Penerima Nobel Perdamaian Uskup Belo dari Timor Leste Diduga Memperkosa Anak Laki-laki

Diana Mariska Suara.Com
Kamis, 29 September 2022 | 13:39 WIB
Penerima Nobel Perdamaian Uskup Belo dari Timor Leste Diduga Memperkosa Anak Laki-laki
Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo di Dili, Timor Leste, pada tahun 1999. (WEDA / AFP)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Uskup legendaris Timor Leste sekaligus peraih Nobel Perdamaian, Carlos Filipe Ximenes Belo, diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak.

Dua orang yang menjadi korban kekerasan seksual menceritakan kisah mereka, dan menuntut mantan pemimpin gereja Katolik di Timor Leste tersebut meminta maaf.

Dalam artikel yang dipublikasikan oleh De Groene Amsterdammer, Paulo (nama samaran) menceritakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Uskup Belo, yang merupakan seorang tokoh penerima penghargaan Nobel.

Pada hari Minggu itu, Paulo menghadiri misa yang diadakan Uskup Belo di kediamannya di Dili, Timor Leste.

Setelah misa, Belo menghampiri Paulo yang kala itu berusia 15 atau 16 tahun dan memintanya untuk datang ke kediaman sang uskup.

“Saya sangat senang,” kata Paulo, yang kini berusia 42 tahun, saat menceritakan tentang undangan itu.

Paulo kemudian pergi ke kediaman Belo, dan pada malam hari, sang uskup mengajaknya ke kamar tidur.

“Uskup melepas celana saya, mulai menyentuh saya secara seksual, dan melakukan seks oral pada saya,” ujar Paulo.

Ia kemudian tertidur di tengah rasa bingung dan kagetnya. Saat Paulo bangun, Belo memberinya sejumlah uang.

“Pada pagi hari saya lari dengan cepat. Saya merasa sedikit takut dan merasa sangat aneh.”

Paulo menyebut dirinya merasa malu, tetapi ia kemudian menyadari bahwa kejadian itu bukanlah kesalahannya.

Kejadian serupa juga terjadi pada Roberto (42) yang kala itu masih berusia 14 tahun. Saat itu, gereja di kota tempatnya tinggal mengadakan sebuah pesta yang dihadiri oleh Belo.

Belo kemudian memintanya untuk datang ke biara, di mana ia kemudian tertidur di kamar sang uskup.

Ia kemudian terbangun.

“Uskup memperkosa dan melecehkan saya secara seksual malam itu”, ujar Roberto. “Pagi-pagi sekali, ia menyuruh saya pergi. Saya takut karena hari masih gelap, sehingga saya harus menunggu sebelum saya akhirnya bisa pulang. Dia juga meninggalkan uang untuk saya agar saya tutup mulut. Dan untuk memastikan saya kembali.”

De Groene menyebut Belo langsung memutus sambungan telepon saat dimintai respons atas tuduhan ini.

Menurut Paulo, sang uskup menyalahgunakan kekuasaannya terhadap anak laki-laki yang hidup dalam kemiskinan

“Dia tahu bahwa mereka tidak punya uang. Jadi, ketika dia mengundang Anda, Anda datang dan ia akan memberi Anda sejumlah uang. Meski demikian, Anda juga menjadi korban. Begitulah cara dia melakukannya,” Paulo menjelaskan.

Gereja Katolik sangat dihormati di Timor Leste karena peran besar mereka dalam aspek keagamaan dan sebagai organisasi yang membantu dan menawarkan perlindungan untuk warganya.

Roberto menyebut, apabila tuduhan terhadap Belo dipublikasikan, hal itu akan menghebohkan negara dan merusak perjuangan kemerdekaan di masa lampau.

Selain itu, masih sulit bagi masyarakat untuk berbicara tentang dugaan kejahatan seksual Belo karena adanya risiko stigmatisasi, pengucilan, ancaman, dan kekerasan.

Belo sendiri menerima Nobel Perdamaian tahun 1996 bersama aktivis cum diplomat Jose Ramos-Horta yang kini menjadi presiden Timor Leste. Keduanya menerima penghargaan tersebut “atas kerja mereka untuk mewujudkan solusi yang adil dan damai bagi konflik di Timor Timur”.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan De Groene, Belo memiliki korban yang lebih banyak. Majalah berita ini telah berbicara dengan dua puluh orang yang mengetahui kasus ini: pejabat tinggi, pejabat pemerintah, politisi, pekerja LSM, orang-orang dari gereja, dan profesional.

Lebih dari separuhnya mengaku secara pribadi mengenal seorang korban, sementara yang lain tahu tentang kasus tersebut, dan sebagian besar membahasnya di tempat kerja.

De Groene juga berbicara dengan korban lain yang tidak ingin menceritakan kisah mereka di media.

Sebagai korban, Paulo menginginkan publik untuk tidak lagi bungkam soal pelecehan seksual tersebut.

“Kita harus membicarakannya dan meneriakkannya lebih keras kepada dunia,” katanya.

Ia memilih menceritakan kisahnya karena ingin membuka jalan bagi korban lain untuk berbicara.

“Yang saya inginkan adalah permintaan maaf dari Belo dan gereja. Saya ingin mereka mengakui penderitaan yang menimpa saya dan orang lain, sehingga kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan ini tidak terjadi lagi.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI