Kisah Fotografer yang Memotret Kaum Perempuan di Dunia Gelap Mafia Jepang

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 27 September 2022 | 13:37 WIB
Kisah Fotografer yang Memotret Kaum Perempuan di Dunia Gelap Mafia Jepang
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Semuanya dimulai pada suatu malam yang memabukkan, 15 tahun yang lalu di suatu bar Paris, Prancis.

"Saya dan teman merasa hancur karena kami telah putus dengan pasangan masing-masing. Kami minum banyak anggur dan berkata, 'ayo pergi jauh, ke Jepang', meskipun bisa ke tempat lain," kenang fotografer Chloé Jafé kepada BBC Mundo.

Perjalanan selama sebulan di Jepang membuat Chloé Jafé berubah dari yang tidak peduli menjadi sangat tertarik dengan budaya Jepang.

Jafé pun memutuskan untuk mengulanginya lagi: "Pada perjalanan kedua, saya berpikir, 'Lain kali saya akan tinggal. Saya merasa ada sesuatu yang harus saya lakukan di sini, walau saya tidak tahu apa.'

Baca Juga: Drama Ouroboros: Kerja Sama Polisi dan Yakuza dalam Misi Balas Dendam

Ia kemudian membenamkan dirinya ke dalam hal-hal yang berbau Jepang, dari film samurai kuno hingga serial, novel, dan komik. Saat itu dia mulai merasa tertarik dengan dunia kejahatan terorganisir di Jepang: yakuza.

"Di satu sisi, itu seksi," katanya.

Perempuan di dunia laki-laki

Terbagi menjadi kelompok atau sindikat seperti mafia di Italia, yakuza menjalankan semua jenis bisnis kriminal.

Yakuza terlibat dalam berbagai kejahatan, mulai dari perjudian, narkoba, prostitusi hingga rentenir, jaringan pemerasan, hingga kejahatan kerah putih.

Nama organisasi ini berasal dari gabungan angka 8, 9, dan 3 (yang jika diucap dalam bahasa Jepang: ya, ku, sa) - deretan angka paling buruk dalam permainan kartu.

Baca Juga: Pernah Menato Gangster Yakuza, Setelah Mualaf Laki-laki Jepang Ini Jadi Imam Masjid

Baca juga:

Itulah sebabnya para anggota menganggap nama itu sebagai penghinaan dan lebih memilih nama gokudo ("jalan ekstrem"). ) atau ninkyo dantai ("organisasi yang terhormat atau sopan").

Meskipun asal usulnya sejak abad ke-17, yakuza meraih kemegahannya di paruh kedua abad ke-20.

Saat itu, dunia kejahatan berkembang pesat di tengah tekanan pertumbuhan ekonomi Jepang usai Perang Dunia II.

Namun, modernisasi masyarakat Jepang dan penganiayaan terhadap polisi telah menghancurkan yakuza.

Pada awal 1960-an, jumlah yakuza diperkirakan lebih dari 200.000 anggota.

Namun, angka itu terus menurun hingga menjadi sekitar 12.000 orang pada tahun lalu, menurut perkiraan penegak hukum.

Dan, semua anggota itu memiliki kesamaan: mereka adalah laki-laki.

"Saya melihat tidak ada perempuan dan bertanya-tanya mengapa. 'Tentu harus ada perempuan,' pikir saya, hanya saja mereka tidak membicarakannya."

Chloé Jafé menemukan Yakuza Moon, novel otobiografi Shoko Tendo yang menceritakan masa remajanya yang sulit sebagai putri seorang gangster Jepang.

"Saya merasa sangat dekat dengan kenyataan itu dan saya berkata pada diri sendiri: 'ini adalah pekerjaan saya, saya harus bertemu dengan para perempuan itu dan melakukan sesuatu yang visual bersama-sama'".

Chloé Jafé pun memutuskan untuk membeli tiket lagi ke Jepang, kali ini untuk tinggal dan memfoto para perempuan yakuza.

Pertemuan yang menentukan

Pada awal 2013, Jafé menetap di Tokyo tanpa memiliki kontak atau pengetahuan tentang bahasa Jepang - salah satu bahasa yang sulit dipelajari karena penulisannya menggabungkan tiga huruf yang sama sekali berbeda.

"Itu adalah proyek saya dan saya sangat keras kepala. Saya tidak tahu bagaimana, tetapi harus melakukannya. Saya tahu itu tidak akan segera terjadi, tetapi saya senang mendedikasikan diri untuk itu tanpa menghitung hari."

Dua tahun berlalu. Dengan tingkat bahasa Jepang yang dapat diterima, dia mendapat pekerjaan sebagai pendamping tamu di tempat hiburan.

Pendamping tamu atau kyabajo ("gadis kabaret") menghibur pengunjung klub malam- biasanya laki-laki paruh baya atau lebih tua. Caranya dengan aktif dalam percakapan, menyanyikan lagu karaoke, menuangkan minuman, hingga menyalakan rokok.

Chloé Jafé mendefinisikan mereka sebagai "semacam geisha modern".

"Saya benar-benar terlibat dengan perempuan-perempuan ini. Beberapa dari mereka punya pacar atau ayah di yakuza, dan juga klub-klub itu biasanya dijalankan oleh mafia. Itu adalah titik awal yang baik untuk masuk ke dunia mereka," kenangnya.

Namun, momen krusialnya muncul secara kebetulan pada siang hari, saat festival Sanja Matsuri Shinto di lingkungan tradisional Tokyo, Asakusa.

"Entah bagaimana, saya bertemu dengan bos yakuza. Saya sedang duduk dan dia muncul mengenakan kimono dan dua pengawal. Saya tidak tahu siapa dia, tapi dia tampak penting."

Dia adalah oyabun atau bos dari mafia Jepang. Bos itu mengundang Chloé ke mejanya.

Lalu Chloé menyimpan nomor teleponnya dengan alasan ingin mengirimi bos itu foto-foto festival.

"Saya mengiriminya foto-foto dan mengundangnya makan malam beberapa hari kemudian. Itu adalah kejutan baginya dan saya benar-benar ketakutan."

Masuk ke dalam yakuza

Chloé Jafé lalu memilih sebuah restoran yang dekat dengan kantor polisi dan stasiun kereta bawah tanah, jika seandainya harus melarikan diri.

Chloé pun bertemu dengan bos itu yang didampingi para pengawalnya.

Meskipun sudah dapat berbicara bahasa Jepang yang baik, Chloé lebih suka mengungkapkan niatnya di atas kertas catatan.

"Saya seorang fotografer Prancis dan saya ingin mengambil gambar perempuan dalam kelompok mafia di negara Anda dengan hormat dan meluangkan waktu yang diperlukan. Untuk itu, saya butuh bantuan Anda."

Tanggapannya positif: "Dia memberi tahu saya, 'Begini, saya bisa memperkenalkan Anda kepada orang-orang dari Hokkaido hingga Okinawa.'"

Perkataan tersebut amat signifikan karena itu berarti Chloé bisa bertemu figur penting kelompok tersebut di seluruh Jepang.

Namun, seniman perempuan itu terlebih dahulu harus mendapatkan kepercayaan dari bos dan kelompoknya.

"Dia mempermainkan saya sesaat. Dia melihat bahwa saya masih muda dan cantik, dan berpikir apakah bisa menggunakan saya untuk sesuatu atau tidak, lalu mencari tahu apa niat saya... singkatnya, saya diuji."

Secara bertahap, mereka mulai mengundang Chloé ke acara dan pertemuan yakuza.

"Pengawalnya menjemput dan saya tidak tahu di mana kami akan bertemu, seperti di film. Saya menanyakan beberapa hal tetapi dia tidak menjawab. Ada saat-saat yang menegangkan."

Istri oyabun yang awalnya tidak percaya, akhirnya mengajak masuk Chloé bahkan mengizinkan liburan tahun baru bersama keluarganya.

Lalu, Chloé bertemu dengan istri bos yakuza yang lain, yang menjadi foto pertama proyeknya.

Chloé memperluas kontaknya di yakuza dengan perempuan baru untuk difoto.

"Ini mengerikan, tapi... Saya curiga beberapa orang yang mungkin tidak ingin difoto harus berpose untuk saya, karena saya berteman dengan bos," akunya.

Sesi-sesi pertama di Tokyo kemudian diikuti oleh banyak sesi lainnya di berbagai tempat di Jepang, seperti Osaka dan kepulauan subtropis Okinawa.

Okinawa adalah tempat pangkalan udara AS terbesar di kawasan Asia Timur sekaligus lokasi berkembangnya dunia kriminal Jepang pada abad ke-20.

Foto-foto di Okinawa dibukukan dalam salah satu seri trilogi karya Chloé Jafé berjudul Okinawa mon amour.

Foto itu menunjukkan sisi pulau yang paling gelap dan marjinal.

Tato-tato perempuan yakuza

Lensa foto Chloé memberikan fokus khusus pada tato perempuan yakuza.

"Mafia Jepang menarik karena terkait erat dengan budaya tradisional Jepang, seperti dalam kasus tato, yang terkait dengan mitologi. Hampir seperti mafia budaya," katanya.

Baca juga:

Dan, meskipun hari ini tidak sulit menemukan orang dengan tato naga atau ular di banyak tempat, di Jepang, budaya tato dan persepsi mereka benar-benar berbeda.

"Di sana tato tidak dibuat untuk dipamerkan," jelas Chloé.

Masyarakat Jepang menolak tato dan mengaitkannya dengan kejahatan serta marginalitas.

Bagi mereka yang memiliki tato dilarang masuk ke kolam renang dan tempat umum tertentu.

Sementara, bagi yakuza, tato adalah lambang kesetiaan kepada kelompok dan juga perlawanan terhadap rasa sakit, karena biasanya tato dibuat menggunakan metode tradisional: tongkat kayu dan jarum, yang lebih lambat dan lebih tajam.

Pengabdian sebagai cara hidup

Seri pertama dari trilogi ini berjudul Inochi Azukemasu atau Aku memberimu hidupku, mengacu pada pengabdian perempuanterhadap para pria yakuza.

"Mereka tahu bahwa laki-laki ini bukanlah orang yang tepat. Jika mereka bergaul dengan yakuza maka akan terputus dari masyarakat selamanya, karena tidak ada yang mau berhubungan dengan mafia di Jepang. Tetap saja, mereka terlibat karena jatuh cinta."

Dan meskipun mereka tidak secara resmi menjadi anggota, kaum perempuan memiliki aturannya tersendiri, terutama di tingkat yang lebih tinggi dalam yakuza.

"Ketika menikahi capo [ketua/kepala] maka Anda harus menjaga para anggota mafia, mengetahui informasi pribadi mereka, cerita mereka dan waspada atas segalanya. Jika sesuatu terjadi pada suami, Anda harus mengambil perannya sampai bos berikutnya datang".

Menurut pengalaman Chloé, istri seorang oyabun "adalah perdana menteri dari mafia dan melakukan segala sesuatu dalam bayang-bayang, selalu dari belakang."

Juga, yakuza adalah jalan mundur yang sulit, terutama bagi mereka.

"Perempuan yang bercerai dari yakuza berada dalam posisi yang sulit, karena mereka tidak pernah bisa benar-benar keluar. Mereka kehilangan dukungan dari mafia tetapi pada saat yang sama hampir tidak mungkin untuk membangun kembali kehidupan mereka dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat Jepang. Mereka tidak akan pernah bisa pergi dari dunia bawah," kata Chloé.

Banyak dari mereka juga bertugas mengelola klub hiburan malam, bisnis legal dan ilegal lainnya yang dioperasikan oleh mafia Jepang.

Proyeknya selesai, Chloé Jafé kembali ke Prancis pada akhir 2019.

Dan dia merasa, setelah hampir tujuh tahun tenggelam dalam ruang bawah tanah masyarakat Jepang, dia tidak lagi sama seperti dulu.

"Saya menghabiskan banyak waktu bersama mereka dan saya merasa bukan lagi orang asing di Jepang. Mereka menyambut saya sebagai putri mereka sendiri. Mereka menjadi keluarga saya di Jepang."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI