Pada 2004, Munir berencana melanjutkan studinya di Universitas Ultrech, Amsterdam, Belanda. Dan pada 7 September 2004, ia berangkat ke negeri kincir angina tersebut.
Ketika pesawat Garuda Indonesia yang ia tumpangin tinggal landas dari bandara Changi, Singapura, Munir meminum segelas air jeruk yang disuguhkan di atas pesawat.
Setelah itu ia meraskan sakit perut yang hebat. Ia menduga sakit maagnya kambuh akibat jus jeruk yang ia minum sebelumnya.
Munir lalu meminta obat maag pada pramugari, namun obat yang ia minta tida ada. Munir akhirnya hanya bisa menahan sakit perutnya itu dan serulang kali mengalami muntaber.
Di atas pesawat Munir sempat mendapatkan pertolongan medis dari seorang dokter yang baru saja ia kenal saat transit di bandara Changi, yakni Tarmizi.
Oleh Tarmizi, Munir diberikan sejumlah obat pereda sakit perut, obat maag hingga suntukan obat anti mual dan muntah.
Sakit perutnya sempat mereda, dan munir tertidur selama 2 hingga 3 jam. Namun setelah itu sakit perutnya datang lagi.
Tarmizi sempat menyuntikkan obat penenang kepada Munir, namun obat tersebut tak banyak menolong. Munir tetap tersiksa oleh sakit perutnya.
Namun Munir sempat kembali tertidur, 2 jam sebelum pesawat mendarat di bandara Schipol. Ketika pesawat sudah mendarat, Munir sudah ditemukan dalam keadaan tewas.
Baca Juga: Bantah Alihkan Kasus Ferdy Sambo, Hacker Bjorka Senggol Nama Kapolri
Dua bulan kemudian, tepatnya pada 12 November 2004, kepolisian Belanda yang mengotopsi jenazah Munir menyatakan bahwa ditemukan senyawa arsenik dalam tubuh Munir. Senyawa itu diduga masuk ke tubuh Munir melalui jus jeruk yang ia minum di atas pesawat.