Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara terkait Hakim Agung Sudrajad Dimyati yang menjadi tersangka atas kasus dugaan suap. Jokowi melihat adanya desakan untuk mereformasi hukum Indonesia.
"Saya lihat ada urgensi sangat penting untuk mereformasi bidang hukum kita," kata Jokowi di kawasan Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta Timur, Senin (26/9/2022).
Mengenai kasus yang menyeret Sudrajad, Jokowi mengatakan bahwa hal yang paling penting ialah tetap menunggu proses hukumnya tuntas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia lantas melimpahkan perihal kasus tersebut ke Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Baca Juga: Soroti Kasus Lukas Enembe, Presiden Jokowi: Hormati Proses Hukum yang Ada di KPK
"Sudah saya perintahkan ke Menko Polhukam, jadi silakan tanyakan ke menko polhukam. Saya kira kita ikuti proses hukum yang ada di KPK."
Tahanan KPK
Hakim Agung Sudrajad Dimyati resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan melakukan penahanan terhadap tersangka selama 20 hari pertama.
Setelah terjaring operasi tangkap tangan atau OTT kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung, pada Jumat (23/9/2022).
“Tim penyidik kembali menahan satu tersangka yaitu SD (Hakim Agung Sudrajad Dimyati) untuk 20 hari pertama," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (23/9/2022).
Baca Juga: Jokowi Bicara Soal Reformasi Hukum: Saya Sudah Perintahkan Ke Menkopolhukam
Untuk proses penyidikan lebih lanjut, Sudrajad akan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Kavling C1, Jakarta Selatan.
Konstruksi Perkara
Berawal dari adanya laporan pidana dan gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) di Pengadilan Negeri Semarang.
Selanjutnya diajukan oleh tersangka Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana dengan diwakili kuasa hukumnya yakni Yosep dan Eko.
Heryanto dan Eko merasa tidak puas terhadap proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Maka dari itu, keduanya mengajukan kasasi ke MA.
Dalam proses ini, muncul niat jahat dari Yosep dan Eko. Keduanya disebut telah melakukan pertemuan tidak wajar dengan pegawai di Kepaniteraan MA.
"Melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung,” kata Firli.
Pegawai MA yang menyatakan bersedia dan bersepakat dengan Yosep dan Eko yakni Desy Yustria dengan imbalan sejumlah uang.
“Hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES," ujar Firli.
Desy kemudian mengajak PNS pada Kepaniteraan MA yakni Muhajir Habibie dan Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu untuk ikut serta menjadi penghubung penyerahan uang ke majelis hakim.
Firli menyebut Desy menerima gelontoran uang senilai SGD 202.000 atau Rp2,2 miliar dari Yosep dan Eko.
"Kemudian oleh DY (Desy Yustria) dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar sejumlah Rp250 juta, MH (Muhajir Habibie) menerima sekitar Rp 850 juta, ETP (Elly Tri) menerima sekitar Rp100 juta dan SD (Sudrajad) menerima sekitar Rp800 juta yang penerimaannya melalui ETP," beber Firli.
Lewat pemberian uang itu, diharapkan putusan yang diharapkan Yosep dan Eko pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi yang sebelumnya menyatakan koperasi simpan pinjam Intidana pailit.
Sebagai pemberi suap, Heryanto, Yosep, Eko, dan Ivan Dwi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudrajad, Desy, Elly, Muhajir,Nurmanto Akmal, dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.