Suara.com - Pembangunan megaproyek Ibu Kota Nusantara telah dimulai. Setidaknya mulai tahun depan, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, yang saat ini sudah ramai dengan kegiatan industri akan semakin riuh dengan bongkar muat logistik. Padahal, teluk ini adalah rumah berbagai satwa dilindungi, termasuk pesut pesisir - mamalia laut sejenis lumba-lumba dengan bentuk mirip torpedo yang terancam punah.
Tim BBC News Indonesia menjelajah Teluk Balikpapan yang disebut-sebut sebagai gerbang IKN untuk mencari pesut ini. Penjelajahan diawali dengan menyusuri anak sungai yang rimbun pepohonan mangrove pada sisi kiri dan kanan.
Memasuki perairan Teluk Balikpapan, kerimbunan pohon menyibak pemandangan yang berbeda. Kami 'disambut' belasan kapal tongkang pengangkut batu bara. Tiap-tiap kapal memuat ribuan ton batu bara yang membentuk bukit-bukit hitam.
Pada satu sisi teluk, kami melihat capit-capit raksasa mengisi kapal dengan muatan batu bara. Sementara di sisi seberang, cerobong kilang minyak menyemburkan polusi pekat.
Baca Juga: Kepastian Hukum Dibutuhkan Investor untuk Tanam Modal di IKN: Agar Bebas Pungli
Baca juga:
- Ibu kota baru: Pemerintah baru tetapkan 0,6% hutan adat, mengapa upaya lindungi warga adat lamban?
- Nusantara: Pemerintah klaim dapat dukungan warga lokal, petani adat sebut 'yang diundang hanya elite'
- Penggunaan APBN untuk pembangunan IKN, pakar sebut 'akan korbankan program masyarakat'
Terlepas dari kondisi ini, pemerintah menjadikan Teluk Balikpapan sebagai jalur logistik pembangunan IKN meski sebagian besar wilayah teluk tidak termasuk ke dalam wilayah ibu kota masa depan.
"Tidak dimasukkannya Teluk Balikpapan [sebagai] bagian daripada IKN, bagian dari perencanaan IKN, tentu sangat mengkhawatirkan," kata Mapaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, sebuah LSM pemerhati isu lingkungan dan sosial wilayah pesisir.
"Jangan sampai Teluk Balikpapan itu menjadi kolam raksasa tempat penampung sampahnya pembangunan IKN yang ada di hulu."
Namun, Badan Otorita IKN meyakinkan bahwa pembangunan IKN tidak mengesampingkan kelestarian lingkungan karena pertaruhannya sangat besar.
Baca Juga: Presiden Jokowi Ingin IKN Nusantara Masuk dalam Proyek Strategis Nasional
"Kalau ada kekhawatiran tentang kita tidak comply dengan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan, mungkin beralasan mungkin karena selama ini track recordnya mungkin tidak terlalu menggembirakan," kata Bambang Susantono, Kepala Otorita IKN saat ditemui di kantornya di Jakarta.
"Tapi untuk kota Nusantara kita ingin agar kita comply sejauh mungkin. Karena di situlah sebetulnya kota ini akan memiliki kredibilitas di mata internasional."
Sementara pada penjelajahan kami di Teluk Balikpapan, kami menemukan tidak hanya pesut yang kian tersudut tapi nelayan semakin tersingkir.
Kondisi genting pesut pesisir di 'pintu gerbang' IKN
Berdasarkan survei terakhir tahun 2015 yang dilakukan Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), jumlah pesut pesisir di perairan Teluk Balikpapan hanya sebanyak 73 ekor.
Pesut pesisir adalah 'sepupu' dari pesut Mahakam yang lebih terkenal dan merupakan simbol kota Samarinda. Banyak orang menyebut kedua jenis pesut ini sebagai pesut Mahakam. Padahal secara genetika keduanya berbeda.
"Dari segi morfologi, kalau pesut mahakam termasuk cukup gemuk," kata Danielle Kreb, peneliti Yayasan Konservasi RASI.
"Kalau [pesut] di Teluk Balikpapan, mereka lebih aerodinamis."
Kondisi populasi keduanya tidak jauh berbeda. Pesut Mahakam yang menghuni sungai Mahakam jumlahnya tinggal 67 ekor.
Menurut organisasi konservasi alam internasional IUCN, status mereka di dunia terancam punah, dan populasi mereka terus menurun.
Banyak hal mengancam habitat mereka yang sebagian besar tersebar di Asia Tenggara, di antaranya lalu lintas kapal, aktivitas pertambangan, dan limbah. Ancaman-ancaman inilah yang ditemui di Teluk Balikpapan.
Baca juga:
- Dugong 'yang ilhami legenda putri duyung' telah punah di China, tak terlihat sejak tahun 2000
- Burung terbelit sampah plastik dan masker medis yang banyak digunakan selama pandemi
- Orang Bugis, 'pengembara laut' yang hidup berdampingan dengan hiu paus di timur Indonesia
Selain faktor-faktor tersebut, ada hal spesifik lainnya yang juga mengganggu habitat pesut.
"Sebetulnya juga tidak hanya pencemaran dari kimiawi tapi juga dari suara di bawah air," kata Danielle.
Seperti lumba-lumba, pesut juga berkomunikasi dengan sonar sehingga polusi suara pada habitat mereka adalah intrusi yang signifikan. Polusi suara ini dihasilkan lalu lalang kapal dan aktivitas pembangunan.
Pesut pesisir: mata rantai penting ekosistem Teluk Balikpapan
Kami mencari keberadaan pesut pesisir di Teluk Balikpapan karena satwa inilah yang paling terancam. Satwa lainnya adalah bekantan; monyet coklat terang berhidung besar yang juga menyandang status terancam punah.
Selain itu, pesut pesisir tidak bisa meninggalkan Teluk Balikpapan untuk hidup di wilayah perairan lain.
"Teluk Balikpapan ternyata habitat sangat cocok untuk pesut sehingga mereka jadi penghuni tetap," jelas Danielle.
Sebagai gambaran, luas perairan Teluk Balikpapan mencapai sekitar 16.000 hektare, hampir seluas Kota Bandung, Jawa Barat.
Untuk bisa berjumpa dengan mereka, kami memerlukan keahlian dan pengetahuan khusus.
Dengan sebuah kapal yang dapat memuat setidaknya 10 orang, kami berangkat bersama Danielle yang telah meneliti pesut di Kalimantan sejak 1997.
Karnila Willard, seorang peneliti dan dosen STT Migas yang telah berupaya mengembangkan ekowisata Teluk Balikpapan sejak 2017 juga pergi bersama kami.
Menurut Karnila tidak semua pencarian pesut membuahkan hasil.
"Pernah ada dua kali atau tiga kali dari sekian banyak [pencarian pesut] itu, nggak ketemu pesut sama sekali, seharian kita muter-muter," kata Karnila.
Kami memulai pencarian dari anak Sungai Somber.
Kedua sisi sungai ditumbuhi pohon mangrove yang dihuni oleh populasi bekantan serta berbagai jenis burung.
Menurut data Forest Watch Indonesia, Teluk Balikpapan memiliki tutupan mangrove seluas 16.800 hektare.
Selain menjernihkan air, hutan mangrove berperan penting dalam mengatasi perubahan iklim.
Organisasi Konservasi Internasional (CI) menyatakan mangrove menyerap dan menyimpan karbon hingga 10 kali lipat dibandingkan hutan hujan tropis.
Pada ekosistem Balikpapan khususnya, kelangsungan populasi bekantan bergantung pada mangrove. Mereka menyantap buah, bunga, dan daunnya.
Kelangsungan hidup populasi bekantan bergantung pada hutan mangrove di Teluk Balikpapan.
Sama seperti mangrove dan bekantan yang bergantung satu sama lain, pesut juga saling bergantung pada Teluk Balikpapan.
"Gerakan dia secara vertikal, mengobok plankton-plankton dari bawah [dasar air] dinaikkan ke atas, jadi [pakan] ikan-ikan," kata Danielle.
Dengan kata lain, pesut menyuburkan perairan teluk, sehingga ikan semakin banyak.
Jika tidak ada ikan, berarti tidak ada pesut
Lalu-lalang kapal dan berbagai kegiatan industri Teluk Balikpapan menyambut kami selepas anak Sungai Somber.
Selain pemandangan tongkang batu bara yang sedang diisi muatannya, di balik tanaman mangrove yang jarang, nampak drum-drum minyak raksasa.
Di Teluk Balikpapan terdapat Kawasan Industri Kariangau. Kawasan industri ini merupakan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi Kaltim dan memiliki luas lebih dari 3.500 hektare.
Selain batu bara, terdapat juga industri minyak dan gas serta kelapa sawit. Setidaknya terdapat 20 pabrik yang beroperasi di kawasan ini.
Baca juga:
- Puluhan penyu hijau mati ditikam dan disayat di Jepang, kepolisian selidiki 'kekejian terhadap binatang'
- Kembalinya harimau di Nepal membawa kegembiraan sekaligus ketakutan
"Kalau banyak industri, berarti biasanya ada banyak sedimentasi atau pencemaran. Itu berdampak pada perikanan, sehingga ikan juga tidak sebanyak dulu di wilayah itu," jelas Danielle.
Kami pun melanjutkan pencarian pesut menjauh dari kawasan itu.
Karena jika tidak ada ikan, kemungkinan pesut tidak akan menghabiskan waktu di situ untuk mencari makan.
Baca juga:
- Jepang mundur dari PLTU Indramayu, bagaimana nasib industri batu bara dan pasokan listrik?
- Bagaimana gajah hutan Afrika membantu memerangi perubahan iklim?
Penemuan pesut: perpaduan keahlian dan keberuntungan
((Video mencari pesut))
Danielle dan putrinya yang 'berpatroli' di atap kapal tiba-tiba melihat penampakan ekor pesut dari teropong mereka. Informasi ini diestafetkan pada Karnila dan semua orang di kapal.
"Ada pesut!" seru Karnilla pada saya.
Kami semua terkejut karena ini baru titik pertama dari lima titik pencarian yang kami rencanakan.
Kami berada di perairan sungai Riko, salah satu sungai terbesar yang bermuara ke Teluk Balikpapan.
Danielle dan Karnila memberi instruksi ke mana kapal harus bergerak dan menghadap.
"Jadi nggak boleh dari belakang [kalau] kita pendekatan ke pesut, memang harus dari samping. Supaya dia tetap nyaman dan tidak merasa dikejar dari belakang," jelas Danielle.
Beberapa saat kemudian, pesut muncul kembali ke permukaan. Hanya beberapa detik sebelum kembali menyembulkan ekor mereka untuk menyelam.
"Kalau ekornya kelihatan tinggi, itu berarti mereka akan menyelam dalam. Agak lama sebelum mereka ke atas lagi," kata Karnila.
Karnila dan Danielle memperkirakan bahwa pesut di titik yang kami jumpai tengah mencari ikan.
Saya yang baru pertama kali 'bertemu' pesut pesisir tidak bisa menahan pekik kegembiraan. Dengan semangat, kami memutuskan untuk naik ke perahu kecil dengan dayung supaya bisa melihat lebih dekat. Karena kebisingan mesin kapal besar bisa mengganggu pesut yang sensitif terhadap suara.
Upaya kami pun membuahkan hasil. Kami melihat beberapa pesut lainnya dengan jarak cukup dekat.
Sementara di kapal utama, Danielle mengambil banyak foto.
Dokumentasi gambar sangat penting untuk mengidentifikasi mereka, karena setiap pesut memiliki bentuk dan karakteristik sirip punggung yang berbeda-beda.
Lebih lanjut, identifikasi pesut berperan penting dalam penghitungan populasi pesut dan mempelajari dampak perubahan ekosistem pada kesehatan mereka.
