Suara.com - Dugaan penganiayaan santri yang berujung kematian di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur, membuka tabir praktik kekerasan yang sistemik di pesantren. Pengawasan dan pencegahan kekerasan di lingkungan pesantren, dipertanyakan.
Kasus santri tewas di pesantren juga terjadi pada awal Agustus lalu, ketika seorang santri di sebuah pesantren di Banten, meninggal diduga karena dianiaya sesama santri.
Tindakan kekerasan yang terjadi di lingkup pesantren, disebut seperti “seperti fenomena gunung es” oleh tokoh muda Nahdlatul Ulama dan koordinator mata kuliah Religion School of Entrepreneurship and Humanities di Universitas Ciputra Surabaya, Aan Anshori.
“[Kasus kekerasan di Pesantren Gontor] ini kan [mengemuka] karena orang tuanya ngomong dan enggak terima. Apa ada jaminan bahwa ini adalah satu-satunya kasus? Aku meyakini bahwa tidak hanya soal Gontor, di institusi pendidikan yang di mana negara jarang hadir, praktik kekerasan fisik itu sangat mungkin seperti fenomena gunung es,” jelas Aan kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Rabu (07/09).
Baca Juga: Viral Anak Soimah Meninggal di Pondok Pesantren Gontor, Orang Tua Minta Bantuan Hotman Paris
Baca juga:
- Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas'
- Kemenag batalkan pencabutan izin Ponpes Shiddiqiyyah saat anak kiai Jombang mendekam di rutan - 'Mereka yang menghalangi petugas sudah ditangkap'
- Pelecehan anak: Guru pesantren Aceh dicambuk karena lecehkan santrinya, kedekatan ustad dengan anak 'dianggap biasa'
Lingkup pesantren yang tertutup, senioritas, model pembelajaran yang mentolerir kekerasan dianggapnya sebagai penyebab praktik kekerasan di lingkungan pesantren.
Ia pun mendesak Kementerian Agama untuk membuat “ aturan yang konkrit” yang menekankan “pentingnya setiap pesantren menjadi pesantren yang ramah anak dan perempuan”.
Hingga kini, Kementerian Agama menyatakan masih memproses regulasi pencegahan tindak kekerasan pada pendidikan agama dan keagamaan, setelah sejumlah kasus kekerasan, baik fisik dan seksual, di lingkungan pesantren terekspos oleh media.
Namun Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas beralasan, tidak bisa melakukan intervensi mendalam sebab pesantren adalah lembaga independen yang tidak berada di bawah kementerian agama secara struktural.
Baca Juga: Anak Soimah Meninggal di Pesantren Gontor, Diduga Akibat Penganiayaan Sesama Santri
Meninggal setelah dianiaya
Seorang santri di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor yang berlokasi di Ponorogo, Jawa Timur, asal Palembang Sumatera Selatan, meninggal dunia pada 22 Agustus silam.
Awalnya, pihak pesantren mengabarkan bahwa santri berinisial AM itu meninggal karena kelelahan.
Dalam surat keterangan kematian pun tertulis bahwa santri tersebut meninggal karena sakit, tanpa merinci lebih lanjut tentang penyakitnya.
Akan tetapi, karena mencium kejanggalan, keluarga lantas mendesak pihak pesantren untuk memberitahu penyebab kematian yang sebenarnya.
Baru kemudian didapati fakta bahwa santri tersebut meninggal karena dianiaya oleh santri lain.
Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor dituding merekayasa kasus dan tidak transparan, tuduhan yang langsung dibantah oleh juru bicaranya, Noor Syahid.
“Kami Pondok Pesantren Modern Gontor sama sekali tidak punya niatan untuk menutup-nutupi kasus dugaan penganiayaan yang berujung wafatnya santri kami, apalagi sampai menghalang-halangi proses hukum pengungkapan kasus ini,” ujar Noor Syahid dalam konferensi pers, Selasa (06/09).
Kendati begitu, ia tak memungkiri bahwa ada dugaan tindakan penganiayaan yang menyebabkan salah satu santrinya meninggal dunia.
“Bersama dengan keluarga almarhum dan aparat kepolisian, kami berkomitmen kuat untuk menyelesaikan kasus ini sampai tuntas dengan mengikuti setiap proses hukum yang ada.”
Sebagai wujud komitmen pesantren, kata Noor, semua pelaku kekerasan telah dikeluarkan dan dikembalikan ke orang tua masing-masing, pada hari yang sama ketika almarhum dinyatakan wafat.
“Ini lah solusi terberat, sanksi terberat di dalam pendidikan Gontor. Nantinya, jika terkait hukum negara, tentunya kami serahkan kewenangannya kepada pihak kepolisian,” katanya.
Adapun, kasus dugaan penganiayaan itu kini sudah masuk ke dalam tahap penyidikan.
