Suara.com - Dugaan praktik korupsi yang terjadi di Papua, menurut pegiat anti-korupsi, merupakan hasil dari rangkaian masalah kompleks yang melanda wilayah timur Indonesia itu.
Guyuran dana otonomi khusus sebagai kompensasi pendekatan keamanan hingga perebutan sumber daya ekonomi, menjadikan Papua tempat yang subur praktik korupsi di Indonesia, kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Papua memperoleh angka lima kali lebih rendah dari rata-rata nasional dalam indeks upaya pencegahan korupsi.
Kemudian dalam proses penegakan hukum, aparat penegak hukum telah menetapkan 33 orang tersangka kasus korupsi di Papua tahun 2021, dan tahun 2018 sejumlah 97 tersangka.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (14/09), melalui konferensi pers, mengumumkan telah menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe, Bupati Mimika Eltinus Omaleng dan Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.
Kepada BBC News Indonesia, juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan, Lukas Enembe diduga terlibat dalam dugaan korupsi suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBD Papua.
Lukas Enembe juga pernah terjerat beberapa kasus hukum, seperti menjadi tersangka kasus dugaan pelanggaran pilkada 2017, dugaan penyimpangan anggaran Pemprov Papua, hingga dugaan korupsi dana beasiswa mahasiswa Papua. Namun kasus-kasus itu belum sampai ke pengadilan.
Guyuran dana Otsus hingga perebutan sumber daya ekonomi
Pada awal September ini, KPK telah menetapkan tiga pejabat daerah di Papua sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.
Pada Senin, (05/09), KPK menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Baca Juga: Aktivitas di Pemprov Papua Normal Usai Lukas Enembe Ditetapkan Tersangka oleh KPK
Tiga hari kemudian, Kamis (08/09), KPK menetapkan dua bupati sebagai tersangka, yaitu Bupati Mimika Eltinus Omaleng karena didugakorupsi pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 serta Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak ataskasus suap.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, mengatakan, dugaan korupsi yang melibatkan tiga kepala daerah itu dan kasus lain yang terjadi di Papua merupakan hasil dari rangkaian masalah kompleks yang terjadi di sana.
Pertama, kata Adnan, adalah guyuran dana sangat besar dari pemerintah pusat melalui otonomi khusus (Otsus) yang penuh masalah - berdasarkan kajian dan temuaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Temuan-temuan ini tidak serius diperhatikan oleh pemerintah pusat karena mungkin secara politik, dana Otsus itu adalah kompensasi terhadap isu keamanan yang terus bergejolak di Papua, kata Adnan saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (15/09).
Faktor selanjutnya adalah kapasitas sumber daya manusia yang harus ditingkatkan dalam memenuhi prinsip tata kelola pemerintahaan yang baik.
Kemudian, praktik korupsi di Papua juga tidak lepas dari lemahnya kontrol masyarakat atas kinerja elit politik lokal karena faktor tradisi.
Kultur Papua dengan kepala suku yang dominan menjadikan upaya memperkuat fungsi pengawasan berat tantanganya, kata Adnan.
Terakhir adalah perebutan sumber daya ekonomi antara elite global, pemerintah pusat di Jakarta, dan penguasa lokal di Papua sehingga menyuburkan praktik korupsi.
Aktor-aktor itu berkelindan membuat maraknya korupsi di Papua, seperti praktik kotor mendapatkan izin, memperluas eksploitasi dengan cara yang curang, dan banyak penegak hukum menjadi backing. Akhirnya, korupsi tumbuh subur akibat kompleksitas masalah tersebut, katanya.
Untuk itu, tambah Adnan, perlu pendekatan komperhensif yang melibatkan semua pihak dalam membenahi tata kelola pemerintahan di Papua guna menekan praktik korupsi, tidak hanya elit di Papua namun juga di Jakarta.
Tahun lalu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MDmengatakan, ada 10 kasus dugaan korupsi besar yang terjadi di Papua, merujuk hasil audit yang dilakukan BPK dan penelurusan Badan Intelijen Negara (BIN).
Korupsi, hambatan pembangunan di Papua
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Sahel Alhabsyi, mengatakan, korupsi adalah hambatan utama proses pembangunan di Papua.
Ia menyebutkan, berdasarkan indeks upaya pencegahan korupsi KPK, Papua hanya memperoleh 9% tahun lalu lima kali di bawah rata-rata skor nasional sebesar 46%.
Ini menunjukkan tata kelola pemerintah daerah untuk mencegah korupsi masih sangat rendah di Papua, katanya.
Kemudian, Sahel merujuk indeks pembangunan manusia Badan Pusat Statistik tahun 2018 di mana Papua hanya mencapai 60,06 rata-rata nilai IPM di Indonesia di angka 71,39.
Padahal, di sisi lain, Papua selama puluhan tahun mendapatkan dana otonomi khusus yang sangat besar.
Kementerian Keuangan mencatat aliran dana Otsus dan dana tambahan infrastruktur (DTI) dari 2002 hingga 2021 untuk Papua dan Papua Barat mencapai Rp138,65 triliun.
Jadi dana besar Otsus yang sudah puluhan tahun diberikan untuk Papua ternyata tidak berhasil mendongkrak pembangunan manusia di wilayah Papua. Jelas penyebabnya, korupsi, tidak ada yang lain yang disalahkan selain korupsi, kata Sahel.
Untuk itu, menurutnya, perlu dilakukan perubahan masif strategi pencegahan korupsi di Papua.
Jika tidak, maka tahun-tahun ke depan akan sangat mungkin kita mendengar korupsi di Papua, ujarnya.
Sepanjang 2021, aparat penegak hukum telah menetapkan 33 orang sebagai tersangka kasus korupsi di Provinsi Papua.
Lalu pada 2018, aparat penegak hukum juga menetapkan 97 tersangka dugaan korupsi di Papua dengan kerugian negara mencapai Rp470,1 miliar.
Pemrov Papua sebelumnya mengatakan tidak adil skor indeks pembangunan Papua dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain.
Pasalnya, roda pembangunan baru digerakkan secara sungguh-sungguh sesudah ada kebijakan otonomi khusus melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 dan anggarannya dicairkan tahun berikutnya.
Suara warga Papua berbeda, mengapa?
Beberapa warga di Jayapura, Papua, merespons berbeda atas kasus dugaan korupsi yang melibatkan pemimpinnya, Lukas Enembe.
Pekerja swasta, 45 tahun, Dennis Yikwa, menyebut kasus itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Lukas Enembe.
Senada, pekerja swasta, 32 tahun, Eneko Pahabol, menyebut kasus itu merupakan bentuk pengalihan isu dari kasus-kasus besar, seperti mutilasi di Timika.
Menurut saya ini pengalihan isu untuk menutupi atau mengalihkan orang Papua punya pikiran, kata Eneko kepada wartawan di Jayapura Yuliana Lantipo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Namun pendapat berbeda diutarakan Natalia Andilan, pegawai swasta, 24 tahun. Kalau KPK sendiri sudah punya laporan, kita ikuti saja proses hukumnya. Hasilnya nanti bisa kita lihat dalam proses itu, katanya.
Anggota Jaringan Damai Papua, Adriana Elisabeth, mengatakan, suara masyarakat yang mendukung Lukas Enembe itu menunjukkan kekosongan ruang komunikasi antara Jakarta dan masyarakat Papua.
Sehingga kasus korupsi yang ditentang di banyak tempat menjadi berbeda di Papua, mereka mendukung gubernurnya. Ini artinya kan ada perbedaan cara pandang. Seharusnya komunikasi ini yang dibangun, katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, Rabu (14/09) menegaskan, KPK tidak melakukan kriminalisasi terhadap Lukas Enembe, maupun siapapun.
Saya sampaikan pada masyarakat Papua dan pegiat anti-korupsi dan pejabat di sana, KPK tidak pernah mengkriminalisasikan seseorang atau pejabat.
"Kami melakukan penegakan hukum tentu berdasarkan kecukupan alat bukti lewat klarifikasi saksi-saksi dan juga dokumen-dokumen sehingga kami meyakini telah terjadi proses pidana yang diduga pelakunya adalah tersangka yang sudah kita tetapkan, kata Alexander.
Untuk itu, Alexander meminta dukungan masyarakat Papua dalam proses hukum terhadap Lukas Enembe dan tersangka lain di Papua.
Alexander juga menyinggung puluhan triliun rupiah dana Otsus yang disalurkan pemerintah pusat untuk kesejahteraan masyarakat Papua.
Jika praktik korupsi itu terus berlangsung, kami khawatir upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua tidak terwujud," katanya.
Kejanggalan versi pengacara Lukas Enembe
Namun, kuasa hukum Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening mengatakan, terdapat proses penegakan hukum tidak wajar yang dilakukan KPK dalam menetapkan tersangka kliennya.
Tanggal satu (September) ada laporan kejadian perkara. Tanggal lima sudah jadi tersangka. Cuma empat hari prosesnya dan tidak ada pemeriksaan dan pemanggilan terhadap Pak Lukas sebelumnya."
"Tanpa klarifikasi dan konfirmasi, KPK langsung menetapkan tersangka. Ini tidak wajar, kriminalisasi dan melanggar aturan, katanya.
Untuk itu tim kuasa hukum, katanya, akan mengajukan gugatan pra-peradilan atas status tersangka tersebut.
Stefanus menyebut, KPK menyangkakan kliennya menerima gratifikasi Rp1 miliar dari seorang pengusaha. Padahal, katanya, uang itu merupakan milik kliennya yang diminta untuk dikirimkan.
Sementara itu, Plt juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan penyidikan terhadap Lukas Enembe terkait dengan dugaan korupsi suap dan gratifikasi dalam pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBD Papua.
Adapun materi konstruksi dan rangkaianperbuatan tersangka dalam perkara ini kami akan sampaikan nanti ketika penyidikan ini cukup."
"Saat ini tim penyidik masih melengkapi dan mengumpulkan alat bukti dalam perkara ini di antaranya pemeriksaan saksi-saksi yang relevan dengan perkara dimaksud, kata Ali.
Ali menambahkan, KPK juga telah mencegah Lukas Enembe dan beberapa pihak swasta agar tidak bepergian ke luar negeri selama enam bulan pertama dimulai sejak tanggal 7 September 2022.
Selain dugaan gratifikasi Rp1 miliar, terdapat sederat kasus yang pernah menjerat Lukas Enembe selama menjabat sebagai Gubernur Papua.
Ia pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pidana pemilihan kepala daerah pada tahun 2017 karena diduga mengajak masyarakat untuk memilih salah satu calon.
Kemudian, Lukas juga pernah diperiksa polisi atas kasus dugaan korupsi pengelolaan anggaran Pemerintah Provinsi Papua tahun 2014 sampai 2017.
Masih di tahun yang sama, Lukas juga diperiksa polisi atas kasus dugaan korupsi penggunaan anggaran pendidikan berupa beasiswa untuk mahasiswa Papua tahun anggaran 2016.