Suara.com - Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu menyebut ada upaya memanfaatkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk menguatkan skenario dugaan pelecehan seksual Putri Chandrawathi, istri Ferdy Sambo. Undang-undang yang disahkan pada 12 April 2022 lalu itu digunakan melabeli Putri sebagai korban kekerasan seksual.
"Jadi upaya menjustifikasi Bu PC sebagai korban tanpa bukti akuntabel, ya digunakan dengan memanfaatkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Termasuk juga argumen bahwa peristiwanya berpindah dari Duren Tiga ke Magelang juga punya banyak kelemahan menurut kami," kata Edwin kepada wartawan dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Selasa (27/9/2022).
Dalam proses yang berjalan di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin mengatakan terdapat sejumlah kejanggalan. Dia menyoroti laporan polisi pada awal kasus ini.
"Ada dua laporan polisi yang sama, ditangani berbeda. Laporan polisi itu nomor 1/630. Ada tanggal 8 Juli dan ada tanggal 9 Juli," ujarnya.
Baca Juga: LPSK Mencium Adanya Kejanggalan dari Keterangan Bharada E terkait Kasus Ferdy Sambo
Pada dokumen tertanggal 8 Juli yang diterima LPSK tidak ditemukan tanda tangan Putri, namun pada dokumen 9 Juli terdapat tanda tangan.
"Tapi salah satunya benar atau keduanya enggak benar," tutur Edwin.
Pada kedua laporan itu, belum termuat UU TPKS, melainkan KUHP pasal 289 dan 335 tentang asusila. Diungkapkannya UU TPKS kemudian termuat dalam laporan, ketika rapat koordinasi yang diikuti LPSK di Polda Metro Jaya.
"Seperti penggunaan UU TPKS untuk memberikan justifikasi korban kepada Ibu PC secara formil," kata Edwin.
"Tanpa dibuktikan secara materil untuk melanjutkan kriminalisasi terhadap mendiang Yosua dan melindungi Ibu Pc dari upaya-upaya pihak lain yang mau mengungkapkan kebenaran dari peristiwa ini," sambungnya.
Baca Juga: LPSK Tidak Terpengaruh Dugaan Kekerasan Seksual PC: Tidak Akrab dengan Jaringan Ferdy Sambo
Dijelaskannya, dalam UU TPKS sangat subjektif, karena pengakuan korban bisa diterima kemudian diperkuat dengan bukti pemeriksaan dari psikolog klinis.
"Karena peristiwa kekerasan seksual itu di ruang tertutup, dia kemudian keunggulannya subjektif, jadi klaim korban bisa diterima. Kemudian cukup didukung oleh misalnya psikolog klinis. Dua hal ini dipenuhi, satu klaim korban, dua psikolog klinis-nya," tuturnya.
Namun, LPSK menolak hal tersebut, sebab hasil psikologis yang dimintakan jadi rujukan dari ahli Polda Metro Jaya. Sementara dalam proses asesmen LPSK ke Putri selalu gagal dilakukan.
"Karena kami punya kewenangan sendiri untuk melakukan asesmen psikologis. Dan menjadi aneh buat kami, kenapa sama psikolog klinis bisa cerita, sama LPSK enggak bisa cerita?" kata Edwin.
"Kok ceritanya milih-milih? Di depan wartawan di Mako Brimob bisa ngomong, dengan penyidik bisa ngomong, dengan psikolog klinis bisa ngomong. Kenapa sama LPSK enggak mau ngomong," sambungnya.