Suara.com - Absennya pihak korban dan keluarga korban dalam sidang perdana kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Kabupaten Paniai, Papua, dinilai pengamat sebagai wujud rasa "tidak percaya" terhadap upaya penyelesaian kasus.
Perwakilan korban dan keluarga korban Yones Douw mengatakan mereka sudah membuat komitmen “menolak menyaksikan dan ikut hadir di pengadilan mulai awal sampai akhir“ karena hanya ada satu orang yang diadili.
“Kalau satu orang [tersangka] itu tidak memenuhi syarat itu bukan keadilan, itu penghinaan keluarga korban dan juga kami orang Papua,“ kata Yones.
Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Ordo Santo Augustinus Pater Bernardus Wos Baru di Soroang, Papua, bahkan menyebut proses penuntasan kasus tragedi Paniai ini membuat masyarakat Papua “tidak percaya” dengan pemerintah dan menganggap langkah ini sebagai “sandiwara hukum” dan “strategi politik” belaka.
Baca Juga: JPU Dakwa Isak Sattu Melanggar HAM Berat di Kabupaten Paniai
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional yang banyak mengkaji soal Papua Adriana Elisabeth menilai keputusan korban dan keluarga korban untuk tidak datang ke persidangan kasus Tragedi Paniai adalah bentuk “rasa kecewa“ dan “tidak percaya“ terhadap upaya penyelesaian kasus ini.
Sidang kasus Paniai digelar di Pengadilan Negeri Makassar pada Rabu (21/09), dengan agenda mendengarkan dakwaan jaksa terhadap terdakwa IS.
“Terdakwa sebagai komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau pasukan dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif sedang melakukan, atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,“ begitu kutipan dari surat dakwaan yang sudah disiapkan Kejaksaan Agung.
Baca juga:
- Kasus Paniai, Papua: Anggota TNI ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka pelanggaran HAM berat
- Kasus 'pelanggaran HAM berat' di Paniai, Papua: Keluarga korban tuntut keadilan, eks pejabat TNI klaim tak ada perintah dari atas
- Penembakan Paniai, Papua: Pengadilan pelanggaran HAM disebut akan berjalan 'buruk' karena hanya ada dua hakim ad hoc yang disebut layak mengadili
‘Bukan berarti kami berhenti‘
Penolakan untuk menyaksikan dan mengikuti jalannya proses persidangan, kata Yones, bukan berarti pihak korban dan keluarga korban berhenti mencari keadilan, melainkan justru “menuntut keadilan”.
Baca Juga: Kuasa Hukum Yakin Terdakwa Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai Bisa Bebas
“Jadi, seluruh pelaku, yang memberi perintah sampai eksekutor di lapangan, mereka harus diadili. Kalau pelanggaran HAM berat, itu berarti ada perintah sampai ke bawah. Komandonya jelas,” kata Yones kepada wartawan Aidil Bahar di Makassar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, sehari sebelum sidang digelar.
Dia menambahkan, kalau nantinya dalam proses persidangan ada korban atau keluarga korban yang hadir, itu merupakan “rekayasa oleh aparat atau negara”.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, kata Yones, pejabat-pejabat militer di atas IS yang memberi perintah juga “seharusnya diadili”.
“Yang sekarang diadili itu komandan eksekusi lapangan, kalau [petinggi militer] itu [ada], baru keluarga kami hadir karena itu pelanggaran HAM berat. Kalau pelanggaran HAM biasa, mungkin kami bisa hadir,” ujar dia.
Setidaknya empat komandan dari empat kesatuan yang terlibat dalam peristiwa itu, kata Yones, juga harus diperiksa atau dijadikan tersangka.
“Kalau tidak ada petinggi militer atau petinggi polisi yang hadir, kami tidak akan terlibat. Ini komando, sistem, melibatkan keseluruhan,” tambah dia.
Penetapan satu tersangka dalam kasus ini, juga dianggap pihak korban dan keluarga korban sebagai upaya negara melindungi para pelaku yang sebenarnya terlibat dalam tragedi berdarah pada 2014 lalu itu.
Pada 2020, ketika Komnas HAM menetapkan Tragedi Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat, mereka menduga anggota TNI yang bertugas pada peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cendrawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, sebagai "pelaku yang bertanggung jawab".
Terkait penambahan tersangka atau terdakwa, ketua tim jaksa penuntut umum dalam kasus Paniai Erryl Prima Putera mengatakan kepada BBC Indonesia untuk “mengikuti jalannya persidangan”.
Kata dia, kemungkinan penambahan tersangka bisa saja terjadi, jika fakta persidangannya mendukung dan hakim menyatakan demikian.
Sekadar 'Sandiwara hukum'
Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Ordo Santo Augustinus Pater Bernardus Wos Baru di Sorong, Papua, menilai pernyataan pihak korban dan keluarga korban yang tidak mau hadir di pengadilan memperlihatkan bahwa mereka “pesimis” dengan proses hukum yang sedang berjalan.
Lebih jauh lagi, dia mengatakan proses penuntasan kasus tragedi Paniai ini membuat masyarakat Papua “tidak percaya” dengan pemerintah dan menganggap langkah ini sebagai “sandiwara hukum” dan “strategi politik” belaka.
“Ini sebatas upaya pemerintah untuk hanya menutupi tuntutan dunia internasional, bahwa mereka sudah melakukan sesuatu upaya untuk menyelesaikan masalah kasus HAM berat di Papua, tapi padahal faktanya tidak. Jadi semacam satu trik saja,” kata Romo Bernardus kepada BBC News Indonesia.
Dengan demikian, Romo Bernardus menilai proses peradilan itu seperti tidak ada artinya bagi masyarakat sendiri, terutama bagi penuntasan kasus pelanggaran HAM yang kerap terjadi di tanah Papua. Sidang kasus Paniai ini juga tidak lantas membuat kasus pelanggaran HAM berhenti terjadi karena beberapa waktu lalu saja, enam prajurit TNI AD terlibat dalam mutilasi warga di Kabupaten Mimika.
“Fakta di lapangan, pelanggaran malah lebih banyak. Kami prediksi, dengan adanya pemekaran ini ada konflik bersenjata meningkat, dengan pihak pemerintah melalui TNI dan Polri, maka banyak sipil yang jadi korban,“ ujar Romo Bernardus.
‘Penolakan korban adalah hal yang paling sulit’
Penolakan dari pihak korban dan masyarakat Papua dinilai Adriana sebagai tantangan “yang paling sulit” dalam menyelesaikan kasus ini dan mengatakan itu sebagai simbol bahwa mereka tidak percaya dengan prosesnya.
“Ketika sudah ada rasa tidak percaya, bagaimana pemerintah bisa membangun kembali rasa percaya itu, ketika proses yang berjalan masih dianggap tidak transparan,” ujar Adriana.
Oleh sebab itu, Adriana menyarankan pemerintah melakukan mediasi dengan pihak korban dan keluarga korban agar bisa timbul kepercayaan dalam penyelesaian kasus ini.
“Walaupun mereka tidak mau hadir dalam persidangan, tapi saya yakin mereka pasti akan mengikuti proses ini. Itu menurut saya tetap harus dibangun komunikasi dengan pihak keluarga,” kata dia.
Beberapa hal dinilai janggal
Selain soal jumlah tersangka, yang saat ini sudah menjadi terdakwa, ada beberapa hal lainnya yang dinilai janggal oleh pihak korban dan keluarga korban, serta para aktivis kemanusiaan.
Salah satunya, soal penunjukan hakim pada Juli lalu. Dari delapan hakim ad hoc yang dipilih, Koalisi Masyarakat Sipil menilai hanya dua hakim yang dinilai layak mengadili kasus HAM.
Namun, Mahkamah Agung mengatakan para hakim ad hoc HAM yang terpilih memiliki integritas dalam penanganan hak asasi manusia.
Belum lagi lokasi persidangan yang dipilih di Makassar, bukan di Papua. Menurut Yones Douw selaku pendamping keluarga korban tragedi Paniai, itu juga memberatkan pihak korban dan keluarga korban.
Sebelum itu, korban dan keluarga korban juga sudah dikecewakan dengan tahap penyidikan yang dinilai “tidak transparan“. Yones mengatakan korban maupun keluarga korban bahkan belum pernah bertemu dengan tim penyidik.
"Kita tanya kepada keluarga korban, apakah Jaksa Agung atau tim yang dari Jakarta sudah ketemu keluarga atau korban, tapi mereka mengatakan sampai saat ini mereka belum ketemu," kata Yones dalam jumpa pers 28 Maret lalu, beberapa hari sebelum pengumuman tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Menurut peneliti LIPI Adriana, kejanggalan-kejanggalan itu harus diperhatikan, "supaya penegakan hukum yang berjalan tidak hanya dari perspektif pemerintah saja, tapi juga harus memenuhi rasa keadilan bagi korban".
Perjalanan Tragedi Paniai
Tragedi Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Sebanyak empat orang warga tewas ditembak dan 21 lainnya terluka ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya.
Beberapa pekan setelahnya, Presiden Joko Widodo berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut.
"Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
"Kita ingin, sekali lagi, tanah Papua sebagai tanah yang damai," kata Jokowi pada 27 Desember 2014, di Stadion Mandala, Jayapura.
Selang beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada Februari 2020, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menetapkan perisitiwa Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Dalam peristiwa itu, Komnas HAM mencatat empat orang tewas terkena peluru panas dan luka tusuk. Sementara itu, 21 orang lainnya terluka karena penganiayaan.
Penyidikan kasus pelanggaran HAM berat dalam tragedi Paniai dimulai pada Desember 2021. Selama kurang lebih empat bulan, Kejaksaan Agung telah memeriksa tujuh warga sipil, 18 orang dari kepolisian, 25 orang dari unsur TNI, serta enam pakar ahli.
Pada awal April 2022, Kejaksaan Agung RI menetapkan seorang tersangka berinisial IS – dalam kasus pelanggaran HAM berat, tragedi Paniai, yang terjadi pada Desember 2014.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah mengatakan IS merupakan pensiunan TNI yang pada saat itu menjabat sebagai perwira penghubung di Kodim (Komando Distrik Militer) Paniai.
Kejaksaan Agung mengumumkan telah melimpahkan berkas perkara kasus tragedi Paniai ke Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Makassar pada Juni 2022.