Suara.com - Kasus mutilasi warga sipil di Mimika, Papua yang diduga dilakukan anggota TNI disebut Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memperlihatkan kesewenangan aparat lewat pendekatan militer di Papua.
"Melalui peristiwa ini, tentunya memperlihatkan bahwa lagi-lagi kesewenang-wenangan militer terjadi akibat pendekatan militeristik oleh pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua," kata Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldy lewat keterangan tertulisnya kepada Suara.com, Jumat (2/9/2022).
Andi menyebut kasus mutilasi empat warga sipil itu telah mengakibatkan pelanggaran HAM yang sangat Fundamental.
"Yakni hak untuk hidup dalam kasus ini, yang sesungguhnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pelanggaran instrumen yang kami maksud mulai dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia hingga Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik," jelas Andy.
KontraS pun mendesak agar para terduga pelaku tidak diadili secara militer, melainkan pidana umum.
"Sebab tindakan para terduga pelaku merupakan pelanggaran hukum pidana," ujar Andy.
"Apabila proses hukum melalui mekanisme peradilan militer terhadap sejumlah prajurit TNI tetap dilaksanakan, maka menurut kami akan memberikan ruang ketidakadilan bagi keluarga korban. Sebab selama ini proses peradilan militer cenderung tertutup dan kerap kali terjadi praktik impunitas," sambungnya.
Berikut empat desakan KontraS terkait kasus kekerasan aparat yang terjadi di Papua;
Pertama, Presiden menghentikan pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Sebab, pendekatan keamanan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan masalah dan justru berakibat pada masifnya berbagai peristiwa pelanggaran HAM;
Baca Juga: Menhan Prabowo dan Jenderal Andika Akan Dimintai Penjelasan Soal Kasus Mutilasi
Kedua, Polda Papua segera melakukan proses penyelidikan dan penyidikan dalam peristiwa ini secara tuntas, tidak terkecuali kepada para prajurit TNI yang terlibat. Serta memberikan akses hukum dan informasi seluas-luasnya kepada keluarga korban terkait proses hukum yang sedang berjalan;