Suara.com - Pemerintah Indonesia telah mulai menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai salah satu bentuk pengalihan subsidi BBM meski permasalahan data, yang membuat penyalurannya tidak tepat sasaran, belum rampung. Apakah upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki data bisa membuat penyaluran bansos lebih baik?
Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan pihaknya bakal memperbarui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) setiap bulan untuk memastikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM tepat sasaran.
“Jadi di UU itu sebetulnya satu tahun dua kali, tapi karena kondisi perubahan di daerah itu cukup pesat maka kemudian kita melakukan perubahan [DTKS] setiap bulan. Jadi setiap bulan, saya membuat SK baru,” kata Risma dalam keterangan persnya, Sabtu (03/09), dikutip dari situs Sekretariat Kabinet RI.
Dia menambahkan, Kementerian Sosial memiliki 70.000 pendamping di seluruh Indonesia untuk melakukan pengecekan dan verifikasi data penerima bansos di lapangan.
Baca Juga: Data Penerima BLT BBM di Padang Belum Jelas, Bakal Disalurkan Lewat 6 Kantor Pos
Selain itu, masyarakat juga bisa ikut berpartisipasi dalam pembaruan data lewat menu Usul dan Sanggah pada aplikasi Cek Bansos maupun command center Kemensos.
Selain BLT, pemerintah menyiapkan Bantuan Subsidi Upah sebesar Rp 600 ribu untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan. Kemudian, pemerintah pusat menginstruksikan kepada Pemda menggunakan 2% dana transfer umum sebesar Rp 2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum, bantuan ojol dan nelayan.
Baca juga:
- Harga BBM subsidi resmi naik, meski pemerintah sudah diperingatkan tentang dampak sosialnya - BBC News Indonesia
- Bansos PPKM darurat dan level 4: Data penerima 'bermasalah', cerita warga: 'Jangankan dapat bantuan, didata saja tidak pernah' - BBC News Indonesia
- Lebih 20 juta keluarga dan 16 juta pekerja akan terima bantuan tunai untuk ‘mengurangi tekanan’
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mengatakan upaya Kemensos itu “secara rasional kebijakan” bisa dijadikan salah satu cara untuk memperbaiki pola pemberian dan penyaluran bansos, tapi dia “tidak yakin dengan implementasi di lapangan”.
“Karena di antara pendamping-pendamping itu juga banyak yang nakal-nakal. Data yang dia pegang misalnya ada 10, tapi kenyataannya yang nerima paling tujuh orang, yang tiga nggak ada, sesungguhnya fiktif,” ujar Trubus kepada BBC News Indonesia, Minggu (04/09).
Peneliti Transparency International Indonesia, Agus Sarwono, mengungkap saat pemerintah memberikan bansos di tengah pandemi Covid-19, distribusinya pun banyak yang tidak tepat sasaran.
“Sepanjang penanganan pandemi, banyak sekali warga yang sebenarnya terdampak, justru malah tidak mendapatkan bantuan sama sekali. Penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran itu semua bermula dari proses pendataan yang tidak partisipatif,” kata Agus.
Dalam sebuah kajian yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang juga bekerja sama dengan Transparency International Indonesia, pada akhir 2021 lalu, ada warga yang sudah lama meninggal, pindah domisili kependudukan, hingga sudah menjadi ASN masih tercatat sebagai menerima bansos.
Sebaliknya, banyak warga dengan tingkat kesejahteraan lebih membutuhkan bantuan justru luput dari penyaluran bansos.
Pada saat itu, Kemensos menyebut kesemrawutan data penerima bansos disebabkan penggunaan DTKS yang belum dimutakhirkan sejak 2017 dan pemerintah kabupaten/kota yang tidak disiplin dalam melakukan verifikasi dan validasi secara reguler.
BBC News Indonesia telah menghubungi Kementerian Sosial untuk wawancara lebih lanjut, tapi belum mendapatkan respons sampai berita ini diterbitkan.
'Sudah komplain, tapi tidak berubah'
Purwanto, ketua RW 39, Kelurahan Tridadi, Sleman, Yogyakarta, mengaku pernah beberapa kali menyampaikan pembaruan data kepada petugas terkait. Namun, ketika bansos datang lagi, orang yang seharusnya sudah tidak menerima bansos, ternyata masih mendapatkannya.
“Ada yang sudah meninggal, disampaikan untuk updating datanya, biasanya pas datang lagi (bansosnya), dapat lagi, masih ada namanya. Ada lagi yang seharusnya tidak menerima, masih menerima. Ada lagi yang sudah minta dicoret (dari daftar penerima manfaat), dia datang langsung ke dinas sosial, tapi dapat lagi,” kata Purwanto kepada BBC News Indonesia.
Hal itu diakui Purwanto membuat dia dan pengurus lingkungan lainnya, sampai ke warga, merasa “tidak punya kewenangan” untuk melakukan verifikasi.
“Dari atas sampai bawah itu belum satu bahasa. Sementara kami yang paling depan, yang paling tahu kondisi warga, ketika kami menyampaikan kondisi data yang terbaru, ternyata berubah satu dua, tetapi kadang-kadang ada yang tidak berubah. Data warga yang sudah meninggal, bisa muncul lagi.”
Itu baru soal verifikasi secara konvensional. Terkait verifikasi data secara digital yang diinisiasi Kemensos melalui Cek Bansos dengan menu Usul-Sanggah, Purwanto bahkan tidak mengetahuinya. Padahal Cek Bansos sudah ada sejak tahun 2021.
“Belum tahu kalau itu. Itu baru?” kata Purwanto balik bertanya.
Pelibatan masyarakat penting
Agus Sarwono mengatakan seharusnya proses pendataan di lapangan memang melibatkan warga, dengan ”menggali informasi ke basis-basis warga”, tapi di situlah masalahnya.
”Kami melihat selama ini proses validasi dan verifikasi tidak melibatkan kelompok-kelompok warga,” kata Agus.
Alasannya, yang paling tahu apakah seseorang benar-benar layak menerima bansos karena terdampak perubahan kondisi ekonomi adalah warga sekitar. Namun, Agus melihat hal pelibatan warga itu belum banyak dilakukan.
Penggalian data pun, dinilai Agus, harus dilakukan secara rutin dan tidak boleh dilakukan hanya sebulan atau dua bulan saja karena kondisi di lapangan cepat sekali berubah.
Oleh sebab itu, Agus bersama koalisinya mengapresiasi langkah Menteri Risma yang ingin melakukan perubahan DTKS sebulan sekali, dengan catatan hal itu bukan cuma pernyataan politik belaka.
”Birokratnya itu juga serta merta turun, untuk memastikan proses pendataan benar-benar dilakukan satu bulan sekali dan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat untuk melakukan pendataan, verifikasi, dan validasi,” tegas Agus.
Pemerintah sadar pemberian bansos tidak optimal
Pemerintah sebenarnya tahu bansos yang mereka bagikan banyak yang tidak tepat sasaran. Pernyataan Presiden Joko Widodo, pada Sabtu (03/09), dinilai Trubus, menjadi salah satu buktinya.
"Ini kan yang kita bagikan ini kan 20.600.000 (orang). Jumlah seperti itu enggak mungkinlah 100 persen benar, pasti ada satu, dua, tiga yang tidak tepat, ya, karena memang yang dibagi ini jumlahnya sangat banyak sekali," kata Jokowi kepada media.
Menurut dosen Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, pernyataan Jokowi tersebut "adalah ketidakberdayaan".
“Dia mengeluarkan kebijakan bansos, tapi bansos sendiri diakui tidak tidak tepat sasaran dan tidak berpengaruh terhadap daya beli masyarakat,” ujar Trubus.
Hal lain, tambah Trubus, bansos yang digelontorkan pemerintah nominalnya terlalu sedikit. Apalagi untuk BLT BBM kali ini, hanya Rp150.000 per kepala keluarga per bulan, selama empat bulan. Untuk keluarga dengan jumlah anggota yang banyak, jumlah itu dinilai Trubus tidak terlalu signifikan.
“Apalagi kenaikan BBM ini pengaruhnya besar. Kenaikan BBM bukan cuma transportasi dan logistik, persoalan itu naiknya harga pangan. Masyarakat miskin yang kesulitan kan persoalan pangannya itu,” kata Trubus.
Dia kemudian mengibaratkan pemberian bansos seperti memberi obat paracetamol pada orang yang sakit.
“Sekedar paracetamol saja, bahwa kamu saya kasih obat. Tetapi penyakit yang sesungguhnya tidak hanya sakit kepala atau demam, tapi ada sakit yang lain, yang lebih jauh. Ketika dikasih paracetamol ya tidak mempan.”
Tidak hanya masalah pendataan
Hasil kajian jaringan masyarakat sipil, beberapa di antaranya adalah Transparency International dan ICW, menyebut ada beberapa persoalan yang terjadi dalam penyaluran bansos Covid-19.
Selain masalah pendataan, mereka juga menemukan potensi korupsi pengadaan barang dan jasa. Tak terkecuali, kasus korupsi bansos yang dilakukan Menteri Juliari P. Batubara.
“Inventarisir ICW atas penindakan kasus korupsi sepanjang tahun 2020 juga menemukan bahwa Kepolisian di 21 daerah sedikitnya menangani 107 kasus korupsi terkait dengan bansos pandemi Covid-19. Data tersebut cukup menggambarkan betapa program bansos rentan dikorupsi, terlebih lagi dari aspek pengadaan darurat yang semakin membuka peluang adanya kongkalikong antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau pihak lain di suatu instansi yang melakukan pengadaan dengan penyedia,” begitu bunyi salah satu kalimat dalam kajiannya.
Masalah lainnya adalah distribusi bansos. Hasil kajian jaringan masyarakat sipil itu menyebutkan “banyak masyarakat tak tahu, berapa seharusnya nominal bansos yang mereka terima atau apa saja rincian sembako yang menjadi hak mereka. Alhasil, masyarakat juga kesulitan dalam memeriksa, apakah bansos yang diterimanya sudah sesuai atau tidak.”
Peneliti Transparency International Indonesia, Agus Sarwono, menyoroti pungutan liar setelah penerima bantuan mencairkan uangnya,
“Jadi tidak dipotong di awal, tapi modusnya ketika cair. Jadi ada ‘jasa’. Ketika cair ada kutipan Rp20.000-100.000 di dalam distribusi bantuan sosial tunai. Sementara bantuan untuk usaha mikro, modusnya adalah percaloan dalam kepengurusan izin mikro kecil di UMK, itu antara Rp300.000-Rp500.000,” kata Agus.
Masalah lainnya adalah terkait sosialisasi penyaluran bansos yang terkait dengan pengaduan dan transparansi data.