Dugaan Kekerasan Seksual Calon Pendeta di NTT, TSK Terancam Hukuman Mati

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 13 September 2022 | 09:36 WIB
Dugaan Kekerasan Seksual Calon Pendeta di NTT, TSK Terancam Hukuman Mati
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Calon pendeta di Alor, Nusa Tenggara Timur, terancam hukuman mati lantaran diduga memperkosa sembilan anak di bawah umur, menurut kepolisian.

Kasus ini adalah yang kedua dalam satu tahun terakhir. Sebelumnya, sebanyak 10 perempuan mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang pendeta di sebuah gereja di Bogor, Jawa Barat, dengan kedok ibadah pengudusan.

Peneliti dari Paritas Institute Woro Wahyuningtyas menilai kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan gereja di NTT terbilang cepat dalam pengungkapan, tapi dia tetap mendorong adanya pengawasan yang lebih ketat pada calon pemuka agama.

Tiga bulan terakhir ini merupakan masa-masa menantang bagi Ketua Majelis Klasis Gereja Masehi Injili di Timor, GMIT, Alor Timur Laut, Pendeta Yosua Penpada.

Baca Juga: 12 Anak di Alor Jadi Korban Kekerasan Seksual Calon Pendeta, Polda Tekankan Pentingnya Pendampingan Korban

Dalam periode tersebut ia dan tim telah mendorong keberanian 11 anak mengungkap kekerasan seksual yang mereka alami. Mereka mengklaim perbuatan itu dilakukan oleh seorang calon pendeta di Gereja Nailang, Alor, Nusa Tenggara Timur.

Kata Yosua, hal yang terberat adalah membuat orang tua anak-anak ini bisa menerima anaknya menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan yang selama ini mereka anggap aman.

"Memang kemarahan orang tua tentang masa depan anak. Ada yang menangis. 'Kebaikan kami sebagai jemaat dibalas dengan tuba'. 'Kepercayaan kami dibalas dengan hal-hal yang membuat anak-anak kami kehilangan masa depan'," kata Yosua menirukan suara orang tua korban.

Kasus ini berawal pada pertengahan Juni lalu, ketika seorang korban melaporkan langsung kasus kekerasan seksual yang ia alami kepada Ketua Majelis Sinode GMIT, Mery L. Y. Kolimon.

Baca Juga:

Baca Juga: Komnas HAM Laporkan Berkas ke Presiden, Tak Ada Kekerasan Seksual Putri Candrawathi, Begini Alasannya

Laporan tersebut ditindaklanjuti dengan penelusuran ke lapangan dengan melibatkan psikolog dari Rumah Harapan GMIT—salah satu satgas Majelis Sinode yang didirikan 2018 khusus melayani korban kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual.

Menurut Yosua, awalnya tersangka berinisial SAS mengakui perbuatannya dengan menyebut dua nama korban. "Kami kembali lagi untuk memastikan kebenaran itu. Dari situlah baru ada pengakuan menjadi tiga, menjadi empat dan seterusnya," katanya.

Laporan resmi ke kepolisian diajukan pada 1 September lalu.

Yosua melanjutkan, sejauh ini sejumlah korban dan orang tua masih belum mau beribadah ke gereja karena masih trauma.

"Ada orang tua yang tidak datang ke lingkungan gereja, karena perlakuan dialami di lingkungan itu. Bisa membangkitkan kebencian, membangkitkan ingatan," tambahnya.

Dalam keterangan kepada media, pihak Majelis Sinode (MS) GMIT telah menangguhkan penahbisan tersangka SAS menjadi pendeta sampai kasus ini berkekuatan hukum tetap. Jika tersangka SAS terbukti bersalah dalam pengadilan, maka ia akan diberhentikan dari proses menjadi pendeta.

"Atas semua hal yang terjadi, kami, MS GMIT, meminta maaf kepada anak-anak kami yang terluka dalam peristiwa ini… Permohonan maaf juga kami sampaikan kepada orang tua dan keluarga yang pasti sangat disakiti oleh hal yang terjadi," tulis pernyataan kepada media.

