Pengungsi Afghanistan: "Kalau Saya Bertahan, Saya Pasti Sudah Mati"

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 05 September 2022 | 13:16 WIB
Pengungsi Afghanistan: "Kalau Saya Bertahan, Saya Pasti Sudah Mati"
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sekitar satu tahun lalu, negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat menarik pasukan dari Afghanistan, mengakhiri perang terpanjang mereka dan 20 tahun pendudukan.

Afghanistan kemudian jatuh ke tangan Taliban dan hal ini menimbulkan kekhawatiran ribuan mantan pegawai pemerintah dan petugas keamanan serta keluarga mereka yang pernah bekerja sama dengan pasukan internasional. Keselamatan nyawa mereka mungkin terancam. Banyak yang melarikan diri sebagai pengungsi dan masih belum menemukan tempat yang mau menerima mereka.

Demi keselamatan, semua nama kontributor telah diubah.

Baca juga:

Baca Juga: 41 Orang Menjadi Korban Dalam Peristiwa Ledakan di Masjid Afghanistan, 18 di Antaranya Meninggal Dunia

"Ini pertama kalinya saya melihat laut," kata Rahmat.

Berasal dari Afghanistan yang terkepung daratan, Rahmat (30 tahun) melihat ke seberang Selat Inggris. Ia menyaksikan kapal-kapal melewati Pelabuhan Calais.

Namun, suasana yang seharusnya menjadi pemandangan yang menggembirakan karena pertama kalinya melihat lautan, berubah menjadi rasa takut.

Bersama puluhan pria Afghanistan lainnya yang saat ini berada di Calais, Rahmat sedang menunggu telepon dari seorang penyelundup yang mengabari bahwa sudah waktunya untuk menyeberang.

"Melihat ke laut, itu membuat saya takut. Seakan menatap wajah kematian," katanya. "Saya bahkan tidak akan berada di sini jika Afghanistan aman."

Baca Juga: Imigran Afghanistan 27 Kali Demo di Batam, Riama Manurung: Sudah Meresahkan Warga

Menurut Kementerian Dalam Negeri Inggris, jumlah warga Afghanistan yang berusaha menyeberangi selat ke Inggris meningkat lima kali lipat sejak Taliban mengambil alih Afghanistan tahun lalu.

Warga Afghanistan sekarang menyumbang satu dari empat orang yang melakukan perjalanan berbahaya itu.

Beberapa hari setelah Taliban mengambil alih kekuasaan, orang-orang dari desa Rahmat mulai menghilang. Jenazah mereka kemudian muncul tanpa penjelasan apapun.

"Kami tidak punya cara untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada mereka atau siapa yang melakukannya," kata Rahmat.

Di Kabul, kepemimpinan Taliban mengumumkan "amnesti umum" bagi semua pegawai pemerintah di seluruh negeri dan berkeras mereka akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang menentang mereka.

Namun, melalui penyelidikan independen selama 12 bulan terakhir, sejumlah LSM dan outlet media menuduh Taliban melakukan ratusan pembunuhan dan penghilangan paksa mantan pejabat pemerintah serta anggota pasukan keamanan.

Rahmat percaya pembunuhan di desanya adalah pembunuhan balas dendam yang dilakukan oleh anggota Taliban terhadap individu-individu tertentu yang bekerja untuk, atau mendukung, pemerintahan sebelumnya.

Baca juga:

Pemerintahan Taliban membantah hal ini, dengan mengatakan orang-orang yang dibunuh adalah individu yang punya kaitan dengan kelompok yang menyebut diri Negara Islam (ISIS).

Namun, karena ayah dan dua saudara laki-laki Rahmat adalah mantan pegawai pemerintah, keluarganya merasa terancam. Khawatir akan putra-putranya, ayah Rahmat memberi restu kepada mereka untuk meninggalkan Afghanistan.

