Perbudakan Pekerja Online Asal Indonesia di Kamboja: Jangan Mudah Percaya

SiswantoABC Suara.Com
Jum'at, 16 September 2022 | 07:31 WIB
Perbudakan Pekerja Online Asal Indonesia di Kamboja: Jangan Mudah Percaya
Ilustrasi Perbudakan Modern. (DocPribdadi/FatsonTahya)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Christian Edy akhirnya bisa bernapas lega setelah ia berhasil mencegah anak bungsunya, Heru, berangkat ke Kamboja pekan lalu.

Heru sedianya berangkat dari Jakarta ke Phnom Penh lewat Denpasar dan Kuala Lumpur.

Tapi dari Denpasar, ia berbalik arah pulang.

"Pulanglah kalau memang kamu mau dengerin nasihat Papa dan saudara-saudara kamu."

Baca Juga: Geger Unggahan Warganet Soal Praktik Perbudakan yang Diduga Terjadi di Pondok Pesantren, Santri Dijadikan 'Pelayan'

"Apa kamu mau disekap dan hidup sengsara di sana?"

Itu pesan Edy yang akhirnya membuat sang anak berubah pikiran.

Padahal, Heru sebelumnya sudah yakin bisa bekerja di Poipet, Kamboja, setelah mendapat tawaran dari perusahaan 'gaming' online hanya dengan berbekal ijazah SMP-nya.

"Syaratnya gampang, yang penting punya paspor dan bisa mengetik cepat," kata Heru yang mengaku ditawari gaji minimal Rp6 juta per bulan sebelum bonus, fasilitas tempat tinggal, dan makan 4 kali sehari.

Heru mengaku yakin karena tawaran itu datang dari kenalannya yang sudah berada di Kamboja.

Baca Juga: Biduan Goyang Erotis di Atas Meja Dikelilingi Pria, MUI Pekanbaru: Sudah Macam Perbudakan

Tapi yang tidak ia ketahui adalah, pada akhir Agustus lalu ada 241 orang pekerja asal Indonesia yang dipulangkan dari Kamboja karena menjadi korban perekrutan perusahaan online scam.

Fachri salah satunya.

Laki-laki berusia 19 tahun ini mengatakan ia terbujuk rayuan agen tenaga kerja di kampung halamannya di Lampung yang dikenalkan oleh pamannya.

Ia diiming-imingi gaji $1.000 sampai $1.500 per bulan.

"Dia bilang saya akan dipekerjakan di perusahaan investasi, di bagian marketing."

Untuk bisa berangkat, Fachri mengatakan ia mengeluarkan hampir Rp20 juta kepada agen sebagai ongkos pembuatan paspor, kursus Bahasa Inggris dasar, dan komputer selama sebulan.

Fachri berangkat Juni lalu bersama 12 orang lainnya.

Rutenya dari Bali ke Ho Chi Minh, Vietnam, dengan pesawat dan lalu dengan mobil menuju Sihanoukville, Kamboja.

Menurut Fachri, perjalanannya dari Bali sampai ke Sihanoukville relatif mulus.

"Tidak ditanya apa-apa sama sekali di bandara, juga oleh polisi di perbatasan Vietnam-Kamboja."

"Sejak dari Bali semua paspor kami sudah dipegang oleh orang dari pihak agen  dan dia yang mengarahkan kami … dan kami juga dibekali tiket pulang ke Indonesia dan bukti reservasi hotel karena kami semua pura-puranya turis."

Sehari setelah ia tiba di Sihanoukville, Fachri langsung disuruh bekerja. Tapi sebelumnya, ia diminta menandatangani kontrak.

"Saya tanya, ini isinya apa? Karena tulisannya huruf China, saya tidak mengerti."

"Tapi dia bilang, 'tanda tangani saja, itu kontrak biasa', jadi mau tidak mau saya tanda tangani dan [bubuhi] sidik jari."

Hukuman jika tak penuhi target

Tugas pertama Fachri sebagai "marketing" adalah membuat akun sosial media palsu dengan menggunakan foto-foto perempuan cantik yang menggoda."

Dengan akun-akun palsu itu ia kemudian diminta untuk "mencari customer" dengan menambahkan teman di akun medsos dan mulai berkomunikasi intensif selama tiga sampai 5 hari.

"Kami juga diajarkan cara memindahkan GPS … misalnya, lokasi kami kan di Kamboja, nah itu GPS-nya dipindahkan ke kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau Surabaya supaya tidak kena blokir."

Setelah dirasa sudah cukup dekat dengan "customer", Fachri mengatakan tugas selanjutnya adalah meminta atau mengarahkan customer untuk menginvestasikan sejumlah dana di platform investasi.

"Awalnya cukup Rp20 ribu saja per customer per hari, tapi kemudian [kami kami ditargetkan] harus mendapat Rp5 juta per customer per hari, dan kalau tidak mencapai target kami dihukum push-up 100 kali dan denda $20."

Target dari perusahaan kepada Fachri yang terakhir adalah minimal Rp550 juta per bulan dari total customer.

"

"Kalau target tidak tercapai, kami tidak digaji," katanya.

"Dan kalau deposit customer sudah mencapai Rp100 juta, biasanya uangnya terkunci dan sudah tidak akan bisa ditarik lagi."

Waktu kerjanya pun terus bertambah, mulai dari 12 jam per hari, sampai 14 jam per hari tanpa libur satu hari pun.

Fachri mengatakan ia akhirnya memutuskan "memberontak" setelah ia melihat ada tiga rekannya yang disekap dan tidak ingin bernasib sama.

"Kami lapor ke KBRI melalui akun Facebook dan Instagram mereka … ketika perusahaan tahu, 10 orang pekerja dipanggil dan diancam untuk bersaksi kalau semuanya baik-baik saja atau dipindahkan ke perusahaan lain."

"Mengetahui ancaman ini kami semua akhirnya berontak, jumlahnya sekitar 130 orang."

Mulai saat itu, secara bertahap para pekerja diusir dari tempat tinggal mereka.

"Saya disuruh keluar jam 10 malam, sendirian, paspor saya dirobek, HP di-reset, dan disuruh keluar begitu saja."

Selama lima jam ia sempat kebingingan harus kemana, sebelum akhirnya bertemu dengan polisi setempat yang kemudian menelepon Kedutaan Besar Republik Indonesia

Korban pekerja yang dipukuli dan disekap

Modus penipuan ini bukan saja dialami oleh pekerja dari Indonesia.

Nguyn Thiên Kai asal Vietnam juga pindah ke Kamboja setelah dia dijanjikan gaji tinggi karena mengajari orang cara bermain game online.

Tapi begitu dia melintasi perbatasan, dia dikirim ke ruang bawah tanah dan diperintahkan untuk menipu orang.

Melalui telepon genggam yang ia sembunyikan, Kai berhasil mengirim pesan kepada keluarganya dan memberi tahu apa yang terjadi. Namun, aksinya ketahuan.

"Bos membacakan SMS kepada keluarga saya yang menyuruh mereka menelepon polisi, dan dia memukuli saya dan menjual saya ke organisasi lain.

"Itu sangat menakutkan. Rasanya seperti berada di neraka."

Para penyekap Nguyen meminta tebusan sebesar $3.400 (sekitar Rp50 juta) kepada keluarga Nguyen.

Karena tak mampu membayarnya, mereka menghubungi seorang aktivis anti-perdagangan manusia di media sosial yang akhirnya membayar sejumlah uang untuk membebaskan Nguyen pada bulan Juli.

"Penyekapan itu hanya berlangsung 10 hari, tapi bagi saya itu adalah pengalaman yang mengerikan," katanya.

Perempuan asal Taiwan, Yu Tang, direkrut untuk bekerja di industri kasino dan perjudian Kamboja pada bulan April tahun ini.

Sama seperti Fachri, sejak ia menjejakkan kaki di Phnom Penh, paspor mereka disita.

"Hari pertama kami tiba, salah satu pria mengatakan kami ingin pergi," katanya.

"Pria yang bertanggung jawab di tempat itu langsung menjambak rambutnya dan mulai memukulinya dan menyetrumnya dengan sengatan listrik."

Yu Tang dibawa ke kota pesisir Sihanoukville, yang dengan cepat berubah menjadi pusat kasino setelah suntikan investasi China.

"Mereka menyuruh saya untuk mengundang teman-teman saya datang berlibur dan mengatakan jika saya berhasil membawa 20 orang ke sana, saya akan dilepaskan," katanya.

"Tapi semua orang tahu itu tidak akan terjadi. Mereka tidak akan membiarkan kami pergi bahkan jika kami mendatangkan 20 orang. Mereka hanya akan menjual kami ke perusahaan lain."

Yu Tang lepas setelah tiga hari. Ia mengaku meninggalkan pesan untuk gubernur Sihanoukville di Facebook, dan tak lama setelahnya pihak berwenang dikirim ke lokasinya dan dia dibebaskan.

Pemulangan pekerja dan kompleksitas masalah di Kamboja

Direktorat Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri Indonesia menemukan bentuk-bentuk eksploitasi terhadap pekerja Indonesia di Kamboja.

Selain waktu kerja dan upah yang tidak dibayar atau tidak sesuai perjanjian, ada juga kasus pekerja harus membayar denda atau pemotongan upah jika tidak bekerja karena sakit, dan penalty sampai Rp60 juta jika mengundurkan diri, serta diancam akan 'dijual' ke perusahaan lain apabila tidak mencapai target.

Kemlu RI juga mencatat, selain 462 kasus dugaan trafficking dengan modus online scamming di Kamboja, hingga September ini ada 142 kasus serupa di Myanmar, 97 kasus di Filipina, 35 kasus di Laos, dan 21 di Thailand.

Selain memulangkan pekerja dari Kamboja, Joedha Nugraha dari Kementerian Luar Negeri mengatakan Kemlu juga telah berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk melakukan verifikasi pengaduan kasus, memberikan bantuan hukum, memfasilitasi pengumpulan bukti-bukti,memberikan bantuan medis dan psikologis, serta menempuh langkah-langkah hukum bagi pelaku.

Namun ia mengakui, "ada kompleksitas persoalan di negara setempat".

Sehari setelah pertemuan Menlu RI dengan Kepolisian Kamboja, muncul pemberitaan di Khmer Times dengan judul "Misinformation: Sihanoukville Police deny rescuing 62 foreigners over the weekend who had been tricked into working for a scam syndicate".

"

"Ini menimbulkan dugaan bahwa kepolisian Sihanoukville tidak berkenan menunjukkan kepada publik di kamboja bahwa memang ada penyekapan serta eksploitasi pekerja asing yang terjadi di Sihanoukville."

"

Setelah empat bulan menyangkal, Wakil Perdana Menteri Kamboja Sar Kheng akhir bulan lalu, mengakui bahwa warga negara asing telah diperdagangkan ke negara itu dan menjadi sasaran pelecehan, dan mengatakan telah menyelamatkan 865 korban.

Wakil ketua tetap Komite Nasional untuk Penanggulangan Perdagangan (NCCT) Kamboja, Chou Bun Eng, mengatakan kepada ABC apa yang sedang terjadi adalah "kejahatan baru yang berbahaya" dan yang harus diselesaikan bersama oleh semua negara di kawasan itu.

Menurutnya Kamboja sendiri tidak dapat mencegahnya.

"Operasi ini telah mendiskreditkan Kamboja, namun harap dipertimbangkan baik-baik bahwa kami juga negara korban," katanya.

Beberapa pejabat Kamboja sebelumnya mengklaim laporan dugaan perdagangan dan pelecehan hanyalah perselisihan perburuhan dan Chou mengatakan pihak berwenang telah menyelidiki beberapa kasus yang mereka klaim dibuat-buat atau palsu.

"Jadi tudingan bahwa semua kasus perdagangan manusia itu tidak benar," katanya.

Pekerjaan rumah Pemerintah Indonesia

Berdasarkan laporan yang diterima Migrant Care Indonesia, terjadi juga sejumlah penyekapan dan kekerasan yang dialami pekerja migran Indonesia.

"Ada pekerja yang ketahuan telah menggagalkan keberangkatan 3 calon korban, ia kemudian diborgol dan dipukul oleh 4 orang, disekap, dan tiap 2-3 hari sekali ditanya apakah punya uang untuk menebus dirinya sendiri atau dijual ke perusahaan lain," tutur Arina Widda Faradis dari Migrant Care sambil menunjukkan foto-foto kondisi korban kepada ABC.

Arina mengatakan, Pemerintah Indonesia memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan kasus ini dari hulu hingga hilir.

"Rekrutmen banyak dilakukan di media sosial seperti grup Facebook atau Telegram.. mungkin pemerintah bisa bekerja sama dengan platform ini untuk menerapkan semacam mekanisme pesan terblokir atau sejenisnya, apalagi jika postingan tersebut memiliki indikasi penipuan dengan modus yang kita sudah tahu."

Ia menambahkan, untuk rute penerbangan tertentu, petugas imigrasi di bandara harus lebih jeli dan teliti dalam menanyakan calon penumpang dengan profil seperti yang diberitakan.

Meta, perusahaan induk dari Facebook, Instagram, dan WhatsApp, mengetahui jika modus penipuan ini memanfaatkan platform mereka.

Meta mengatakan telah berbagi data dengan penegak hukum.

"Di Meta, kami telah lama melarang konten ini dan menginvestasikan sumber daya yang signifikan untuk menjauhkannya dari platform kami sambil juga memberdayakan orang melalui kampanye," ujarjuru bicara Meta.

"Kami sependapat dengan puluhan LSM bahwa solusi paling efektif adalah tindakan agresif oleh otoritas lokal [Kamboja] untuk menemukan dan menuntut para pelaku kejahatan keji ini."

Sementara itu, Fachri meminta para pencari kerja "supaya tidak ceroboh" seperti dirinya.

"Dulu saya terlalu mudah memercayai orang… tidak mendalami perusahaan tempat saya akan bekerja, dan langsung puas dapat jawaban tanpa penjelasan kerjanya nanti di sana seperti apa."

"Jangan mudah percaya kisah sukses, apalagi kalau ceritanya kayaknya semuanya bagus dan gampang, bayarannya mahal ... itu hampir enggak mungkin."

Pesan penting bagi jutaan pencari kerja, seperti Heru, yang untuk sementara memutuskan untuk mencari kerja di Indonesia saja.

Tambahan laporan Erin Handley, Iris Zhao, dan Angelique Lu

Baca laporannya dalam versi lain berbahasa Inggris

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI