Suara.com - Endang Nurdin, BBC News Indonesia
Seorang pekerja musiman Indonesia di perkebunan Inggris menjadi pemetik buah tercepat ketiga, hanya setelah lebih satu bulan bekerja. Namun keluhan utamanya adalah biaya keberangkatan yang ia bayar ke agen penyalur di Indonesia begitu besar sehingga ia terpaksa berutang.
Astungkara, saya pemetik buah tercepat ketiga, pemetik pertama dapat sekitar 100 tray (baki), saya cuma 75 tray, belum bisa melampaui pemetik nomor satu yang sudah berpengalaman.
Gede Suardika Widi Adnyana, pemuda asal Bali yang berusia 20 tahun itu, banyak senyum ketika menceritakan pengalamannya bekerja di perkebunan Clock House, Maidstone, Kent, Inggris selatan.
Baca Juga: KJRI Kuching Pulangkan Tujuh Pekerja Migran yang Terlantar dari Wilayah Sarawak
Kurang dari dua bulan bekerja, Suardika disebut sudah bisa bersaing dengan pekerja yang sudah lama berpengalaman.
"Bekerja di farm sangat mengasyikkan, bekerjanya juga enggak terlalu berat," katanya.
Ia adalah satu dari 318 pekerja Indonesia yang ditempatkan di perkebunan tersebut melalui salah satu dari empat agen penyalur resmi Inggris, AG Recruitment. Tetapi keberangkatan dari Indonesia diatur oleh PT Al Zubara Manpower Indonesia.
Baca juga:
- Gaji TKI di Inggris sekitar Rp23 juta per bulan
- Warung Indonesia di London: Jualan Nasi Padang, bakso, bertahan di tengah pandemi
Suardika termasuk salah seorang dari 1.274 orang yang telah ditempatkan di Inggris, kelompok pertama pekerja musiman dari Indonesia.
Baca Juga: 7 Pekerja Migran Indonesia Terlatar Dipulangkan, 1 Orang Tengah Lumpuh
Ia baru lulus diploma wisata di Bali, ketika mendengar ada peluang untuk bekerja di perkebunan Inggris.
Namun, untuk berangkat ke Inggris, Suardika harus meminjam uang ke bank melalui pamannya, sebesar Rp70 juta, dana yang ia cicil pembayarannya.
Biaya saya Rp70 juta, harus dibayar ke agency, ada penyalur, untuk menyambung ke agency. Dibilangnya sih untuk biaya visa, sidik jari, KTKLN [Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri] dan tiket pesawat bolak balik, kata Suardika ketika ditemui wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin di Clock House Farm.
Training pemetikan buah tak ada, tambahnya.
Dengan kecepatan bekerja seperti sekarang, kata Suardika, ia dapat menyisihkan sekitar 400 (sekitar Rp7 juta dengan nilai tukar saat ini) bersih per satu minggu.
Gaji saya rata-rata 500 (Rp8,7 juta) per minggu, sempat saat buah banyak saya dapat 670 lebih dipotong biaya akomodasi, makan, biaya pribadi seperti internet, saya bisa simpan 400 [per minggu], cerita Suardika setelah selesai shift-nya.
Gaji untuk pekerja musiman di Inggris ditetapkan sebesar 10,10 (Rp174.000) per jam, di atas upah minimum sebesar 9,50 per jam.
Claudiu Netiou mentor perkebunan yang melatih Suardika mengatakan dengan cara bekerja seperti sekarang, ia bisa menjadi pemetik tercepat pada musim-musim petik mendatang.
"Pemetik buah tercepat berasal dari Rumania yang telah bekerja memetik blackberi selama 12 tahun. Gede (Suardika) bekerja di tim yang sama dan baru memetik buah selama lebih sebulan. Saya rasa dalam musim-musim ke depan, dia akan lebih maju dan bisa menjadi pemetik tercepat, kata Claudiu yang dulu mengawali pekerjaannya sebagai pemetik buah.
Di perkebunan-perkebunan Inggris, para pemetik buah biasanya dibagi dalam tim yang terdiri dari sekitar 35 orang.
Para pekerja memetik stroberi, rasberi, bluberi, blackberi, apel dan plum, hasil buah yang sebagian besar dipasok ke supermarket besar, termasuk Marks & Spencer, Waitrose, Sainsburys, dan Tesco.
'Komitmen pekerja Indonesia contoh bagus'
Ozzy Agista Indrawan, pekerja asal Tegal, Jawa Tengah, di perkebunan yang sama, mengaku belum secepat Sudiarka, namun cara dia bekerja, memastikannya akan diangkat sebagai supervisor (pengawas) saat kembali pada musim petik depan.
Waktu awal-awal masuk dari 35 karyawan, saya dapat di tempat ke 27 tapi sekarang per minggu, nomor delapan atau 11 dari 35 orang. Timnya campur, ada orang Rumania, Macedonia. Yang harus dicontoh, orang Rumania, kerjanya cepat dan etos kerjanya juga bagus, kata Ozzy, yang baru pertama kerja di perkebunan.
Sebelumnya dia bekerja secara musiman di pabrik dan sektor wisata, masing-masing di Jepang dan Dubai.
Dengan bekerja seperti sekarang, kata Ozzy, ia menghasilkan pendapatan sangat besar, kita dapat gaji 400 bersih setelah dipotong makan dan lain-lain, kita bisa dapat Rp30 juta bersih dalam satu bulan, itu saja sudah bersyukur.
Baca juga:
- Nasib TKI di Inggris saat 'lockdown' - 'Tak bisa kerja, utang untuk makan membengkak'
- Rumah makan di London, satu dari ribuan bisnis yang mencoba bangkit di tengah resesi, akibat pandemi virus corona
Mentor di Clock House Farm, Claudiu, mengatakan pekerja Indonesia memiliki tingkat komitmen dan rasa hormat yang tinggi, berbeda dengan pekerja dari negara-negara lain.
Mereka berasal dari belahan dunia lain, dari budaya yang berbeda, senang bekerja dengan mereka. Komitmen mereka merupakan contoh bagus, tambahnya.
Tengah diselidiki biaya yang harus dibayar pekerja di luar visa dan penerbangan
Para pekerja ini direkrut oleh AG Recruitment, salah satu dari empat agen resmi di Inggris, melalui Direktur Pengelola Doug Amesz, yang berada selama enam minggu di Indonesia untuk merekrut secara langsung.
Namun keberangkatan di Indonesia diatur oleh PT Al Zubara Manpower Indonesia (PT AMI), perusahaan penempatan pekerja migran.
"Dari sisi regulasi di Indonesia, penempatan harus melalui perusahaan (penempatan pekerja migran) P3MI, melalui agen resmi. Al Zubara, salah satu recruitment agency yang punya izin dari Kementerian Tenaga Kerja untuk merekrut. Yang melakukan recruitment adalah AG, kata Didi Haryanto dari PT Al Zubara.
PT AMI ini menetapkan biaya Rp45 juta, termasuk biaya pelatihan dan biaya perusahaan, selain visa dan penerbangan.
Terkait biaya penempatan, AG Recruitment dalam tanggapan kepada BBC News Indonesia mengatakan mereka tengah memusatkan penyelidikan atas biaya apa saja yang dibayar pekerja, "selain visa dan biaya perjalanan".
AG Recruitment juga mengatakan mereka bekerja sama dengan pihak berwenang di Indonesia secara langsung untuk memahami masalah yang muncul dari perantara pihak ketiga karena kami prihatin dengan kesejahteraan para pekerja.
Baca juga:
- Kisah pekerja domestik Indonesia diangkat dalam buku
- PRT Indonesia di London: menikmati kebebasan pribadi
Kementerian Tenaga Kerja, melalui Suhartono, Direktur Jendral Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja mengakui apa yang mereka sebut "dugaan overcharging dengan kisaran yang harus dibayar pekerja antara Rp75 juta sampai Rp85 juta".
Namun Kemenaker mengatakan biaya yang dibayar kepada PT AMI sebesar "Rp45 juta sesuai dengan Perjanjian Penempatan (PP) yang telah ditandatangani oleh para PMI sebelum berangkat dengan PT AMI".
Suhartono juga menyatakan perjanjian penempatan telah diverifikasi oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, BP2MI, dan diketahui oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten asal para pekerja.
Biaya besar yang dibayar para pekerja mengejutkan pihak perkebunan seperti Clock House Farm.
Dari sekitar 800 pekerja yang berasal dari sembilan negara di perkebunan itu, pekerja Indonesia adalah yang terbanyak.
"Sebagai pihak perkebunan, kami Clock House Farm, menggunakan satu dari empat badan perekrutan yang diizinkan pemerintah untuk merekrut pekerja. Badan ini mencari pekerja dari seluruh dunia untuk bekerja di Inggris. Kami menggunakan salah satu dari badan itu dan mereka harus menunjukkan kepada kami, mereka melakukan langkah terbaik untuk menempatkan para pekerja di perkebunan di Inggris," kata Oli.
"Karena kami baru sadar ada biaya yang dibayar sejumlah pekerja, kami bekerja sama secara erat dengan badan-badan perekrutan untuk memastikan kami mencari solusi atas masalah yang baru kami sadari ini," tambahnya.
Ia juga mengatakan pihaknya pihaknya memastikan jam kerja cukup bagi pekerja.
"Kami menyediakan setidaknya 35 jam kerja seminggu rata-rata dalam skema pekerja musiman," kata Oli.
Baru 1.274 pekerja Indonesia dari permintaan 2.000 pekerja
Selain di Clock House Farm, para pekerja Indonesia tersebar di sekitar 15 perkebunan di seluruh Inggris.
Inggris memerlukan puluhan ribu pekerja musiman setiap tahun.
Agen-agen perekrutan, termasuk AG Recruitment, mencari tenaga kerja di luar Eropa di tengah kekurangan tenaga kerja musiman yang dialami Inggris akibat Brexit dan juga karena perang di Ukraina.
Sebelum Brexit dan perang di Ukraina, banyak pekerja musiman yang datang dari Polandia, Rumania, Bulgaria.
Tahun lalu, dari puluhan ribu tenaga kerja yang diperlukan di perkebunan, dua pertiga di antaranya berasal dari Ukraina dan juga Rusia.
Tahun ini, agen perekrut mencari dari negara yang lebih jauh termasuk Indonesia, Vietnam, Mongolia, Nepal, Tajikistan, Kazakhstan dan Kyrgystan.
Sejauh ini, lebih 1.400 tenaga kerja Indonesia telah direkrut untuk ke Inggris namun yang telah ditempatkan baru 1.274, jumlah yang masih jauh dari kebutuhan 2.000 pekerja dari Indonesia.
'Biaya sangat begitu besar... cari uang susah'
Bagi Gede Suardika, sejauh ini keluhan utamanya adalah biaya yang begitu besar. "Di Indonesia cari uang susah, dan kita ditarik biaya lumayan besar. Kalau kerjanya, seminggu sudah dapat chemistry kerja.
Sementara Ozzy yang bekerja di perkebunan yang sama, mengatakan teman-temannya yang juga mengeluarkan biaya keberangkatan tinggi kesulitan untuk menutup utang.
Yang sudah berkeluarga cukup berat untuk membayar harga itu (Rp65 juta), tapi yang belum berkeluarga bisa nabung untuk menutupi pembayaran itu, dari sekitar dua atau tiga bulan bisa menutup uang pemberangkatan, tambahnya.
Ozzy juga mengatakan ada sejumlah rekannya yang kena calo dan ada yang bahkan bayar sampai Rp75 juta bahkan sampai Rp90 juta.
BBC mengontak setidaknya 20 pekerja musiman di perkebunan lain yang menyatakan biaya yang mereka keluarkan antara Rp60-Rp80 juta dan bahkan lebih.
Agus Hariyono asal Temanggung, Jawa Tengah, yang dulu bekerja sebagai property developer, termasuk yang membayar biaya sebesar Rp65 juta.
Begitu juga dengan Pingkan Lydia Christine, guru TK di Jakarta yang bekerja di perkebunan yang sama dengan Agus, Dearnsdale Farm, Stafford.
Mereka mengatakan dengan bekerja sekitar 10 jam sehari, penghasilan yang mereka dapat cukup untuk menutup utang biaya pemberangkatan.
Sejumlah pekerja di perkebunan Mansfields, Middle Pett, Kent, juga memiliki kisah yang sama dan harus bekerja dalam waktu yang panjang guna menutup utang pemberangkatan.
Eni, yang bekerja di Rock Farm, Ross-on-Wye, dan teman-temannya juga harus mengeluarkan uang sekisar itu.
Pekerja asal Cilacap, Jawa Tengah, ini mengatakan bahkan ada teman yang dari Bali mengeluarkan Rp100 juta.
Eni mengatakan hasil gajinya dalam penempatan musim petik tahun ini, dapat digunakan untuk membayar modal berangkat dan membawa sisa saat kembali ke Indonesia.
Eni tak menyebut rinci sisa uang yang bisa ia bawa pulang ke Indonesia.
Namun perempuan yang bekerja sebagai penjahit saat di Cilacap ini, mengakui ia mengalami penurunan jam kerja karena panen buah yang mulai berkurang.
Saya sendiri alhamdulillah jadi supervisor. Sejauh ini tak ada keluhan hanya jam kerjanya saja [berkurang], sepertinya semua farm begitu, cerita Eni.
BBC mengontak sejumlah perkebunan termasuk Rock Farm untuk menanyakan jam kerja per minggu, namun belum mendapatkan jawaban sampai berita ini diturunkan.
'Biaya pelatihan seharusnya ditanggung negara'
Bagi banyak pekerja Indonesia, biaya keberangkatan yang menjadi ganjalan utama.
Biaya yang ditetapkan PT AMI sebesar Rp45 juta - dana yang mencakup pelatihan dan biaya perusahaan sebesar Rp20 juta - dikritik Migrant Care, badan advokasi perlindungan pekerja migran.
Didi Haryanto dari PT Al Zubara mengatakan pelatihan mereka lakukan karena salah satu persyaratan penempatan pekerja migran adalah sertifikasi, jadi kami harus mendidik mereka sesuai dengan job yang ada.
Misalnya pertanian, kami kerja sama dengan perkebunan stroberi yang punya kualifikasi minimal mengenal sistem penanaman, pemeliharaan sampai panen dan pasca panen. Itu persyaratan di Indonesia sehingga kami melakukan itu, tambah Didi.
Tetapi para pekerja di Indonesia yang telah tiba di Inggris mendapatkan pelatihan sambil bekerja, "on the job training", termasuk di Clock House Farm.
Mereka tidak diharapkan untuk mendapat pelatihan [di negara asal] sebelum mereka tiba. Kami menyediakan semua itu. Jadi saat tiba, mereka langsung bekerja sambal dilatih [dan mendapatkan gaji], kata Oli Pascall.
Menyangkut biaya pelatihan ini, Suhartono, Dirjen Binapenta mengakui ada pelatihan kerja oleh PT AMI di di Balai Besar Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Pertanian.
Siapa yang menarik dana puluhan juta rupiah dari para pekerja?
Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi, Migrant Care mengatakan, biaya penempatan dan biaya pelatihan yang dikenakan pada pekerja melanggar Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran.
"Berdasarkan Pasal 30 UU Perlindungan Pekerja migran, mereka tidak dapat dikenai biaya, itu diperkuat dengan peraturan BP2MI No 9, 2020 tentang bebas biaya bagi para pekerja migran," kata Anis.
"Sementara Pasal 30 huruf O, disebutkan pelatihan bagi para pekerja migran disediakan dari pemerintah pusat dengan biaya dari fungsi pendidikan ... sehingga pekerja migran tak perlu ditraining pra pemberangkatan, apalagi pekerjaan di Inggris sudah ada on the job training (pelatihan dan dibayar), mestinya tidak boleh dan harus dipertanyakan karena melanggar kalau ditarik biaya, harusnya free (bebas biaya)," tambahnya.
Menyangkut biaya puluhan juta lain di luar Rp45 juta yang ditetapkan oleh PT Al Zubara, Anis menuding penyalur di daerah "terkoneksi dengan perusahaan penempatan".
"Calo tak kerja secara mandiri tapi terkoneksi dan berjejaring dengan perusahaan penempatan apakah secara formal ataupun informal. Jadi sebagian di antara mereka juga petugas lapangan perusahaan untuk merekrut orang.
"Calo masih subur karena pengawasan dan penegakan hukum tidak jalan," kata Anis lagi.
PT Al Zubara belum menjawab pertanyaan BBC terkait biaya yang ditarik penyalur atau lembaga pendidikan ketrampilan di daerah yang terlibat dalam pemberangkatan pekerja musiman ke Inggris.
Biaya ke Inggris serendah mungkin
Skema pekerja musiman ini menurut Kementerian Dalam Negeri Inggris akan berlangsung "sampai akhir 2024" dengan tujuan "menjamin para pemilik perkebunan mendapatkan dukungan dan tenaga kerja yang diperlukan".
Kementerian Tenaga Kerja menyatakan sejumlah pekerja Indonesia beradaptasi dengan cepat dan banyak di antara mereka yang diangkat sebagai supervisor.
Sejumlah di antara mereka termasuk Gede, Suardika, Ozzy, Agus serta Pingkan mengatakan sangat ingin kembali ke perkebunan Inggris pada musim petik depan, kali ini "untuk menabung".
Kerja mereka selama enam bulan ini, kata mereka, mereka gunakan untuk menyelesaikan "utang" biaya keberangkatan yang tinggi.
Mereka menyatakan harapan hanya perlu membayar biaya visa dan penerbangan saja bila kembali ke Inggris tahun depan.
"Saya ingin balik karena kerjaan gak berat, gaji lumayan dibanding di negara kita," kata Suardika menutup pembicaran.
Bagi pemilik perkebunan, seperti Oli Pascall, keinginan para pekerja untuk kembali merupakan "berita sangat bagus".
"Kami ingin mereka kembali ke sini karena saya yakin, ada peluang kerja yang bagus di Inggris ini untuk orang dari seluruh dunia."
"Namun kami ingin memastikan, ada proses yang jelas dan biaya serendah mungkin bagi mereka ini untuk bekerja di perkebunan-perkebunan di Inggris," kata Oli.