Suara.com - Andai dunia 77 tahun lalu sudah mengenal satelit dan media sosial, bom atom mungkin tak akan pernah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.
Beberapa tahun setelah bom atom dijatuhkan di dua kota di Jepang pada Perang Dunia II itu, sebagian pelaku di balik bom atom menyesal telah menjatuhkan senjata pemusnah massal itu, walaupun keputusan itu telah membuat Jepang menyerah untuk kemudian mengakhiri Perang Dunia II sekaligus menciptakan penderitaan puluhan juta manusia yang disengsarakan oleh pendudukan Jepang.
Di antara yang menyesal adalah Robert Oppenheimer dan Mayor Claude Eatherly.
Oppenheimer adalah fisikawan yang memimpin proyek pembuatan bom atom, sedangkan Eatherly adalah satu-satunya pilot yang terlibat dalam penjatuhan bom atom di Jepang yang menyesal telah menjatuhkan bom atom.
Baca Juga: Warga Rusia yang Menentang Perang Putin dengan Risiko Dipenjara
Saking menyesalnya, Eatherly rutin mengirimkan gajinya untuk warga kota Hiroshima, menulis surat penyesalan dan berusaha bunuh diri.
Oppenheimer dan Eatherly menjadi menyesal setelah beberapa lama kemudian mengetahui ratusan ribu orang yang sebagian besar korban tak berdosa mati karena bom atom. Bom atom juga memusnahkan pencapaian-pencapaian besar dari peradaban manusia.
Kedua orang ini baru mengetahui semua itu jauh setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki karena saat itu media massa tak bisa melaporkan peristiwa secepat seperti sekarang. Pada era itu media perlu menunggu paling sekian hari, termasuk visualisasi bom atom di Nagasaki dan Hiroshima.
Bayangkan jika itu terjadi di zaman ini di mana peristiwa yang terjadi beberapa detik lalu bisa disaksikan beberapa detik kemudian oleh manusia sejagat.
77 tahun kemudian, setelah serangan balasan Ukraina memukul mundur pasukan Rusia di Ukraina timur laut, Presiden Rusia Vladimir Putin untuk ke sekian kali mengeluarkan ancaman menggunakan senjata nuklir.
Baca Juga: PM Kanada Sebut Invasi Putin ke Ukraina Sudah Gagal
Didahului referendum di daerah-daerah pendudukan Rusia di Donbas dan Ukraina selatan, Rusia diyakini segera menyatukan wilayah-wilayah itu ke dalam teritorialnya. Dengan cara ini Rusia membuat demarkasi bahwa setiap serangan ke wilayah-wilayah yang baru saja menggelar referendum itu adalah juga serangan terhadap Rusia.
Dalam skenario ini, Putin merasa sah menggunakan instrumen perang apa pun, termasuk senjata nuklir, guna mencegah wilayah-wilayahnya yang didudukinya itu diserang oleh Ukraina.
Banyak yang menilai ancaman ini gertakan, tetapi tidak sedikit pula yang menganggap serius, lebih karena pribadi Putin tak bisa ditundukkan oleh apa pun dan siapa pun.
Pertanyaannya apakah Putin akan mampu memikul kecaman manusia sejagat ketika bom nuklir diledakkan di Ukraina?
Apakah dia bisa menjamin rakyat Rusia terus mendukungnya ketika dunia serempak marah karena senjata pemusnah massal diledakkan di Ukraina? Apakah dia yakin posisinya akan aman-aman saja setelah senjata nuklir diledakkan?
Presiden Harry Truman yang memerintahkan Nagasaki dan Hiroshima dibom atom pada Perang Dunia II, tertolong oleh media massa yang jauh lebih lambat dari sekarang sehingga opini global antiperang nuklir baru terbentuk beberapa puluh tahun kemudian.
Akan tetapi jika pada era ini ada seorang pemimpin yang memerintahkan penggunaan bom nuklir maka dia harus juga bersiap menghadapi reaksi instan dari seluruh dunia yang mungkin terjadi dalam hitungan jam atau menit, setelah serangan nuklir itu.
Jagat era ini berbeda dengan dunia 77 tahun. Kini, satelit, drone, dan pesawat-pesawat pengindra jarak jauh bertebaran di seluruh penjuru langit.
Sampai setahun lalu ada 4.550 satelit yang mengorbit Bumi. Beberapa di antaranya khusus ditujukan untuk misi militer.
Beberapa lainnya disewa untuk kelompok-kelompok hak asasi manusia untuk mendokumentasikan aksi-aksi anti-kemanusiaan yang pelakunya kemudian dibawa ke Pengadilan Internasional.
Contohnya, bukti kekejaman junta militer Myanmar yang didokumentasikan dengan jelas oleh satelit ketika media massa tak bisa melakukannya.
Di antara satelit-satelit itu ada yang fokus memperhatikan Perang Ukraina dan menangkap setiap momen luar biasa, termasuk dalam kepentingan mengadili pelaku kejahatan perang, seperti dalam kaitannya dengan kejahatan perang tentara Rusia di Bucha dan Izium.
Berulang kali citra satelit membantah pembelaan rezim bahwa tidak terjadi kejahatan perang atau kemanusiaan di wilayah operasinya, tidak saja di Ukraina tapi di seluruh dunia.
Satelit-satelit yang sama akan siap merekam ledakan bom nuklir dalam waktu seketika untuk kemudian disebarkan ke seluruh dunia dengan jauh lebih cepat dan jauh lebih viral dibandingkan dengan masa mana pun dalam sejarah umat manusia.
Miliaran pasang mata bakal menjadi saksi kedahsyatan bom itu beberapa menit atau jam setelah bom nuklir diledakkan.
Rugi Sendiri
Pada masa lalu butuh beberapa hari bagi media melaporkan dampak kerusakan akibat perang, bencana, dan malapetaka lainnya. Namun drone dan satelit era ini akan membuat manusia mendapatkan laporan dampak serangan nuklir tak lama setelah ledakan bom nuklir.
Ketika itu terjadi, media massa dan juga media sosial, akan serempak menyebarluaskan kengerian dan kerusakan akibat bom nuklir ke seluruh dunia, lengkap dengan visualisasinya.
Padahal dalam teori komunikasi, citra visual kerap memicu emosi manusia, mulai rasa senang, sedih, takut, ngeri, marah, dan seterusnya. Citra atau image yang entah foto atau video, memainkan peran amat kuat dalam membentuk persepsi manusia terhadap realitas, termasuk realitas perang.
Dalam konteks ini, foto-foto dan video kedahsyatan bom nuklir hampir pasti menciptakan rasa ngeri yang kemudian memicu amarah terhadap mereka yang meledakannya. Ketika ini terjadi maka bakal ada sikap global menolak perang dan bom nuklir.
Ketika kehancuran dan kesengsaraannya terlalu besar seperti sudah terlihat di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, maka pihak-pihak yang memicu perang, terlebih yang memerintahkan penggunaan senjata nuklir, bakal menjadi sasaran utama kemarahan manusia sedunia.
Hanya orang yang tidak memiliki empati yang mengglorifikasi serangan nuklir. Sebaliknya, kecaman dan kemarahan yang amat besar akan makin merongrong posisi Rusia, khususnya Vladimir Putin.
Kemarahan itu tidak hanya akan terjadi di Ukraina dan mayoritas dunia yang menentang aneksasi wilayah negara berdaulat oleh negara lainnya, namun juga mereka yang selama ini dianggap sekutu Rusia.
China yang senantiasa berusaha berpegang kepada konsensus global pun sangat mungkin mengubah sikapnya terhadap Rusia, apalagi Pakta Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) yang diprakarsai PBB dan mulai berlaku sejak 22 Januari 2021, membuat dunia mencapai konsensus untuk tidak menggunakan senjata nuklir.
Dengan segala skenario ini, Putin bisa dipaksa berpikir seribu kali sebelum menggunakan senjata nuklir.
Penggunaan senjata nuklir juga bisa memperkeras, memperluas, dan memperlama sanksi kepada Rusia yang akhirnya kian menyengsarakan rakyatnya dan kemudian bisa berbalik menciptakan masalah besar pada kelangsungan rezim Putin sendiri.
Presiden Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini mengecam ketidakberpihakan sejumlah negara dalam konflik Ukraina-Rusia, persis seperti Menteri Luar Negeri AS era awal Perang Dingin, John Foster Dulles, yang menyebut netralitas sebagai tak bermoral.
Pandangan ini akan makin umum di Barat jika Putin nekat meledakkan bom nuklir di Ukraina sehingga sangat mungkin kian banyak negara yang menentang Rusia, bukan karena definisi Barat tentang perang Ukraina, melainkan karena persoalan moral di balik penggunaan senjata nuklir.
Intinya penggunaan senjata nuklir hanya akan merugikan Rusia atau lebih tepatnya Putin sendiri. (Sumber: Antara)