"Dari sirip kita tahu, misalnya ini si Nenek, tadinya nggak punya banyak kutil di tubuhnya. Nah, setelah tahun yang banyak pencemaran, dia [jadi] punya banyak kutil," cerita Danielle tentang seekor pesut yang diberi nama "Nenek."
Ironi nasib pesut dan nelayan
Meski telah bertemu setidaknya dua atau tiga pesut, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan pencarian. Kapal kami keluar dari sungai Riko menuju perairan teluk.
Tidak sampai satu jam kami melihat lagi penampakan pesut.
Pesut adalah binatang yang berkelompok layaknya lumba-lumba. Pada perjumpaan kedua, kami melihat tidak hanya satu-dua ekor, melainkan dua kelompok pesut yang terdiri dari setidaknya lima sampai enam ekor. Satu kelompok bahkan terlihat berenang bersama seekor anaknya.
Namun kali ini latar belakang perjumpaan kami bukanlah kerimbunan pohon mangrove seperti di sungai Riko, melainkan pabrik-pabrik.
Betapa dekat kawasan industri dengan tempat pesut mencari makan.
Baca juga:
- Perusahaan sawit di Papua buka lahan 70 hektar meski izin dicabut, 'potensi pidana' perusahaan yang 'merusak hutan kami'
- Perempuan penjaga 'hutan adat satu-satunya di Yogyakarta'
- Indonesia termasuk negara pembabat hutan terbanyak, Menteri LHK: 'Pembangunan era Jokowi tidak boleh berhenti atas nama deforestasi'
Ironisnya hal ini juga menjadi kenyataan hidup para nelayan yang mencari ikan di Teluk Balikpapan.
Danielle berharap pemerintah memberi perhatian lebih pada ekosistem ini.
"Bukan demi pesut pesisir sendiri tapi memang demi nasib nelayan juga, karena mereka sebetulnya punya nasib yang sama. Sama-sama cari ikan," kata Danielle.
Pesut tersudut, nelayan tersingkir
Akibat polusi, pencemaran, dan keramaian Teluk Balikpapan, pesut masuk ke wilayah hulu menjauh dari sumber-sumber gangguan itu.
Sementara nelayan sebaliknya.
"Dengan adanya aktivitas kapal keluar masuk kami nyari ikannya agak keluar [area teluk], karena disini ramai, kurang pendapatannya," kata Sadar, seorang pengepul ikan yang kami temui di Pantai Lango, satu dari dua desa nelayan di Teluk Balikpapan.
Menurut Sadar yang telah mengelola tempat pengepulan ikan selama 15 tahun, penghasilan nelayan kelompoknya rata-rata Rp300.00 sampai Rp400.000 per orang setiap kali melaut.
Dengan catatan, jika hasil tangkapannya baik.
"Kalau lagi berkurang paling Rp50.000. Uang solar saja dia dapat. Solar itu lima liter Rp50.000," jelas Sadar.
Di desa nelayan lainnya bernama Jenebora, kami menemui satu keluarga nelayan berbeda generasi dari masyarakat adat Dayak Pesisir.
Baca juga:
- Dampak perubahan iklim di India: 'Kami di tengah laut selama berjam-jam, tapi tidak ada ikan'
- Empat gubernur di Jawa disomasi atas polusi mikroplastik di sungai, mengapa airnya bisa berbahaya bagi jutaan orang?
"Kami ini pasang rakang [alat tangkap kepiting], pasang jaring, kalau sudah dekat kepada perusahaan, itu ditegur. Suruh jauh-jauh," kata Hakim, nelayan berusia 80 tahun.
Hakim menceritakan bagaimana nelayan seperti dirinya ditegur pihak keamanan kawasan industri jika mencari ikan dengan jarak sekitar 500 meter dari pabrik.
"Untuk masyarakat adat Dayak Pesisir ini tidak bisa mencari ikan di lepas pantai, hanya di perairan teluk Balikpapan. Dan perahu kami kecil, bagaimana mau melaut. Tidak sama dengan nelayan-nelayan luar [teluk]," kata Hakim.
Sementara, Siti Aminah ingat bagaimana ia dulu pergi bersama bapaknya melaut.
"Kalau kita ke laut, tidak pernah dapat sedikit. Beda sama sekarang," kata Siti, ibu rumah tangga berusia 36 tahun.
"Kalau kita turun pasang itu jaring, tergantung kita tahannya di laut. Semakin kita lama, semakin kita banyak dapatnya! Dulu ya, dulu beda sama sekarang."
Mereka yakin bahwa bermacam-macam limbah seperti tumpahan batu bara, air panas dari pembangkit listrik, dan minyak telah merusak ekosistem Teluk Balikpapan hingga ikan-ikan menghilang.
Seperti peristiwa tumpahan minyak pada 2018 akibat putusnya pipa Pertamina yang tersangkut jangkar kapal.
Hilangnya wilayah tangkap nelayan
Selain penurunan hasil tangkapan, pada 2021 pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur menerbitkan sebuah peraturan daerah yang mengatur zonasi kawasan Teluk Balikpapan.
Di dalamnya tidak ada zona tangkap ikan di dalam perairan teluk, melainkan di luar teluk ke arah Selat Makassar.
Menurut Sadar, pengepul ikan di Pantai Lango, efek peraturan itu sudah mulai dirasakan nelayan.
Beberapa nelayan kelompoknya sempat didatangi oleh petugas provinsi saat tengah mencari ikan.
"Nelayan dipanggil satu-satu naik ke atas speed [kapal cepat], baru di situ ditatar ditanyain. Bapak sudah punya surat izin tangkap ikan?" cerita Sadar.
[Saya] sampaikan saja ke nelayan yang lain supaya secepatnya mengurus izin-izin kapalnya, supaya tidak takut dirazia lagi di laut."
Meski faktanya nelayan masih tetap bisa mencari ikan di perairan Teluk Balikpapan, menurut Mapaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, nelayan berada di posisi yang lemah.
"Ketika ada insiden misalnya, tentu mereka akan dijadikan pihak yang salah karena berada di wilayah yang tidak dialokasikan ruangnya sebagai wilayah tangkap," kata Mapaselle di kantornya di kota Balikpapan.
Baca juga:
- Kemenangan warga Sangihe atas gugatan izin lingkungan Perusahaan TMS: 'Angin segar perjuangan lingkungan'
- Ilmuwan akan coba bangkitkan harimau Tasmania dari kepunahan
Pembangunan IKN bermula di Teluk Balikpapan
Kini Teluk Balikpapan berhadapan dengan peningkatan keramaian dan pembangunan seiring dengan datangnya kebutuhan logistik untuk IKN.
Berdasarkan data dari kantor pelabuhan Balikpapan, jumlah rata-rata kapal yang melintas di teluk antara 1.000 hingga 1.200 kapal per bulan. Tidak termasuk kapal-kapal kecil nelayan.
Namun angka itu tidak akan bertahan lama.
"Setelah, informasinya bulan Agustus ground breaking, kontrak jalan, mungkin dari situ akan ada peningkatannya," kata M Takwim Masuku, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas 1 Balikpapan.
"Itu pun jumlahnya paling banyak kapal-kapal logistik khususnya tongkang."
Pemerintah juga menyediakan terminal dan dermaga di Teluk Balikpapan untuk menerima kedatangan logistik IKN.
Setidaknya terdapat enam lokasi di bagian hulu dan hilir teluk di mana kebutuhan logistik akan dibongkar dan diteruskan lewat jalur darat menuju IKN.
Pokja Pesisir menilai hal ini membuat permasalahan di Teluk Balikpapan semakin kompleks.
"Semakin banyak kapal yang melintas, semakin sulit mereka [nelayan] untuk mencari ikan di laut," kata Mapaselle.
Ia tidak ingin nelayan di Teluk Balikpapan bernasib sama dengan nelayan di Teluk Jakarta.
"Apakah wilayah tangkap nelayan di DKI itu dilindungi? Apakah wilayah tangkap nelayan di DKI itu tidak tercemar? Ternyata jawabannya wilayah tangkapnya tidak dilindungi bahkan direklamasi, dan perairan di Teluk Jakarta itu tercemar," lanjut Mapaselle.
Baca juga:
- Udara Jakarta 'buruk', pemerintah pusat didesak turun tangan atasi 'emisi lintas batas'
- Pemanasan global: Gletser Gunung Everest mencair, Nepal hendak relokasi kamp pendakian
Sementara, peneliti pesut Danielle mengkhawatirkan kelangsungan populasi satwa itu.
"Mungkin kalau masih tetap ada kapal lewat, kalau bisa pelabuhannya tidak ke hulu sekali," kata Danielle.
Proses pembangunan dermaga pun, menurut Danielle, dikhawatirkan mencederai mamalia laut di Teluk Balikpapan. Tidak hanya pesut, tapi juga lumba-lumba dan dugong.
"Kita biasanya menggunakan protokol, bisa diadopsi dari UK atau negara lain yang mengharuskan ada MMO, Marine Mammal Observer, yang pada saat pemancangan mulai," terang Danielle.
"[MMO] memastikan tidak ada lumba-lumba di sekitar, dengan radius, tergantung kebisingannya, 500 meter atau bahkan satu km."
Visi IKN dan kenyataan di lapangan
Kepala Badan Otorita IKN, Bambang Susantono, menekankan bahwa pembangunan IKN akan mengutamakan kelestarian lingkungan.
"Katakanlah saat ini nggak bagus. Oke, nanti secara bertahap kita akan menjadi nature positive. Kan itu ga bisa setahun dua tahun ya. Kita harus lakukan itu secara sustainable, secara menyeluruh tapi dalam tahap hingga 2045," kata Kepala Badan Otorita IKN Bambang Susantono.
Bambang percaya visi IKN untuk menjadi sustainable forest city atau kota hutan berkelanjutan akan tercapai.
Ia mengklaim pemerintah juga memiliki rencana-rencana lebih lanjut. Seperti jalan tol bawah laut agar tidak mengganggu habitat satwa hingga penggunaan energi terbarukan di dalam IKN.
Pihaknya berencana membangun kota dengan emisi nol, bahkan memperbaiki keanekaragaman hayati.
"Dari total luasan 256 ribu hektare, itu 65% akan kita kembalikan menjadi istilahnya tropical forest. Jadi hutan," kata Bambang.
Namun Mapaselle melihat, hingga saat ini, visi itu tidak tertuang dalam regulasi dan Undang-Undang.
Teluk Balikpapan yang disebut-sebut sebagai 'gerbang' menuju IKN, hampir seluruhnya tidak termasuk ke dalam wilayah perairan Nusantara pada UU IKN yang disahkan tahun ini.
"Sampai hari ini belum ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan status lindung kawasan penting di Teluk Balikpapan," kata Mapaselle.
Sementara, peneliti Yayasan Konservasi RASI Danielle berharap pemerintah menerapkan protokol konkret di lapangan. Supaya pembangunan Nusantara tidak memperparah kondisi yang saat ini sudah cukup gawat.
"Mau ke mana lagi pesut? Dia sudah bergantung nasibnya di Teluk Balikpapan," kata Danielle.
"Di hilir sudah banyak gangguan sampai ke hulu, nggak tahu sudah mau ke mana."
Di tengah berbagai tekanan di tempat mereka mencari ikan, nelayan yang kami temui di Jenebora masih menyimpan sebersit harapan.
Mauluddin, nelayan berusia 61 tahun, berharap kedatangan Nusantara setidaknya bisa mengubah nasib anak cucunya.
"Tidak mungkin juga pemerintah itu tidak peduli kepada masyarakatnya, pasti peduli kepada rakyatnya. Tidak mungkin" kata Mauluddin.