Setelah berbulan-bulan menempuh perjalanan melalui Iran, Turki dan Serbia, Rahmat akhirnya tiba di Calais pada bulan Juni. Di sana ia bertemu dengan puluhan pria Afghanistan lainnya, semua mantan pegawai pemerintah atau pasukan keamanan, dan semuanya berusaha untuk mencapai Inggris.

Mengapa Inggris?

Berdiri di sepetak lahan yang terlantar di tepi kamp pengungsi yang dihancurkan pada tahun 2016 atau pernah dikenal sebagai 'Hutan' Calais, puluhan warga Afghanistan, semuanya pria muda, mengobrol sambil mengisi daya ponsel mereka.

Ketika ditanya mengapa mereka ingin mencapai Inggris, mereka menjawab: "Situasi kami akan didengar di sana."

"Atau paling tidak", seorang pria berkata, "Kami akan diberi tempat untuk berlindung dari hujan."

Mereka membahas Peraturan Dublin, undang-undang Uni Eropa yang menyatakan permohonan suaka seseorang biasanya harus diproses oleh negara Uni Eropa pertama tempat mereka tiba.

Banyak yang mengatakan sidik jari mereka pertama kali diambil di Bulgaria. Namun mereka mengklaim setelah diperlakukan dengan buruk oleh polisi perbatasan, mereka tidak ingin tinggal. Alih-alih, mereka terus berjalan ke Inggris tempat peraturan Dublin tidak berlaku.

Pihak berwenang di Bulgaria menolak berkomentar.

Untuk melintasi Selat Inggris, tiap-tiap dari mereka membayar beberapa ribu dolar ke satu jaringan penyelundup untuk membawa mereka dari Afghanistan ke Calais, dan kemudian ke Inggris.

Sajid yang berusia 21 tahun pernah berdinas sebagai tentara Afghanistan. Ia bertempur di garis depan melawan Taliban dan ISIS.

Ia sekarang menghabiskan siang dan malamnya tidur di bawah pohon di Calais, kurang dari 96 kilometer dari pelabuhan Dover.

Ia sedang bertugas menjaga wilayah pegunungan dekat dengan perbatasan Pakistan tatkala mendengar kabar bahwa Taliban telah merebut negaranya.

"Saya siap bertempur sampai peluru terakhir," katanya.

Tetapi atasannya memerintahkan ia untuk "meletakkan senjata dan pulang."

Sambil menahan air mata, ia berkata ia tidak tahu berapa banyak temannya yang gugur dalam pertempuran.

"Saya harus pergi. Taliban tidak akan membiarkan kami. Mereka bilang ada amnesti umum, tapi itu tidak benar," kata Sajid.

"Sampai hari ini, pembalasan terus berlanjut. Enam orang menghilang dari desa saya. Banyak orang telah terbunuh," katanya.

Rwanda?

Kabar tentang kebijakan kontroversial Inggris untuk mengirim pencari suaka ke Rwanda, penggentar yang dimaksudkan bagi mereka yang menempuh perjalanan berbahaya ke Inggris demi mendapatkan suaka, juga telah mencapai orang Afghanistan yang terjebak di Calais.

Hasyim yang berusia 23 tahun bekerja untuk dinas intelijen Afghanistan. Ia juga mengaku kehilangan rekan-rekannya dalam beberapa minggu setelah pengambilalihan Taliban.

"Tiga rekan saya pergi bertemu di sebuah taman. Taliban melacak mereka dan membunuh mereka di tempat," katanya. "Kami lebih dekat dari saudara."

"Menyeberangi laut dengan perahu, saya tahu ada kemungkinan 99,99% saya akan mati. Tetapi kalau saya tinggal di Afghanistan, saya pasti sudah mati sekarang.

"Inggris mungkin akan mengirim kami ke Rwanda, tetapi saya ingin mendapat kesempatan untuk memaparkan situasi saya di hadapan mereka dan menjelaskan kepada mereka mengapa saya melarikan diri dari negara saya."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI