Wafatnya Ratu Elizabeth II Ungkit Kenangan Pahit Era Kolonial di Afrika

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 13 September 2022 | 15:46 WIB
Wafatnya Ratu Elizabeth II Ungkit Kenangan Pahit Era Kolonial di Afrika
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wafatnya Ratu Elizabeth II memicu curahan kesedihan dan penghormatan yang tulus baik dari para pemimpin dunia maupun rakyat biasa.

Banyak orang di wilayah-wilayah bekas koloni Inggris juga terang-terangan memberi penghormatan kepada sang ratu sementara sebagian lainnya berbagi foto-foto Ratu Elizabeth II ketika mengunjungi negara masing-masing.

Namun tidak semua orang merasakan kagum terhadap sang Ratu. Bagi sebagian orang, wafatnya Ratu Elizabeth mengungkit kenangan pahit tentang sejarah berdarah pemerintahan kolonial - kekejaman terhadap penduduk asli, pencurian patung dan artefak dari negara-negara Afrika Barat, emas dan berlian dari Afrika Selatan dan India, perbudakan serta penindasan.

Baca juga:

Baca Juga: Tepat Prediksi Tanggal Kematian Ratu Elizabeth, Pria Ini Peringatkan Raja Charles III

Ketika Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyebut Ratu Elizabeth II sebagai figur publik luar biasa yang akan dikenang dengan penuh kasih oleh banyak orang di seluruh dunia, partai oposisi Pejuang Kebebasan Ekonomi (EFF) menyatakan mereka tidak ikut berduka.

"Selama 70 tahun pemerintahannya sebagai Ratu, dia tidak pernah mengakui kejahatan yang dilakukan Britania dan keluarganya di seluruh dunia dan bahkan menjadi pembawa bendera kekejaman itu dengan bangga," kata partai terbesar ketiga di Afsel itu dalam sebuah pernyataan.

"Bagi kami kematiannya adalah pengingat akan periode yang sangat tragis di negara ini dan sejarah Afrika."

Di media sosial, para pengritik melangkah lebih jauh.

Rangkaian cuitab yang dikirim oleh profesor AS kelahiran Nigeria, Uju Anya, dalam jam-jam sebelum kematian Ratu, memicu perdebatan sengit.

Baca Juga: Lagi Khidmat Iringan Peti Mati Ratu Elizabeth II, Pria Teriaki Pangeran Andrew: Kamu Sakit!

Salah satu cuitannya dihapus oleh Twitter karena melanggar aturan platform tersebut. Dalam twit kedua, ia menulis: "Kalau ada yang mengharapkan saya untuk mengungkapkan apa pun selain cibiran terhadap pemimpin monarki yang membawahi pemerintahan yang mensponsori genosida yang membantai dan menggusur setengah keluarga saya, serta konsekuensi yang masih berusaha diatasi oleh mereka yang masih hidup saat ini, Anda dapat terus berharap pada bintang."

Twit tersebut tampaknya merujuk pada Perang Biafra yang terjadi pada akhir 1960-an, ketika pemerintah Inggris menyokong dan mempersenjatai pemerintah Nigeria yang memblokade, menyebabkan kelaparan, dan akhirnya menghancurkan kelompok separatis yang menyebut diri mereka Republik Biafra.

Seorang pengguna Twitter, @ParrenEssential, membalas bahwa ini bukan perilaku yang pantas bagi orang Nigeria. Ia menambahkan: "Anda salah merepresentasikan budaya dan negara kami."

Yang lain mengatakan bahwa mencela seseorang pada saat kematiannya itu "tidak Afrika".

Seruan-seruan yang menuntut kembalinya berlian Bintang Afrika, yang ditambang di Afrika Selatan pada tahun 1905 dan sekarang menjadi bagian dari Mahkota Kerajaan Inggris, juga bermunculan di media sosial pada hari kematian Ratu.

Banyak yang menyebut perhiasan itu "dicuri". Meskipun ia dibeli oleh pemerintah Transvaal dan diberikan kepada Keluarga Kerajaan Inggris sebagai tanda kesetiaan, pandangan yang umum di media sosial ialah pemilik sebenarnya berlian tersebut adalah rakyat Afrika Selatan.

Pengguna Twitter @Qban_Linx mengatakan berlian senilai US$400 juta (Rp5.938 triliun) - bagian terbesarnya dipasang di ujung tongkat kerajaan, yang dibawa oleh pemimpin kerajaan pada penobatan mereka - dapat menutupi biaya pendidikan tinggi untuk 75.000 siswa Afrika Selatan.

Terjadi protes serupa di India, tempat tagar "Kohinoor" dengan cepat menjadi tren menyusul wafatnya Ratu Elizabeth. Tagar tersebut merujuk ke berlian besar di mahkota kerajaan yang dilaporkan akan dikenakan oleh Permaisuri yang baru.

Pengkritik lain mengatakan bahwa sang Ratu seharusnya menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk memastikan bahwa jenazah-jenazah manusia dari mereka yang berperang melawan pemerintahan kolonial Inggris dikembalikan.

Warga Kenya dan Afrika Selatan menuntut kepala pahlawan seperti Koitalel Samoei, yang memimpin perlawanan Nandi di wilayah yang sekarang menjadi Kenya pada akhir Abad ke-19, dan Raja Hinstsa kaKhawula dari kerajaan Xhosa Afrika Selatan, yang tewas pada tahun 1835. Setelah tubuh mereka dimutilasi, kepala mereka dibawa ke Inggris sebagai trofi.

Pembunuhan brutal orang Kenya selama pemberontakan Mau Mau juga dikenang.

Gitu Wa Kahengeri, yang bergabung dengan pemberontakan saat berusia 17 tahun 81 tahun yang lalu, ingat ketika ia ditahan di sebuah kamp oleh pasukan Inggris, dipukuli dan tidak diberi makan.

"Mereka menduduki tanah saya, hak kelahiran saya," katanya kepada kantor berita Reuters. "Tapi kami berduka atas Ratu karena dia adalah seorang pribadi, seorang manusia," katanya. "Kami bersedih bila ada orang yang mati."

Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta, yang menyebut Ratu sebagai "ikon pelayanan tanpa pamrih", mendapat kecaman dari beberapa warga Kenya karena menetapkan empat hari berkabung nasional.

Mantan presiden Botswana, Ian Khama, adalah orang berikutnya yang membela warisan Ratu, menyebutnya sebagai hal yang tak tergantikan.

"Kolonialisme bukanlah sesuatu yang ingin kita ingat, itu periode yang kelam," katanya. "Ratu mewarisi legasi itu, ia bukan arsiteknya ... tetapi ketika ia bertakhta, seolah-olah untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh kolonialisme, ia menunjukkan bahwa kami tidak berada di atas Anda, kami ingin berpartisipasi dalam pembangunan Anda dan membantu Anda tumbuh sebagai bangsa."

Ia berpendapat, Afrika harus memandang sang Ratu sebagai orang yang "membawa era baru dari masa lalu yang kelam".

Banyak yang berkata bahwa Ratu tidak pernah meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan atas nama kerajaan. Namun, ia pernah beberapa kali mengakui "episode yang sulit" dan "menyedihkan", seperti pembantaian di Amritsar, India utara, pada 1919.

Sebelum mengunjungi situs tersebut pada tahun 1997, tempat seorang jenderal Inggris memerintahkan pasukan untuk menembaki demonstran yang terkurung di dalam taman bertembok, sang Ratu memberikan pidato yang mengungkapkan penyesalan.

"Sejarah tidak bisa ditulis ulang, betapapun kita mungkin kadang-kadang berharap sebaliknya. Ia punya momen-momen kesedihan serta momen-momen kegembiraan. Kita harus belajar dari kesedihan dan membangun di atas kegembiraan."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI