Suara.com - China menyebut bersedia melakukan upaya terbaik untuk mengupayakan "reunifikasi" yang damai dengan Taiwan, kata juru bicara pemerintah China pada Rabu (21/9).
Pernyataan itu datang setelah manuver militer dan latihan perang oleh Beijing dilaksanakan dalam beberapa minggu terakhir di dekat pulau itu.
China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, sedangkan pemerintah Taiwan menolak klaim tersebut dan mengatakan hanya penduduk pulau itu yang dapat memutuskan masa depan mereka.
Seperti diberitakan oleh Reuters, China telah melakukan latihan di dekat wilayah Taiwan sejak awal bulan lalu, setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengunjungi Taipei.
Ma Xiaoguang, juru bicara Kantor Urusan Taiwan di China, mengatakan bahwa menjelang kongres Partai Komunis bulan depan, China bersedia melakukan upaya besar untuk mencapai "reunifikasi" yang damai.
"Tanah air harus dipersatukan kembali dan pasti akan dipersatukan kembali," kata Ma.
Tekad China untuk melindungi wilayahnya tidak tergoyahkan, tambahnya.
China telah mengusulkan model "satu negara, dua sistem" untuk Taiwan, mirip dengan formula ketika Hong Kong, yang merupakan bekas jajahan Inggris, kembali ke pemerintahan China pada 1997.
Ma mengatakan Taiwan dapat memiliki "sistem sosial yang berbeda dari China daratan" yang memastikan cara hidup mereka dihormati, termasuk dalam hal kebebasan beragama. Namun, ia juga mengingatkan bahwa hal itu akan terjadi "di bawah prasyarat untuk memastikan terjaganya kedaulatan nasional, keamanan, dan kepentingan pembangunan".
Semua partai politik utama Taiwan telah menolak proposal itu, dan menurut sebuah jajak pendapat, wacana itu juga hampir tidak memiliki dukungan dari publik. Terlebih, Beijing telah memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong pada tahun 2020 setelah kota itu diguncang oleh aksi protes anti-pemerintah dan anti-China.
China juga masih menggunakan kekuatan dan kekerasan untuk mengatur Taiwan di bawah kendalinya.
Pada tahun 2005, China bahkan mengesahkan undang-undang yang memberi negara itu dasar hukum untuk tindakan militer terhadap Taiwan jika memisahkan diri atau terlihat akan memisahkan diri.
China telah menolak untuk berbicara dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen sejak ia pertama kali menjabat pada tahun 2016 karena meyakini sang pemimpin merupakan seorang separatis. Tsai Ing-wen sendiri telah berulang kali mengusulkan diskusi atas dasar kesetaraan dan saling menghormati.
Meski demikian, pendahulu Tsai, Ma Ying-jeou mengadakan pertemuan penting dengan Presiden China Xi Jinping di Singapura pada tahun 2015.
Qiu Kaiming, kepala departemen penelitian di Kantor Kerja Taiwan, mengatakan pertemuan Xi dan Ma menunjukkan "fleksibilitas strategis" mereka terhadap Taiwan dan "menunjukkan kepada dunia bahwa orang-orang China di kedua sisi Selat benar-benar bijaksana dan cukup mampu memecahkan masalah ini sendiri".
Pemerintah Taiwan mengatakan klaim kedaulatan China tidak berlaku karena pulau itu tidak pernah dikuasi oleh Republik Rakyat China (RRC).