Aparat kepolisian di Ponorogo, Jawa Timur telah memeriksa sejumlah saksi dan melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP).
Kapolres Ponorogo, AKBP Catur Cahyono Wibowo mengatakan, ada sejumlah barang bukti yang telah diamankan polisi, yakni pentungan atau tongkat pramuka yang patah menjadi dua, becak, air mineral, minyak kayu putih dan rekaman CCTV.
Polisi menyebut motif sementara di balik tewasnya santri di pesantren tersebut karena salah paham.
Beberapa pekan sebelumnya, kasus serupa terjadi di Pesantren Dasar El Qolam di Tangerang, Banten.
Seorang santri berinisial BD yang berusia 15 tahun meninggal dunia pada Minggu (07/08), diduga karena dianiaya sesama santri.
Baca juga:
- Dugaan korupsi dana bantuan pesantren Rp2,5 triliun, Kementerian Agama perlu 'reformasi tata kelola'
- BOP: Rp7 miliar dana bantuan pesantren mengucur di Aceh, masih ada santri yang 'tidur kehujanan karena atap bocor, dinding kamar bolong-bolong'
- Para pencari Tuhan di Pesantren waria Yogyakarta
“Berdasarkan keterangan guru dan pengasuh yang mengantar, korban meninggal diduga karena berkelahi sesama santri,” ujar Kapolsek Cisoka AKP Nur Rokhman, seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Aan Anshori dari Jaringan Islam Antidiskriminasi sekaligus koordinator Jaringan Santri Jombang (Jasijo) mengatakan mencuatnya sejumlah aksi kekerasan di lingkup pesantren menjadi “awan gelap bagi pesantren”.
“Sudah saatnya teman-teman di pesantren itu mulai melakukan refleksi besar-besaran, kalau perlu melakukan besar-besaran berkaitan dengan sistem yang ada di sana, termasuk sistem tentang senioritas dan junioritas.
"Itu yang menurutku menjadi cikal bakal, tunas dari praktik kekerasan yang ada di sana,” terang Aan.
Selain senioritas, banyak pesantren masih menerapkan model pendidikan yang mentolerir penggunaan kekerasan.
“Secara normatif, semua institusi pendidikan termasuk pesantren itu tidak mentolerir adanya kekerasan. Tapi ketika kekerasan terjadi atas nama penegakkan aturan, di sinilah kemudian banyak pesantren memilih untuk permisif.”
Permisif itu artinya mentolerir penggunaan kekerasan untuk kepentingan edukasi, kata Aan.
Ia mencontohkan, ketika ada salah satu santri yang mencuri uang teman sesama santrinya, banyak pesantren lebih memilih untuk menyelesaikan ini secara privat ketimbang menyerahkannya pada kepolisian, lalu dibina sendiri.
“Pembinaan ini yang kemudian menjadi potensi pintu masuk kekerasan”.
‘Tangan saya dipukul pakai rantai besi’
Model pendidikan yang mentolerir kekerasaan, menjadi santapan Cecep - bukan nama sebenarnya - selama tiga tahun menjadi santri di sebuah pondok pesantren di Garut, Jawa Barat, dalam kurun waktu 2006-2009.
Dia menuturkan, setiap malam sehabis ibadah salat Isya’, digelar apa yang disebut sebagai “malam penghukuman” oleh para santri.
“Setelah kita salat Isya’, sebelum kita kembali ke asrama, ada penghukuman dulu bagi santri-santri yang nakal, yang intinya sih melanggar peraturan yang ada di asrama,” ujar pria berusia 27 tahun itu.
Jenis hukuman yang diterima para santri, kata Cecep, bervariasi tergantung dari peraturan yang dilanggar dan santri senior yang bertugas sebagai seksi keamanan di hari itu.
“Bisa aja dari ustaznya sendiri.”
Ia mencontohkan, santri yang kedapatan tidur ketika ceramah sebelum salat Jumat, biasanya dihukum ringan seperti diharuskan ceramah di asrama putri.
“Kalau yang paling berat sih hukuman waktu merokok. Jadi santri disuruh membakar rokoknya dan rokoknya itu ditancapkan ke tangan si santri,” ungkapnya.
Dia sendiri mengaku pernah mendapat hukuman tangannya dipukul menggunakan rantai besi.
Hukuman itu dia dapat karena absen dari tugas piket membersihkan ruang makan.
Dalam “malam penghakiman”, seksi keamanan menyuruh siapapun yang absen dari piket untuk maju ke depan, namun Cecep yang takut dengan hukuman yang akan diterimanya hanya bergeming.
“Tapi setelah di-pressure terus akhirnya saya maju ke depan. Berarti kan waktu itu saya ketahuan bohong nih di awalnya, waktu itu saya dihukumnya di… kalau cambuk terlalu keras ya, pokoknya dipukul pakai rantai besi waktu itu tangannya,” ungkap Cecep.
Ia kemudian menggambarkan bahwa rantai besi itu seukuran rantai yang biasa disematkan di dompet dan celana.
“Sakit sih sakit, cuma enggak sebegitu sakit kalau tangannya ditancepin rokok, menurut saya ya,” akunya.
Alih-alih mencegah kekerasan, kata Aan Anshori dari Jaringan Santri Jombang, sistem pendidikan semacam itu justru menjustifikasi praktik kekerasan, baik yang dilakukan oleh sesama santri, maupun oleh otoritas pesantren.
Ia sendiri di masa lalu sempat menjadi santri selama tujuh tahun di tiga pesantren, yakni Pesantren Tambakberas di Jombang, Pesantren Darul Hikmah di Mojokerto dan Pesantren Darul Falah di Kediri.
“Ini sudah saatnya teman-teman pesantren mulai melakukan reformasi besar-besaran mengenai sistem pendidikan yang ada di sana,” katanya.
Jika model pembelajaran tak diubah, kata Aan, “mau tidak mau praktik kekerasan terhadap santri akan terus [terjadi}”.
'Sudah waktunya ada aturan konkrit'
Lebih jauh, Aan mengatakan bahwa banyak pesantren di Indonesia yang belum menekankan pentingnya perlindungan anak dan perempuan dalam tata tertibnya. Maka dari itu, menurutnya, sudah waktunya Kementerian Agama membuat aturan yang konkrit untuk menjadikan pesantren ramah anak dan perempuan
“Pemerintah harus berani memastikan bahwa semua institusi pendidikan, termasuk pesantren yang jumlahnya lebih dari 30.000 di Indonesia, harus mempunyai standar operasional prosedur menyangkut pesantren yang ramah anak, termasuk setiap pesantren harus membekali siswa dan siswinya terkait dengan early warning system terkait kekerasan,” ungkap Aan.
Sementara itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas berkata bahwa dirinya telah mengeluarkan Keputusan Menteri Agama terkait pesantren, yang mencakup perlindungan terhadap para santri dan mengajarkan contoh yang baik.
Akan tetapi, ketentuan itu tak mengatur secara spesifik tentang kekerasan. Ia menambahkan, kendati pihaknya bisa melakukan pengawasan, namun ia tak bisa melakukan intervensi terhadap apa yang terjadi di pesantren.
“Pengawasan bisa, tapi disebut kalau kita melakukan intervensi atau campur tangan yang dalam, dalam pesantren itu enggak bisa. Karena itu lembaga yang sangat independen dan tidak struktural di bawah kementerian, itu enggak.”
Adapun menyusul kasus kekerasan, baik fisik dan seksual yang terjadi di lingkup pesantren, hingga saat ini Kementerian Agama masih memproses penyusunan regulasi pencegahan tindak kekerasan pada pendidikan agama dan keagamaan.
Regulasi tersebut sudah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Tak semua pesantren buruk
Merespons kekerasan di pesantren yang marak, memicu kekhawatiran dari orang tua yang berencana menyekolahkan anaknya di pesantren. seperti diungkapkan Dikdik Taufik Hidayat.
Namun begitu, ia akan tetap menyekolahkan anaknya di pesantren.
“Kalau saya bilang enggak khawatir, bohong ya, pasti iya. Tapi saya pikir segala sesuatu yang berjalan di muka bumi sudah diatur oleh Allah. Jadi, saya tidak akan karena berita ini atau berita apapun yang nantinya ada, saya tidak jadi menyekolahkan anak saya itu enggak, tetap.
Sementara Aryati, yang dua putrinya menempuh pendidikan di pesantren Darul Qur’an Mulia di Bogor, mengaku tak khawatir sebab pesantren tempat putrinya bersekolah, telah menerapkan standar operasi prosedur dan pengawasan terhadap para santrinya.
“Di sana itu kan ada asrama-asrama, di asrama itu ada satu guru atau ustazah yang jadi pengawas di kamar tersebut, atau malah ada kakak pengawas yang mengawasi kamar tersebut.”
“Ada semacam pengawasan dari guru dan intinya komitmen dari semua orang untuk tidak ada bullying. Terus, kalau di tempat anak saya yang di Bogor itu lengkap dengan CCTV dan segala rupa, jadi terawasilah anak itu agar terhindar dari hal-hal seperti itu,” jelasnya.
Di sisi lain, kata Arlita, tak ada senioritas di pesantren tempat kedua anaknya bersekolah tersebut.
“Mereka sesama kayak dan adik kelas atau sesama kelas itu saling menyayangi. Mereka kan anak-anak yang berbeda dari keluarga yang berbeda, berkumpul bersama mereka malah jadi keluarga baru lagi karena mereka jauh dari keluarga aslinya. Mereka malah jadi seperti saudara."