Suara.com - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sempat berpesan atau bertitah kepada seluruh anggotanya untuk bekerja sesuai aturan hukum. Kapolri bahkan meminta anggota untuk tidak segan menolak perintah atasannya apabila bertentangan dengan norma hukum.
Pengamat kepolisan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai hal ini sulit terjadi tanpa adanya keberpihakan Kapolri terhadap anggota bawahan. Salah satu keberpihakan yang dimaksud, yakni adanya penerapan sanksi tegas terhadap atasan atau petinggi Polri yang melakukan pelanggaran.
"Anggota tentunya tak akan konyol dengan melawan atau melaporkan atasan bila risikonya sangat besar dan tidak ada keberpihakan Kapolri pada anggota di bawah," kata Bambang kepada Suara.com, Selasa (13/9/2022).
Menurut Bambang, hal terpenting saat ini ialah adanya ketauladanan yang ditunjukan dengan sikap tegas Kapolri terhadap para petinggi yang terindikasi melakukan pelanggaran. Sehingga, imbauan terhadap anggota untuk berani menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum itu tidak terkesan hanya basa-basi.
Baca Juga: Deretan Pejabat Jadi Korban Doxing Bjorka Ada Puan, Luhut Hingga Anies Baswedan
"Pernyataan Kapolri terkait anggota untuk tidak takut pada atasan itu hanya akan dianggap basa-basi institusi bila tak ada contoh ketegasan Kapolri untuk memberi sanksi pada para petingginya yang terindikasi melakukan pelanggaran," katanya.
"Reformasi kultural tanpa ada upaya mendisiplinkan personel dengan sanksi keras hanya akan menjadikan mereka resesif pada sanksi," imbuhnya.
Kapolri menyampaikan pernyataan tersebut menyusul adanya kasus pembunuhan Brigadir J alias Nopryansah Yosua Hutabarat dengan tersangka utamanya mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo. Dalam kasus tersebut 97 anggota Polri diperiksa dan 35 di antaranya diduga telah melakukan pelanggaran etik.
Beberapa anggota Polri yang terlibat dalam skenario buatan Ferdy Sambo ini berdalih menjadi korban prank atasannya itu. Namun, Bambang menilai hal itu hanyalah alibi mereka agar dijatuhi sanksi ringan.
"Pernyataan bahwa beberapa personel terutama para perwira menengah ke atas dengan masa kerja lebih dari 10 tahun melakukan obstruction of justice karena terkena “prank” atau dibohongi FS (Ferdy Sambo) itu hanya alibi saja untuk mendapatkan keringanan sanksi. Demikian juga dengan dalih hanya menjalankan perintah atasan," katanya.
Seluruh anggota Polri yang terlibat dalam skenario palsu buatan Ferdy Sambo untuk menutupi kejahatannya membunuh Brigadir J, menurut Bambang sudah semestinya dijatuhi sanksi berat. Sebab, perbuatannya itu merupakan upaya membohongi rakyat yang secara tidak langsung juga berdampak terhadap menurunnya tingkat kepercayaan terhadap Polri.
"Dampak obstruction of justice, rekayasa-rekayasa kasus dan pernyataan bohong yang dilakukan mereka menimbulkan ketidak percayaan publik pada institusi Polri. Makanya aneh kalau kemudian para pelaku hanya diberi sanksi permintaan maaf pada lembaga saja dan demosi 1-2 tahun saja. Padahal yang dibohongi juga rakyat dan negara yang sudah memberi kewenangan pada kepolisian," katanya.
Sanksi lebih berat atau tegas itu misalnya berupa penurunan pangkat satu tingkat dan mutasi keluar daerah semestinya bisa dijatuhkan kepada anggota.
"Perlakuan yang tidak transparan dan tidak adil bagi personel oleh internal justru akan semakin membuat menurunnya kepercayaan masyarakat, dan menjatuhkan kewibawaan Kapolri untuk internal. Bahwa pernyataan-pernyataan Kapolri terkait sanksi tegas itu tak lebih dari pernyataan kosong," ungkapnya.
Di sisi lain, Bambang juga mendorong Polri tidak sekadar menetapkan tujuh anggotanya sebagai tersangka obstruction of justice. Dia meminta anggota lain yang diduga turut melakukan obstruction of justice dalam kasus pembunuhan Brigadir J turut diproses secara hukum.
"Pidana Obstruction of justice itu harus dilanjutkan tidak hanya pada tujuh orang tersebut, tetapi juga dengan personel-personel yang lain. Habisnya waktu penahanan pada tempat khusus seharusnya tidak menghentikan proses pidana maupun sidang etik yang bersagkutan," pungkasnya.
97 Diperiksa, 35 Diduga Langgar Etik, 5 Sudah Dipecat
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sempat menyebut sebanyak 97 anggotanya telah diperiksa Inspektorat Pengawasan Khusus atau Itsus terkait kasus pembunuhan yang menjerat Ferdy Sambo. Dari hasil pemeriksaan, 35 di antaranya diduga telah melakukan pelanggaran etik.
"Kami telah memeriksa 97 personel, 35 orang diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi," kata Listyo saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (24/8/2022) lalu.
Dari 35 anggota yang diduga melanggar etik, 18 di antaranya ditahan di tempat khusus atau Patsus. Sampai pada akhirnya, penyidik tim khusus bentukan Kapolri menetapkan tujuh anggota sebagai tersangka obstruction of justice.
Ketujuh anggota tersebut, yakni: Ferdy Sambo, mantan Karopaminal Divisi Propam Polri Brigjen Pol Hendra Kurniawan, mantan Kaden A Biro Paminal Divisi Propam Polri Kombes Pol Agus Nurpatria, mantan Wakaden B Biropaminal Divisi Propam Polri AKBP Arif Rahman Arifin, mantan PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri Kompol Chuk Putranto, mantan PS Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri Kompol Baiquni Wibowo, dan mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri AKP Irfan Widyanto.
Sejauh ini, dari ketujuh tersangka empat di antaranya telah dijatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atau PDTH alias dipecat. Mereka, yakni Ferdy Sambo, Chuk Putranto, Baiquni, dan Agus.
Ferdy Sambo dipecat lantaran terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Di sisi lain, dia juga melakukan pelanggaran terkait upaya menghalang-halangi pengungkapan kasusnya atau obstruction of justice.
Sedangkan, Chuk Putranto dan Baiquni Wibowo dijatuhkan sanksi PTDH lantaran turut membantu Ferdy Sambo dalam menutupi kejahatannya. Salah satunya, yakni merusak CCTV di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan Brigadir J.
Sementara Agus melakukan tiga pelanggaran hingga akhirnya dijatuhkan sanksi PTDH. Ketiga pelanggaran tersebut meliputi; merusak CCTV, tidak profesional saat olah TKP, dan terlibat permufakatan untuk menutupi kejahatan Ferdy Sambo.
Selain empat anggota tersebut, KKEP juga menjatuhkan sanksi PDTH terhadap mantan Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum (Wadirkrimum) Polda Metro Jaya AKBP Jerry Raymond Siagian. Sanksi tersebut dijatuhkan karena Jerry tak profesional saat menangani laporan skenario pelecehan seksual istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi yang akhirnya telah dihentikan Bareskrim Polri.
Atas sanksi yang dijatuhkan hakim KKEP, Ferdy Sambo, Chuk Putranto, Baiquni, Agus, dan Jerry kompak menyatakan banding.
Bahkan, Polda Metro Jaya menyatakan siap memberikan bantuan hukum kepada Jerry dalam proses hukum selanjutnya. Meski, kekinian Jerry bukan lagi menjadi anggota yang berdinas di Polda Metro Jaya.
"Polda Metro Jaya sebagai Polda dimana yang bersangkutan pernah berdinas walaupun sudah ada TR (telegram) pemindahan menjadi Pamen Yanma Mabes Polri, tetapi Polda Metro Jaya akan siap memberikan bantuan hukum manakala yang bersangkutan membutuhkan dalam proses selanjutnya," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan di Jakarta, Senin (12/9/2022).
Sanksi Demosi dan Permintaan Maaf
Selain sanksi PDTH, Polri juga menjatuhkan sanksi demosi dan kewajiban menyampaikan permohonan maaf kepada pimpinan terhadap mantan Paurlog Bagrenmin Divisi Propam Polri, AKP Dyah Candrawati dan mantan sopir Ferdy Sambo Bharada Sadam selaku pelanggar.
Sanksi tersebut dijatuhkan terhadap Dyah karena tak profesional dalam pengelolaan senjata. Sedangkan Sadam karena melakukan intimidasi kepada jurnalis ketika meliput kasus pembunuhan Brigadir J di sekitar rumah Ferdy Sambo.
Selain itu, Polri juga menjatuhkan sanksi berupa kewajiban menyampaikan permohonan maaf kepada pimpinan terhadap mantan Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Pujiyarto. Sanksi ini dijatuhkan karena Pujiyarto tak profesional saat menangani laporan skenario pelecehan seksual Putri.