Suara.com - Ribuan orang diperkirakan meninggal akibat perang saudara, yang menurut sejarah resmi, disebut Pemberontakan Madiun 1948 oleh Partai Komunis Indonesia, PKI.
Korban meninggal tidak hanya tokoh Islam, pamong praja atau masyarakat biasa, tetapi juga di pihak lawannya, yaitu pimpinan PKI dan pendukungnya.
Dilatari rivalitas ideologi dan intrik politik, pimpinan kesatuan tentara pro-PKI mengumumkan pemerintahan baru di Madiun, dan pemerintah pusat menanggapinya secara tegas. Pertumpahan darah pun terjadi.
Puluhan tahun kemudian, orang-orang yang terseret dalam pusaran konflik bersenjata itu sudah tiada, tetapi memori atas tragedi itu terus diwariskan hingga kini.
Baca Juga: Profil Ade Irma Suryani Jadi Korban G30S PKI, Putri Nasution Tertembak Tapi Tak Menangis
Nyaris setiap tahun, peristiwa masa lampau itu seperti dihidupkan lagi, utamanya ketika ada tuntutan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM pembunuhan orang-orang komunis pada 1965.
Sebagian kalangan juga masih melihat sejarah peristiwa Madiun 1948 dari kaca mata menang-kalah dan benar-salah.
Tragedi itu juga lebih disorot dari sudut politik-kekuasaan dan konflik elite, dan sebagian masyarakat seperti tertawan masa lalu.
Simak juga:
Namun di sisi lain, ada upaya yang terus dibangun untuk mengurangi kecurigaan di antara generasi kedua atau ketiga, yang orang tuanya dulu saling bermusuhan.
Baca Juga: 9 Teori Misteri Pembantaian G30S, Benarkah PKI Dalangnya?
Sebagian mereka berusaha menjembatani kalangan akar rumput yang dulu orang tuanya saling bertikai.
Muncul pula semacam tindakan untuk berpaling dari masa lalu, tetapi tanpa mengabaikannya.
Dan setelah Reformasi 1998, kembali bermunculan narasi alternatif di balik tragedi itu, sebagai jawaban narasi tunggal Orde Baru yang cenderung menampilkan tragedi Madiun 1948 secara seragam.
Tetapi langkah ini tidaklah mudah, karena masih ada penolakan dari sejumlah pihak yang sepertinya belum bisa lepas dari kejadian traumatik peristiwa kekerasan di masa lampau itu.
Ada pesimisme, tetapi di sisi lain ada nada optimistis dalam menempatkan peristiwa Madiun 1948 dari kaca mata sekarang.
Waktu yang terus bergerak, keterbukaan informasi dan demokratisasi, diyakini akan membuat generasi kini dan mendatang, yang tak terpapar trauma Madiun 1948, akan memilih perspektif yang lebih segar dalam menempatkan kejadian itu.
“Saya berangkat dari satu adagium, setiap generasi menulis sejarahnya sendiri… Dan saya punya pandangan optimis bahwa generasi yang akan datang punya satu kesempatan atau peluang yang berbeda dengan generasi saya atau generasi ayah dan juga kakek-nenek saya,” kata sejarawan dari Universitas Nasional, Jakarta, Andi Achdian.
Video produksi: Heyder Affan dan Anindita Pradana