aparat juga melepaskan tembakan gas air mata.
Ketika polisi membabi buta menembakkan gas air mata, semua penonton sangat panik, berusaha keluar dari stadion—termasuk Alfan dan Huzein.
Hanya, karena sangat padat, akhirnya banyak Aremania susah untuk keluar. Saat itulah, 12 sahabat berpisah. Mereka berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
"Saya sudah tak kuat, akhirnya naik ke atas tribun,” kata Alfan.
Dia sempat mencari-cari Huzein di tribun, tapi tak ketemu. Ketika berhasil keluar selamat dari stadion, Alfan terus mencari sahabatnya itu.
Sampai Minggu subuh pukul 04.00 WIB, Alfan mondar-mandir ke rumah-rumah sakit dan klinik yang diketahui menerima pasien korban dari Stadion Kanjuruhan. Tapi nihil, Huzein tak ditemukan.
“Minggu siang, baru saya dapat informasi Huzein meninggal dunia di RSUD.“
Ia dan teman-temannya pun langsung mendatangi tempat tersebut. Setibanya di sana, sudah ada ibu Huzein mengurus administrasi.
Setelah semua administrasi selesai, jenazah itu langsung dibawa ke rumah Huzein di Desa Junjung, Kecamatan Sumber Gempol, Kabupaten Tulungagung.
"Kami semua akan langsung menemani sampai rumah Huzein," ucap Alfan.
Alfan masih belum menerima musibah yang dialaminya, “Sehari lalu kami masih bercanda di motor. Kini saya menemani Huzein sudah di kantong jenazah.”
Direktur RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang Bobi Prabowo mengatakan, korban yang dirawat pihaknya sebanyak 93 orang. Dari jumlah itu, 21 orang meninggal dunia.
“Yang luka-luka banyak yang sudah pulang. Tinggal sembilan orang dalam perawatan. Dua di ICU, sisanya IGD,” kata Bobi.
Buka banyak kantong mayat
PIKIRAN Sugeng membucah ketika pulang berdagang Minggu dini hari sekitar pukul 01.30 WIB, tak mendapati putra bungsunya di rumah.
Rizky Dendy Nugroho, yang masih berusia 19 tahun, sempat berpamitan kepada sang ayah untuk pergi ke Stadion Kanjuruhan Sabtu sore demi menyaksikan klub kesayangannya berlaga. Tapi sejak itu, dia tak pulang.
Lelaki berusia 50 tahun itu semakin cemas ketika mengetahui polisi menembaki gas air mata ke Aremania seusai laga melawan Persebaya.
Dia menyambangi lima teman sebaya Dendy yang ternyata sudah pulang. Tapi kelimanya mengatakan tidak melihat Dendy setelah kerusuhan.
Tengah malam itu juga, tak memedulikan tubuhnya yang sudah lelah, Sugeng berangkat ke stadion mencari si bungsu.
"Teman-temannya bilang sempat menunggu Dendy di depan stadion, tapi tak ketemu. Akhirnya mereka pulang,” kata Sugeng.
Di stadion, Sugeng hanya mendapati sepeda motor yang dipakai Dendy. Kendaraan itu dijaga petugas parkir di area stadion.
“Tapi motornya belum bisa diambil karena harus bawa BPKB.”
Sugeng melanjutkan pencarian. Dia pergi ke rumah-rumah sakit sekitar stadion. Di sana, dia sempat membuka satu per satu kantong jenazah.
Terpaksa ia melakukannya, karena pada kantong jenazah tidak tertulis nama, hanya jenis kelamin.
“Jenazahnya ada yang luka parah bagian muka, seperti kesiram air panas. Mayoritas seperti itu," kata dia.
Hingga pagi tak kunjung menemukan anaknya di beberapa rumah sakit, Sugeng sempat putus harapan. Namun, ada satu sanak keluarganya menyarankan Sugeng ke RSUD DR Saiful Anwar Malang.
"Akhirnya ketemu. Sempat putus asa, karena sejak dini hari hingga pagi tadi belum ketemu. Di sini banyak sekali yang jadi korban (kerusuhan) di Kanjuruhan.”
RSUD DR Saiful Anwar merawat 12 suporter yang mengalami cedera berat hingga ringan, dan salah satunya Dendy.
Dendy mengalami luka di bagian mulut. Hingga Minggu siang, putra bungsunya itu belum sadarkan diri.
Humas RSUD DR Saiful Anwar, Doni, mengatakan pihaknya juga menerima 21 jenazah korban kerusuhan, selain 12 orang luka.
"Dari 12 korban luka, 8 mengalami gegar otak parah, 4 gegar otak sedang, dan 2 gegar otak ringan. Untuk jenazah, 21 dikirim ke sini.”
'Saudara kami dibantai'
MINGGU malam, ribuan Aremania berkumpul di Jalan Semeru Kota Malang. Mereka menggelar doa bersama untuk 125 korban tragedi Kanjuruhan.
Ratusan lilin dinyalakan, sebagai simbolisasi simpati untuk korban. Setelah berdoa, sejumlah Aremania didaulat berorasi.
Satu Aremanita—perempuan fans Arema—berorasi menyatakan kesedihannya. Terlebih, ada anak-anak yang menjadi korban.
"Sebagai ibu, saya sangat prihatin ada anak yang turut jadi korban. Langkah hukum harus ditempuh," kata dia, disambut tepuk tangan Aremania yang memenuhi sisi Timur Stadion Gajayana.
Fanda Ardianto, seorang Aremania, mengatakan doa bersama akan dilakukan selama tujuh hari berturut-turut sembari menunggu perkembangan penyelidikan tragedi Kanjuruhan.
"Harus ada tersangka. Ratusan orang dibunuh di depan mata ribuan orang. Masak satu tersangka saja satu hari tak bisa. Kan tak masuk akal," tegas Fanda.
Dia menilai tragedi di kandang Singo Edan—julukan Arema FC—adalah aksi pembantaian.
“Ini pembantaian. Ditembaki gas air mata, tapi pintu ditutup. Bagaimana tak banyak orang meninggal, banyak anak kecil," kecamnya.
FIFA: di luar pemahaman
GIANNI Infantino, Presiden FIFA, dalam akun resmi fifa.com mengungkapkan rasa prihatin terhadap tragedi Kanjuruhan.
"Dunia sepak bola sedang dihebohkan menyusul insiden tragis yang terjadi di Indonesia pada akhir pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan," kata Gianni.
Gianni menyebutkan hari itu adalah hari yang gelap bagi persepakbolaan dunia, dan tak menyangka hal tersebut bisa terjadi.
“Ini adalah hari yang gelap bagi semua yang terlibat dalam sepak bola, dan sebuah tragedi di luar pemahaman," lanjutnya.
Tak hanya menyayangkan tragedi itu, Presiden Federation Internationale de Football Association (FIFA) juga menyampaikan ucapan belasungkawa terhadap seluruh keluarga dan korban tragedi Kanjuruhan.
“Saya menyampaikan belasungkawa terdalam kepada keluarga, rekan-rekan korban yang kehilangan nyawa setelah kejadian tragis ini."
Gianni juga mengeluarkan seruan, “Bersama FIFA dan komunitas sepak bola global, semua pikiran dan doa kami tujukan kepada para korban, mereka yang terluka."
Tendangan kungfu aparat
SEHARI setelah tragedi, video-video amatir yang merekam situasi tragedi Kanjuruhan beredar di media sosial.
Salah satu video merekam anggota polisi dan TNI memukul serta menendang Aremania. Rekaman lainnya menyorot para penonton yang terjebak di depan pintu gerbang stadion saat dihujani gas air mata polisi.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Choirul Anam menegaskan, ada indikasi pelanggaran HAM dalam tragedi Kanjuruhan.
Sejumlah kekerasan yang terbukti dilakukan adalah tendangan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap suporter.
Bahkan, kata Anam, ketika suporter Arema sedang berjalan kaki di pinggir lapangan, kekerasan masih dilakukan aparat keamanan.
"Ditendang, kena kungfu di lapangan. Nah, itu tidak hanya Komnas HAM yang melihat, tapi semua juga bisa lihat," kata Anam, Senin 3 Oktober.
Anam mengatakan, Komnas HAM sedang menelusuri dan melihat kondisi Stadion Kanjuruhan Malang untuk memastikan apa yang terjadi dalam kerusuhan yang menewaskan 125 orang, termasuk dua anggota polisi.
"Kami akan menginvestigasi dengan agak dalam anatomi stadion, cerita saat itu dan pascapertandingan," katanya.
Pada hari yang sama, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menegaskan tidak menoleransi prajuritnya yang ikut menganiaya Aremania di Stadion Kanjuruhan.
Bahkan, Jenderal Andika menyebut prajurit yang melakukan penganiayaan tersebut adalah bentuk pidana.
Hal tersebut disimpulkan dirinya seusai melihat video viral prajurit TNI menendang seorang penonton hingga jatuh tersungkur.
"Oh, iya, yang terlihat viral kemarin itu bukan dalam rangka mempertahankan diri. Bagi saya itu masuk ke tindak pidana," kata Andika di kantor Kemenko Polhukam.
Andika mengungkapkan, sudah memerintahkan anak buahnya untuk menginvestigasi dan nanti diproses secara hukum militer.
"Jadi kalau KUHPM Pasal 126 sudah kena, belum lagi KUHP-nya. Jadi kami tidak akan mengarah pada disiplin, tidak, tetapi pidana. Karena memang itu sudah sangat berlebihan," tegasnya.
Polisi sibuk periksa
BADAN Reserse Kriminal Polri kini sibuk memeriksa sejumlah pihak, termasuk salah satunya direktur Liga Indonesia Baru, sebagai saksi kasus kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, Bareskrim telah memeriksa sejumlah pihak mulai dari direktur PT LBI, Ketum PSSI, Ketua Panpel dan lainnya.
"Bareskrim Polri akan memeriksa beberapa saksi, antara lain direktur PT LIB (operator Liga 1), ketua PSSI Jatim, ketua Panpel Arema FC, serta kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Jatim. Insyaallah mereka akan dimintai keterangannya hari ini," kata Dedi.
Tim pemeriksa Bareskrim Polri secara internal yang terdiri atas Tim Litsus (Penelitian Khusus) dan Propam (Profesi dan Pengamanan) sudah melakukan pemeriksaan terhadap anggota yang terlibat langsung dalam pengamanan pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya.
"Sudah diperiksa 18 orang anggota yang bertanggung jawab sebagai operator senjata pelontar. Dimintai keterangan Litsus dan Propam," katanya.
Dedi mengungkapkan, saat ini penyidik sedang mendalami keterangan manajer pengamanan dari pangkat perwira sampai perwira menengah.
Lebih lanjut, jenderal polisi bintang dua itu menambahkan tim Laboratorium Forensik Polri juga telah bekerja mendalami dan menganalisis sebanyak 32 titik kamera pengawas sekitar Stadion Kanjuruhan dan beberapa lokasi.
Labfor Polri juga menganalisis sejumlah telepon seluler yang diidentifikasi milik korban tragedi Kanjuruhan.
Sementara tim Indonesia Automatic Fingerprint System (Inafis) bekerja sama dengan tim Disaster Victim Investigation (DVI) telah mengidentifikasi sebanyak 125 jenazah korban tragedi Kanjuruhan.
--------------------------
Tim Liputan: Yuliharto Simon, Dimas Angga Perkasa, Aziz Ramadani (Malang), dan Ria Rizki Nirmala Sari (Jakarta).