Suara.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah dokumen hingga alat elektronik terkait suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung yang telah menjerat Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati sebagai tersangka.
Lokasi yang telah digeledah oleh tim yakni Gedung Mahkamah Agung RI jakarta dan sejumlah rumah kediaman para tersangka di wilayah Jabodetabek sejak Jumat (24/9/2022) kemarin.
"Ditemukan dan diamankan antara lain berupa berbagai dokumen penanganan perkara dan data elektronik yang diduga erat berkaitan dengan perkara," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dikonfirmasi, Sabtu (24/9/2022).
Sejumlah barang bukti itu, kata Ali, akan dilakukan analisa dan penyitaan untuk nantinya dikonfirmasi kepada saksi dan tersangka dalam proses penyidikan.
Baca Juga: KPK menduga Hakim Agung Sudrajad Tak Hanya Terima Suap dari Satu Urus Perkara di Mahkamah Agung
"Untuk melengkapi berkas penyidikan para tersangka," imbuhnya
Diketahui, KPK telah melakukan penahanan terhadap Hakim Agung Sudrajad untuk proses penyidikan selama 20 hari ke depan. Ia telah menyerahkan diri kepada lembaga antirasuah atas dugaan keterlibatannya dalam kasus suap di MA.
"Tim penyidik kembali menahan satu tersangka yaitu SD (Hakim Agung Sudrajad Dimyati) untuk 20 hari pertama," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (23/9/2022).
Untuk proses penyidikan lebih lanjut, Sudrajad akan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Kavling C1, Jakarta Selatan.
"Terhitung mulai tanggal 23 September 2022 sampai dengan 12 Oktober 2022,"ucap Alex
Baca Juga: Polda Jabar Bongkar Lima Kasus Penimbunan BBM Subsidi dan Gas Elpiji
Sehingga total tersangka yang ditahan sampai saat ini sudah sebanyak delapan orang. Mereka yakni, Sudrajad Dimyati, Hakim Agung pada Mahkamah Agung; Elly Tri Pangestu, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung; Desy Yustria, PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung; Muhajir Habibie, PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung; Nurmanto Akmal, PNS di Mahkamah Agung.
Kemudian, Albasri PNS di Mahkamah Agung; Yosep Parera, pengacara; dan Eko Suparno, pengacara.
Sementara itu, kata Alex, meminta kepada dua tersangka lain yang belum ditahan yakni Heryanto Tanaka, swasta atau debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto, swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana) untuk hadir penuhi panggilan KPK.
"KPK juga segera menjadwalkan pemanggilan IDKS dan HT untuk hadir ke gedung Merah Putih KPK dan menghadap tim penyidik," ucap Alex
Untuk total tersangka dalam kasus OTT suap pengurusan perkara yang dijerat KPK sebanyak 10 orang.
Adapun dugaan Hakim Agung Sudrajat menerima uang sebesar Rp 800 juta dalam pengurusan satu perkara di MA.
KPK menjelaskan awal mula melakukan penangkapan para tersangka. Ketika itu pada Rabu (21/9/2022) pukul 16.00 WIB, KPK mengendus perihal adanya transaksi uang tunai dari tersangka Eko Suparno yang berprofesi sebagai pengacara kepada tersangka Desy Yustria selaku PNS pada Kepaniteraan MA di sebuah hotel di Bekasi.
Usut punya usut, Desy merupakan kepanjangan tangan dari Sudrajad.
"DY sebagai representasi SD (Sudrajad Dimyati) di salah satu hotel di Bekasi," kata Firli saat konferensi pers di KPK, Jumat (23/9/2022) pagi.
Keesokan harinya, sekitar pukul 01.00 WIB, Kamis (22/9/2022) tim KPK langsung bergerak menangkap Desy di kediamannya beserta uang tunai berupa dolar Singapura senilai SGD 205.000 atau sekitar Rp 2.648.520.000.
Tim KPK turut mengamankan tersangka Yosep Parera selaku pengacara dan Eko Suparno di Semarang, Jawa Tengah. Mereka langsung dibawa ke Jakarta tepatnya ke Gedung Merah Putih KPK untuk dimintai keterangan secara lebih lanjut.
"Selain itu, Albasri, PNS di MA, juga hadir ke Gedung Merah Putih KPK dan menyerahkan uang tunai Rp 50 juta," ungkap Firli.
Konstruksi Perkara
Bermula dari adanya laporan pidana dan gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) di Pengadilan Negeri Semarang yang diajukan oleh tersangka Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana dengan diwakili kuasa hukumnya yakni Yosep dan Eko.
Heryanto dan Eko merasa tidak puas terhadap proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Maka dari itu, keduanya mengajukan kasasi ke MA.
Dalam proses ini, muncul niat jahat dari Yosep dan Eko. Keduanya disebut telah melakukan pertemuan tidak wajar dengan pegawai di Kepaniteraan MA.
"Melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES," ujar Firli.
Pegawai MA yang menyatakan bersedia dan bersepakat dengan Yosep dan Eko yakni Desy Yustria dengan imbalan sejumlah uang.
Desy kemudian mengajak PNS pada Kepaniteraan MA yakni Muhajir Habibie dan Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu untuk ikut serta menjadi penghubung penyerahan uang ke majelis hakim.
Firli menyebut Desy menerima gelontoran uang senilai SGD 202.000 atau Rp 2,2 miliar dari Yosep dan EKo.
"Kemudian oleh DY (Desy Yustria) dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar sejumlah Rp 250 juta, MH (Muhajir Habibie) menerima sekitar Rp 850 juta, ETP (Elly Tri) menerima sekitar Rp 100 juta dan SD (Sudrajad) menerima sekitar Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP," beber Firli.
Lewat pemberian uang itu, diharapkan putusan yang diharapkan Yosep dan Eko pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi yang sebelumnya menyatakan koperasi simpan pinjam Intidana pailit.
Sebagai pemberi suap, Heryanto, Yosep, Eko, dan Ivan Dwi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudrajad, Desy, Elly, Muhajir, Nurmanto Akmal dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.