Selain itu, pihak MS GMIT juga berjanji akan memulihkan korban, dan "dibangunnya sistem yang memastikan hal yang sama tak akan terulang lagi di masa depan."

"Pembelajaran yang sangat mahal ini juga menjadi momen untuk membuat protokol pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, perempuan dan kelompok rentan dalam lingkup GMIT," tambah laporan tersebut.

Korban diancam dengan menyebar video

Kepolisian Alor di NTT menjerat calon pendeta berinisial SAS dengan Undang Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman mati, "atau penjara minimal 10 tahun, maksimal 20 tahun," kata Kapolres Alor, Ari Satmoko.

Bagaimanapun, hukuman mati masih menjadi kontroversi, meski dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak baru-baru ini yang melibatkan 13 santriwati pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat, pelaku divonis hukuman mati di tingkat pengadilan tinggi.

SAS telah ditahan sejak 5 September. Ia disangkakan memperkosa sembilan anak di bawah umur dengan berbagai modus, termasuk membersihkan kamar.

"Ada yang disuruh bersih-bersih kamar. Ada yang disuruh ambil barang di kamar. Ambil di kamar saya," kata Ari menirukan ucapan keterangan tersangka.

Selain itu, tersangka juga membungkam para korban dengan ancaman akan menyebarkan foto dan video vulgarnya.

"Padahal nggak ada foto dan video itu. Itu cuma ucapan saja," jelas Ari.

Berdasarkan keterangan kepolisian, tersangka melakukan aksinya sejak Mei 2021 hingga Mei 2022.

Selain sembilan anak yang diperkosa, kepolisian juga menerima laporan dari dua jemaat di bawah umur yang menerima foto porno dari tersangka. Laporan ini akan menjadi kasus terpisah, karena tersangka akan dijerat dengan UU ITE.

Polisi juga mendapat laporan dari seorang perempuan dewasa yang juga mengaku dirudapaksa oleh tersangka. Dengan demikian setidaknya terdapat 12 orang yang mengklaim menjadi korban kekerasan seksual tersangka SAS.

Kepolisian masih menunggu kemungkinan laporan lainnya sebelum berkas kasus ini dilimpahkan ke kejaksaan dalam minggu-minggu ini. "Namun, kita masih menunggu barang kali nanti ada korban lain. Kita akomodir itu, biar nanti dimasukkan sekalian ke dalam berkas," lanjut Ari.

Penanganan termasuk cepat

Di sisi lain, peneliti dari Paritas Institute, lembaga yang fokus dengan isu gereja, Woro Wahyuningtyas mengatakan kasus di NTT ini bisa menjadi preseden baik. Sebab, kata dia, penanganan kasusnya cepat, dan terdapat pendampingan pada korban dari lembaga gereja sendiri.

"Dalam waktu satu tahun, sudah ada 11 atau 12 orang yang kemudian mau bicara ke publik, itu luar biasa bagus menurut saya. Ada sebuah keberanian, dan ada sebuah pendampingan yang sangat bagus kepada korban, agar mereka mau bicara," kata Woro kepada BBC News Indonesia.

Dalam kasus serupa yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir, BBC menghitung rata-rata korban kekerasan seksual di lingkungan gereja baru mengungkap kasusnya terjadi belasan tahun.

Contohnya dalam kasus baru-baru ini di Bogor, Jawa Barat. Kasus dugaan kekerasan seksual oleh seorang pendeta terhadap 10 anak ini baru terungkap setelah 11 tahun.

Namun demikian, Woro mengatakan insiden ini perlu dijadikan momentum bagi seluruh gereja untuk memiliki prosedur rekrutmen bagi calon pemuka agama, dengan melibatkan jemaat. Termasuk, SOP mengenai kecenderungan perilaku kekerasan seksual.

"Kalau mereka punya SOP pengawasan, jadi paling tidak ada evaluasi secara reguler yang dilakukan bersama-sama dengan jemaat," kata Woro.

Kasus di Alor, NTB ini merupakan kasus kelima belas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan gereja selama tujuh tahun terakhir, menurut pantauan pemberitaan media. Kasus terbanyak terjadi pada 2020 dengan enam kasus kekerasan seksual yang korban umumnya anak di bawah umur.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI