Jangan Salah Paham, Begini Sejarah Rebo Wekasan dalam Sudut Pandang Islam

Rifan Aditya Suara.Com
Rabu, 21 September 2022 | 12:33 WIB
Jangan Salah Paham, Begini Sejarah Rebo Wekasan dalam Sudut Pandang Islam
Ilustrasi islam (Pixabay/oranfireblade-6565232)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rebo Wekasan lekat dalam budaya Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Banyak yang mengaitkan hari terakhir di bulan Safar ini sebagai hari sial. Benarkah begitu? Agar tak salah paham, ayo kita cari tahu lebih dalam tentang sejarah Rebo Wekasan dalam sudut pandang Islam.

Merangkum NU Online, Bulan Shafar atau bulan kedua dalam penanggalan hijriyah ini sama seperti bulan-bulan lain yang tak bisa berjalan atas kehendaknya sendiri. Namun masyarakat jahiliyah zaman dahulu kerap menyebutnya sebagai bulan sial (Tasa’um).  Sayangnya, istilah Tasa'um yang populer di zaman jahiliyah ini masih eksis hingga sekarang.

Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda: "Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ dipakai untuk meluruskan keyakinan umat jahiliyah yang mengatakan penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah. Padahal, seperti yang diajarkan dalam Islam, penyakit, musibah atau keselamatan, semuanya kembali pada kehendak Allah. Menularnya suatu penyakit hanya sebuah sarana untuk berjalannya takdir Allah.

Baca Juga: 3 Amalan Rebo Wekasan, Tak Hanya Baca Doa Tolak Bala

Sementara itu, dari pengertian zaman jahiliyah,  masih banyak orang merasa sial di hari Rabu bulan ini dan tentu saja itu sebuah kesalahan, karena Allah telah berfirman di Surat Fussilat Ayat 16, bahwa itu adalah delapan hari, dan itu merupakan hari-hari kesialan, hanya saja maksudnya adalah bagi mereka (kaum ‘ad). (Jalaluddin As-Suyuthi, ¬al-Syamarikh fi ‘ilm al-Tarikh, h. 24-25).

Hal membuat banyak ulama yang menyebut kata Safar dengan kata al-khair yang artinya ‘Safar yang baik’. Mereka melakukan hal ini untuk meluruskan hal-hal yang dianggap negatif, seperti kesialan, keburukan dan nahas yang melekat di hai Rabu bulan Safar. Ada banyak contoh hal baik yang terjadi di di hari Rabu, seperti hari kelahiran Nabi Yunus dan Nabi Yusuf.

Untuk lebih bijaksana dalam menyikapi waktu, ada sebuah hadis Qudsi yang berbunyi “Anak Adam menyakiti-Ku karena mencela masa atau waktu. Padahal Aku yang mengatur dan menetapkan waktu. Di tangan-Ku lah segala urusan waktu. Aku yang membolak-balikkan malam dan siang”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits ini manusia diperintahkan untuk tidak menghina dan mencela waktu karena itu adalah ciptaan Allah sang pengatur dan penguasa waktu. Hendaklah manusia beriman pada qadha dan qadarNya, baik atau buruk, manis atau pahit dan suka atau dukanya. 

Di Tanah Air, hari Rabu terakhir bulan Safar disebut dengan Rebo Wekasan. Di waktu ini ada amal yang biasa dilakukan, seperti salat, dzikir, doa, dan tabarruk dengan ayat-ayat al-Quran yang dikenal dengan ayat Selamat. Amaliyah itu dilakukan sebagai bentuk permohonan pada Allah SWT agar terhindar dari musibah.

Baca Juga: Sholat Tolak Bala Rebo Wekasan: Niat, Tata Cara, Doa Setelahnya

Hingga kini, salat sunah untuk menghindari sial masih bersifat kontroversial. Beberapa ulama setuju jika niat yang diucapkan tak perlu untuk tolak bala tapi cukup seperti niat sholat sunah pada umumnya. Itulah sejarah Rebo Wekasan dalam sudut pandang Islam.

Kontributor : Rima Suliastini

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI