Suara.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkap kejanggalan awal pada pembunuhan Brigadi J alias Nofryansah Yosua Hutabarat. Kejanggalan itu yang pada akhirnya membuat LPSK tidak terpengaruh dengan skenario Ferdy Sambo untuk terbebas dari jeratan hukum.
Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu mengatakan saat awal mereka menerima informasi kasus ini sudah ditemukan kejanggalan, yakni tidak adanya laporan tentang meninggalnya Brigadir J.
"Sejak awal LPSK mencermati ada hal ganjil, janggal, tidak lazim. Ada tiga peristiwa, tapi hanya dua yang jadi sorotan. Ada dua laporan polisi (LP) yang lahir dari peristiwa 8 Juli 2022, yaitu LP A tentang tembak-menembak dan LP B laporan Ibu Putri Chandrawathi tentang perbuatan asusila," kata Edwin dalam diskusi di Jakarta Selatan, Selasa (27/9/2022).
Baginya, hilangnya nyawa dalam peristiwa itu tidak dapat dikesampingkan, terlepas dari latar belakang kejadiannya.
Baca Juga: Sidang Etik Brigjen Hendra Kurniawan Akan Dipimpin Wairwasum Irjen Tornagogo Sihombing
"Kenapa tidak ada yang menerbitkan LP A untuk kematian Yosua? Lalu kenapa Yosua yang katanya terduga pelaku tembak-menembak dan terduga pelaku perbuatan asusila dilakukan autopsi?" kata Edwin mempertanyakan.
Dikatakannya, autopsi merupakan proses pro justitia untuk mengungkap kematian seseorang.
"Dilakukan autopsi, tapi tidak diterbitkan LP A atas kematian Yosua, jadi tidak ada inisiatif sejak awal untuk mengungkap kematian Brigadir J," ujarnya.
Akhirnya kecurigaan LPSK itu terjawab. Kematian Brigadir J, bukan karena peristiwa baku tembak dengan Bharada E, melainkan pembunuhan berencana yang didalangi mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.
"Ini sudah kami ingatkan ketika pasca penetapan Bharada E sebagai tersangka. Kami kemudian mencicil ke publik beberapa informasi yang kami punya, termasuk juga kami ingatkan supaya Polri menghentikan diksi tembak-menembak," kata Edwin.