Temuan Jika Penyakit Mulut dan Kaki Kemungkinan Masih Ada di Bali

SiswantoABC Suara.Com
Senin, 26 September 2022 | 14:44 WIB
Temuan Jika Penyakit Mulut dan Kaki Kemungkinan Masih Ada di Bali
Ilustrasi sapi dengan gejala penyakit mulut dan kuku (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Para pakar meragukan klaim dari para pejabat di Indonesia, yang mengatakan mereka tidak lagi mencatat adanya kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) dalam beberapa pekan terakhir.

Kantor Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali mengatakan Bali sudah bebas PMK hampir dua bulan terakhir.

Laporan resmi terakhir mengenai adanya kasus di Bali adalah pada tanggal 1 Agustus lalu.

Namun ABC melihat dan merekam ternak yang menunjukkan gejala PMK selama beberapa minggu terakhir di beberapa wilayah di Bali.

Baca Juga: 11 Ekor Sapi di Sumbar Positif Mengidap Penyakit Mulut dan Kaki, Pasar Ternak Ditutup 14 Hari

Para petani melaporkan ternak mereka mengalami gejala konsisten dengan PMK, seperti mulut yang berbusa, kaki yang bengkak dan ternak yang kehilangan nafsu makan.

Para pejabat di Denpasar juga mengonfirmasikan kepada ABC, jika lebih dari 60 ternak dipotong di pekan pertama bulan September karena PMK.

Seorang pejabat senior Kementerian Pertanian mengatakan Bali sudah memotong 556 sapi yang mengidap PMK di bulan Juli, demi menghilangkan klaster PMK di Denpasar dan sekarang tidak ada lagi kasus PMK di pulau tersebut.

Namun seorang pakar masalah virus Indonesia yang tidak mau disebut namanya mengatakan ia sangat meragukan bahwa Bali sudah bebas dari PMK.

Sementara seorang dokter hewan Australia mengatakan tidak mungkin bisa menghilangkan kasus PMK di Indonesia sebegitu cepat seperti yang diklaim pejabat.

Baca Juga: Tak Hanya Sapi, Penyakit Mulut Dan Kaki di Lombok Tengah Mulai Serang Kerbau Dan Kambing

"Saya kira ini adalah penyakit paling menular kedua yang diketahui sains," kata Ross Ainsworth, dokter hewan, yang pernah bekerja belasan tahun di bidang peternakan di Australia tapi sekarang banyak menghabiskan waktu di Bali.

"Kebijakan Pemerintah di sini [Indonesia] adalah tidak membicarakan penyakit tersebut dan berharap beritanya akan hilang dari pembicaraan."

"Penyakit ini sangat menular sehingga pasti akan tetap ada dan akan tetap di sini dalam waktu yang lama."

Pemerintah Bali juga tampaknya berada di bawah tekanan untuk menghilangkan penyakit tersebut, sebelum Bali menjamu para pemimpin dunia yang akan hadir dalam KTT G-20 pada pertengahan November.

'Kasusnya nol, betul-betul kasusnya nol'

Dalam perjalanan yang baru-barui ini dilakukan, ABC merekam sejumlah sapi yang berada di kawasan sebelah timur dan barat daya pulau, yang menunjukkan gejala yang konsisten dengan kasus PMK.

Namun para pemilik ternak tidak bisa mengonfirmasi apakah hewan ternaknya terkena PMK, juga tidak bisa melakukan pengobatan karena kesulitan biaya.

Di Jembrana, dari mulut hewan ternak milik Ketut Denio sudah keluar cairan seperti busa.

Cairan seperti itu biasanya merupakan pertanda bahwa ternak sudah terkena PMK.

Tetapi bagi peternak seperti Ketut Denio, membunuh ternaknya atau pun membawanya agar diperiksa oleh dokter hewan terlalu mahal.

"Dokter hewan hanya periksa sekali saja dan kemudian akan memberikan suntikan karena kami harus bayar sendiri," katanya kepada ABC.

Tidak jauh dari situ, sejumlah kecil ternak sapi juga menunjukkan tanda-tanda terkena PMK: mulut berbusa, kurang nafsu makan dan kaki yang bengkak.

Pemiliknya, yakni I Wayan Wilantara, khawatir ternak satu-satunya tersebut akan mati.

Tetapi karena tidak punya uang untuk membawa ke dokter hewan, dia mengobatinya dengan obat tradisional campuran kunyit dan madu, serta obat kumur Betadine.

"Bila saya harus memanggil dokter hewan untuk tiga ekor sapi ini biayanya lebih dari Rp150 ribu," katanya.

Meski menunjukkan gejala-gejala PMK, pejabat setempat mengatakan sapi-sapi di Jembrana mengalami penyakit lain.

"Kasusnya nol, benar-benar kasusnya nol," kata I Wayan Sunada, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali.

"Saya yakin. Saya yakin. Saya yakin itu bukan PMK. Bila menerima laporan adanya PMK, kami akan segera ke sana untuk melakukan pengecekan."

Dokter hewan asal Australia, Ross Ainsworth, mengatakan memang ada penyakit lain yang menimbulkan gejala seperti mulut ternak yang berbusa.

"Penyebabnya bisa saja karena keracunan, infeksi gusi atau lidah, atau mereka memakan zat berbahaya," katanya.

Namun gejala mulut berbusa pada ternak tersebut biasanya tidak disertai dengan pembengkakan di kaki.

"Kita dengan mudah bisa membedakan dengan melihat lidah dan melihat luka di kaki, serta melihat sejarah PMK yang menyebar lokal, serta vaksinasi," katanya.

ABC juga menemukan dan merekam lebih banyak ternak dengan gejala mulut berbusa dan luka-luka di kaki di kawasan Karangasem.

Karangasem adalah salah satu wilayah yang menetapkan adanya PMK di bulan Juni dan Juli lalu, setelah ditemukannya kasus pertama di Bali.

Lebih dari 60 ternak dibunuh di Denpasar di awal September dengan pihak berwenang mengonfirmasi penyebabnya adalah karena PMK.

Namun tidak ada kasus yang secara resmi dilaporkan dari Bali ke Gugus Kerja PMK Nasional sejak 1 Agustus.

Menjelang pertemuan G-20

Adanya kasus PMK di Bali terjadi beberapa bulan sebelum para pemimpin dunia menghadiri pertemuan tahunan G-20 pada pertengahan November mendatang.

Pejabat bidang Pertanian mengatakan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, di akhir Agustus lalu sudah memberikan perintah agar Bali tidak lagi mencatat kasus PMK sebelum pertemuan.

"Luhut mengatakan kepada kami Bali harus aman, harus memiliki nol kasus PMK," kata I Wayan Sudana.

"Kami sedang bekerja keras untuk melindungi Bali."

Bulan lalu, Luhut meminta Pemerintah Bali untuk mengambil langkah-langkah mengawasi pergerakan ternak dari dan ke Bali, untuk mencegah penyeludupan ternak, baik lewat darat maupun lewat pelabuhan.

"Jangan membuat Bali menjadi daerah yang berbahaya sehingga tidak bisa dikunjungi," katanya.

Ross Ainsworth mengatakan pertemuan G20, serta kekhawatiran jika Australia akan menutup perjalanan ke dan dari Bali untuk menghentikan PMK, menjadi alasan Indonesia mencoba tidak melaporkan adanya kasus-kasus baru.

"Bila ini terjadi di Australia, maka akan disebut sebagai hal yang sengaja ditutup-tutupi," katanya.

"Di Indonesia ini disebut kebijakan pemerintah yang bagus. Cara kerja di sini berbeda dengan apa yang terjadi di Barat."

Seberapa buruk situasi PMK di Indonesia?

Adanya wabah PMK di Indonesia untuk pertama kalinya dalam 32 tahun terakhir menjadi kekhawatiran bagi Australia yang sudah tidak memiliki kasus PMK sejak tahun 1972.

Meski khawatir adanya kasus yang tidak terdeteksi, Ross memuji kecepatan Indonesia dalam menangani kasus.

Ia mengakui vaksinasi ternak di Bali lebih cepat dibandingkan provinsi lain di Indonesia.

Jumlah kasus di Bali memang terbilang kecil, dengan seluruh ternak di bawah angka 600 ribu, yang tersebar di kalangan ribuan peternak.

Keluarga biasanya memiliki satu atau dua ekor sapi per rumah.

Sampai pekan ini, sekitar 270 ribu ternak atau hampir 50 persen dari yang ada di Bali sudah mendapatkan paling sedikit satu dari dua vaksinasi yang diperlukan.

Australia sudah memasok sekitar satu juta vaksin ke Indonesia, yang dikirimkan ke Bali dan pulau-pulau di bagian timur Indonesia, di mana kasus ini juga merebak.

Pulau Sumba dan Sumbawa juga sekarang masuk dalam kategori zona merah.

Namun data nasional menunjukkan tujuh provinsi melaporkan tidak adanya kasus baru setelah sebelumnya masih ditemukan.

Meski adanya kekhawatiran PMK akan bisa mencapai daratan Australia untuk pertama kalinya dalam 150 tahun, Ross mengatakan ancaman penyakit ini menyebar dari Bali sekarang lebih rendah dari sebelumnya.

"Saya awalnya sangat khawatir penyakit ini akan masuk ke Australia. Saya kira peluangnya 50-50," katanya.

"Sekarang keadaan berubah. Saya kira ancamannya jauh lebih rendah."

Indonesia berhasil memberantas wabah PMK di tahun 1980-an dengan usaha vaksinasi.

Ross mengatakan ada kemungkinan, paling tidak di Bali, keberhasilan ini bisa tercapai kembali.

"Dulu berhasil  dibasmi dengan usaha vaksinasi saja. Jadi semuanya masih mungkin dilakukan sekarang," katanya.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI