Tradisi Rabu Wekasan dilakukan di akhir bulan Safar sebagai salah satu cara melawan sial. Ini berawal dari kepercayaan Islam di masa lalu yang menganggap bulan Safar adalah bulan pembawa sial dan petaka.
Di mana ada kepercayaan jika hari Rabu terakhir di bulan Safar menjadi sumber datangnya penyakit, marabahaya, serta menjadi hari tersial di sepanjang tahun.
Adapun rangkaian tradisi dan amalan yang dilakukan secara umum bersifat tolak bala. Diantaranya, silaturahmi, zikir bersama, meninum air jimat, saling berbagi makanan, berbuat baik, hingga salat sunah tolak bala.
Tradisi Rabu Wekasan dipercaya sudah muncul di Indonesia sejak abad ke-17, khususnya di kalangan masyarakat Sumatera, Sunda, Madura, dan Jawa yang rata-rata tinggal di kawasan pesisir.
Cara memperingati Rabu Wekasan di tiap-tiap daerah juga berbeda. Di sisi lain, ada opini yang mengemukakan jika tradisi tolak bala tersebut dimulai pada masa Wali Songo.
Saat itu, tidak sedikit ulama yang percaya bahwa Allah SWT menurunkan ratusan penyakit di bulan Safar. Nah, tirakat menjadi cara mereka untuk menolak bala.
Hukum Menurut Islam
Ada beberapa pandangan terkait Rabu Wekasam menurut hukum Islam. Misalnya saja, hadist Ibn Abbas ra yang meyakini Rabu akhir di bulan Safar menjadi yang paling nahas.
Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Baca Juga: Bagaimana Rebo Wekasan Menurut Islam? Hari Rabu Terakhir Bulan Safar dan Ribuan Malapetaka
Lalu, hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir bulan Safar, sudah dijelaskan oleh hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim: