SETARA Institute: Komnas HAM Pilih Jalur Aman, Jokowi Gagal Pahami Kasus Munir

Siswanto Suara.Com
Rabu, 07 September 2022 | 13:01 WIB
SETARA Institute: Komnas HAM Pilih Jalur Aman, Jokowi Gagal Pahami Kasus Munir
Sejumlah aktivis mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) melakukan aksi di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Senin (5/9/2022). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pada 7 September 2004, Munir Said Thalib dibunuh dengan menggunakan racun arsenic secara terencana.

Pengadilan telah memutus dua orang aktor lapangan dan membebaskan Muchdi Purwoprandjono, yang saat itu menjabat salah satu Deputi Badan Intelijen Negara. Pada 7 September 2022, kasus Munir akan memasuki kadaluarsa karena akan melampaui 18 tahun sejak peristiwa terjadi karena konstruksi yang dibangun dalam penyelesaian kasus Munir adalah pembunuhan biasa.

Ketua SETARA Institute Hendardi berpendapat mengenai kasus Munir. Hendardi mengatakan, jika merujuk pada dokumen Tim Pencari Fakta Munir yang banyak beredar, kasus itu bukanlah pembunuhan biasa, tetapi pembunuhan yang diduga dilakukan oleh aktor negara dan merupakan kejahatan kemanusiaan karena Munir dibunuh di luar atau tanpa proses peradilan (extra judicial killing).

Hendardi mengatakan Komnas HAM lebih memilih jalur aman dengan tidak menangani kasus Munir sebagai salah satu peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM. Bahkan Komnas HAM baru membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelidikan kasus ini justru menjelang tibanya masa kadaluarsa.

Baca Juga: Desak Komnas HAM, Aktivis di Aceh Barat Gelar Aksi Solidaritas Untuk Munir

Sejumlah aktivis mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) melakukan aksi di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Senin (5/9/2022). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww]
Sejumlah aktivis mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) melakukan aksi di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Senin (5/9/2022). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww]

“Komnas HAM jelas pilih jalur aman dan berlindung di ujung masa kadaluarsa dan di ujung masa jabatan Komnas HAM periode 2017-2022 yang akan berakhir Desember,” kata Hendardi, hari ini.

Alih-alih menjadi instrumen percepatan penanganan kejahatan HAM, Komnas HAM periode disebut Hendardi justru menebalkan impunitas sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. Padahal, sejak Tim Pencari Fakta Munir  menyelesaikan tugasnya di 2005, Komnas HAM semestinya sudah bisa melakukan kerja penyelidikan sehingga kasus ini terus bisa ditindaklanjuti dengan menggunakan kerangka UU 39 Tahun 1999 dan UU 26 Tahun 2000.

Sementara, Jokowi, menurut pendapat Hendardi, sejak 2014 terpilih menjadi Presiden RI tidak pernah tuntas memahami duduk perkara kasus Munir.

"Ketika didesak menindaklanjuti rekomendasi TPF Munir, Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara mengatakan tidak mengetahui laporan tersebut. Sebagai seorang presiden, semestinya Jokowi memahami bahwa tugas penuntasan pelanggaran HAM itu melekat pada dirinya, sekalipun peristiwa itu terjadi di masa sebelumnya," kata Hendardi.

TPF telah menyerahkan laporan tersebut kepada Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Presiden, kata Hendardi, yang artinya tugas lanjutan melekat pada Presiden berikutnya.

Baca Juga: Sambangi Komnas HAM, KASUM Minta Tim Ad Hoc Kasus Munir Segera Bekerja

"Bahkan karena Jokowi terus mengelak, SBY pun berinisiatif mengirimkan copy laporan tersebut pada 26 Oktober 2016 kepada Jokowi. Tetapi nyatanya, hingga periode kedua Jokowi tersisa 2 tahun lagi, Jokowi tetap tidak tuntas memahami kewajibannya sebagai Presiden sebagai duty barrier atau pemangku kewajiban dalam hukum hak asasi manusia," kata Hendardi.

Selain kasus Munir, kata Hendardi, Jokowi pula yang menyusun kreasi absurd penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan non yudisial, yang sudah dipastikan tidak akan mampu mengungkap kebenaran dan keadilan. Keppres yang diklaim ditandatangani saat 17 Agustus 2022 dan hingga kini tidak bisa diakses publik, adalah cara pragmatis memberikan pemulihan karitatif bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.

"Keengganan Jokowi dalam menuntaskan kasus Munir dan pilihan Jokowi menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial adalah gambaran terang benderang tentang arah politik penegakan HAM di Indonesia yang semakin suram menuju pelembagaan impunitas secara permanen dan tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan," katanya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI