Ketika masih menjadi santri di Gontor, Ustaz Dedy mengaku pernah mendapatkan kekerasan fisik dan dia menceritakan pengalamannya.
"Jujur, sewaktu saya nyantri di pondok ini di awal 90an, tempelengan, rotan dan pukulan adalah sebuah keniscayaan yang relatif dibiarkan dalam penegakan disiplin. Namun, sejak era reformasi, pelarangan terkait hukuman fisik sudah mulai diterapkan. Banyak santri bahkan guru pelaku kekerasan yang sudah dipulangkan karena melakukan kekerasan fisik," katanya.
Pengalaman pahit itu dikatakan ustaz Dedy kemudian membangun semangatnya di dalam hati untuk melakukan perubahan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan anti kekerasan setelah dia menjadi pengasuh santri, termasuk di pondok pesantren yang sekarang dia asuh.
"Namun, pada tataran praktis, selalu ada celah untuk munculnya pelanggaran terhadap aturan atau kebijakan," katanya.
"Apalagi, pendidikan melalui kehidupan ala Gontor menerapkan apa yang dikenal sebagai teori Pendidikan Student Centered Learning. Pola Pendidikan SCL menempatkan santri sebagai subyek dari proses kehidupan. Memanfaatkan dinamika kehidupan di pondok sebagai wasailul idhoh, alat peraga Pendidikan yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan Pendidikan kaderisasi kepemimpinan Gontor."
Ustaz Dedy menjelaskan teori SCL juga membutuhkan apa yang dikenal dalam Bahasa Pendidikan karakter sebagai 3K. Tiga Komponen yang dimanfaatkan oleh pola pendidikan semacam Gontor untuk membangun karakter kepemimpinan santri: kompetisi, kerjasama, dan konflik.
Dia menyebutkan ramuan tiga komponen itu tersebar di seluruh sendi kehidupan di pondok. Pembagian kelompok baik di asrama, kelas, kegiatan organisasi, ekstra kurikuler, adalah bentuk penterjemahan dari pola pendidikan SCL. Pola Pendidikan yang terbukti efektif dalam mencapai tujuan pendidikan kaderisasi kepemimpinan ala Muallimin Gontor, kata ustaz Dedy.
"Tentu saja, pola pendidikan ini disadari memang memiliki resiko yang relatif besar. The smooth sea will never give the best sailor. Melahirkan pelaut handal, memang butuh samudera dengan ombak yang besar. Kemudi patah, layar robek bahkan resiko tenggelam memang menjadi tantangan yang harus dihadapi."
Ustaz Dedy menggunakan analogi kursus mengemudi. Metode yang paling efektif dilakukan untuk melahirkan “driver” bukanlah dengan meminta peserta kursus untuk menghafal dan memahami teori teori mengendarai kendaraan dan aturan berlalu lintas semata.
Baca Juga: Kata Mahfud MD soal Kasus Dugaan Penganiayaan Sebabkan Santri Gontor Tewas
Dia harus diberikan akses mempraktikkan mengendarai kendaraan di lapangan, menempatkan teori yang diajarkan dalam konteks lapangan dan jalanan. Peserta kursus diletakkan di balik kemudi sambil diawasi ketat oleh instruktur yang duduk di samping dan memiliki akses rem darurat untuk menghindari bencana yang tak diinginkan.