Suara.com - Pasca ditetapkannya Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka terkait kasus suap perkara di Mahkamah Agung (MA). Presiden Joko Widodo alias Jokowi menegaskan perlu adanya reformasi di sektor hukum Indonesia.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar mendukung langkah Presiden Jokowi segera melakukan reformasi hukum untuk menyelamatkan marwah dan tegaknya hukum di Indonesia.
Menurutnya, Presiden Jokowi sebagai kepala negara perlu berkoordinasi dengan Ketua Mahkamah Agung Syarifuddin untuk melakukan reformasi hukum, sebab ranah kekuasaan kehakiman ada di kamar yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung.
“Ya, dukung untuk lakukan reformasi hukum. Caranya, Presiden Jokowi sebagai kepala negara harus bicara sama Ketua Mahkamah Agung, sebagai kepala negara dia harus bicara sama Ketua Mahkamah Agung karena kekuasaan kehakiman itu pimpinan tertingginya adalah Ketua Mahkamah Agung,” ujar Ficar.
Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Penyaluran BSU Dipercepat
Mahkamah Agung yang berkedudukan sebagai salah satu lembaga yudikatif tidak bisa diintervensi oleh presiden. Oleh karenanya, Ficar mendorong Jokowi menugaskan anak buahnya untuk menjalankan reformasi hukum yang diperintahkannya.
“Presiden itu kan kedudukannya dua, sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan. Nah kalau sebagai kepala pemerintahan, dia bisa koordinasi dengan Mahfud MD Menkopolhukam karena di bawah Mahfud ada kejaksaan dan Kapolri. Jadi kalau koordinasi mengenai penegakan hukum di bidang eksekutif maka itu polisi dan Kejaksaan,” jelas Ficar.
Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi sudah memerintahkan Menko Polhukam Mahfud MD untuk menjalankan perintahnya terkait reformasi hukum.
Dalam konteks bersih-bersih oknum hakim nakal, Ficar mengatakan perlu penekanan langsung oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas peristiwa memalukan yang dilakukan oleh Hakim Agung Sudrajad.
“Hakim itu dalam konteks dia sebagai profesional yang punya kewenangan mengadili dan memutus maka dia ada sepenuhnya di bawah kekuasaan kehakiman yang dipimpin oleh mahkamah agung oleh ketua mahkamah agung,” jelasnya.
Baca Juga: Melihat Prosesi Jokowi Dianugerahi Gelar Dada Madopo Malomo dari Kesultanan Ternate
“Jadi ketika ada perkara mafia-mafia hukum seperti itu harusnya yang bertanggung jawab ketua mahkamah agung, mahkamah agung bertanggung jawab membina hakim-hakim,” bebernya.
Lanjut Ficar, peristiwa itu merupakan tragedi yang tidak bisa dianggap biasa saja, harus disikapi dengan serius dan dilakukan pembenahan terhadap internal Mahkamah Agung.
“Nggak boleh dong dianggap biasa saja artinya ketua Mahkamah Agung membina hakim-hakim kalau ada yang melanggar seperti itu pasti langsung akan diberhentikan umpamanya begitu,” ucap Ficar.
Senada dengan Abdul Ficar Hadjar, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahamd Sahroni mendukung upaya Presiden Jokowi dalam reformasi hukum. Ia menyarankan reformasi dilakukan di bidang pengawasan terhadap Mahkamah Agung (MA).
"Saya rasa semua elemen bangsa sangat terpukul dengan kejadian korupsi hakim agung kemarin, termasuk DPR dan Presiden. Maka saya rasa sangat wajar apabila Presiden merasa perlu melakukan reformasi sistem kehakiman di Indonesia," kata Sahroni
Sahroni menilai reformasi yang harus dilakukan yakni pada bidang pengawasan. Menurutnya, pengawasan menjadi melempem lantaran yang diawasi ber-title 'Mahkamah Agung' atau 'Hakim Agung'.
"Saya rasa reformasi akan banyak pada poin pengawasan. Yang selama ini mungkin karena titelnya 'Mahkamah Agung' atau 'Hakim Agung', sehingga sulit untuk dijangkau oleh pengawasan," ucapnya.
Lebih lanjut, politisi Partai NasDem ini meminta agar KPK diberi kewenangan lebih untuk mengawasi Mahkamah Agung secara khusus. Dia meyakini terobosan KPK kemarin menetapkan Hakim Agung sebagai tersangka merupakan momentum yang tepat,
"Yang dilakukan KPK kemarin merupakan terobosan dan keberanian yang besar, yang saya kira bisa jadi awal momentum reformasi ini. Konkretnya, melibatkan KPK dalam semua sistem pengawasan dan memberikan wewenang dan kapabilitas lebih untuk melakukan penindakan," ujarnya.
"Iya benar untuk pengawasan yang konkret, sekarang belom ada, karena itu saat sekarang lah KPK untuk bisa mengawasi. Berikan kewenangan pengawasan kepada KPK agar lebih jelas dan tertib juga, insyaallah pasti baik kedepannya, tidak akan terulang kembali," lanjut dia.