Suara.com - Drama rekayasa pembunuhan Brigadir Nofriansyah Hutabarat alias Brigadir J memasuki babak baru. Kepolisian Indonesia tidak menahan Putri Candrawathi, istri eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan, Irjen Ferdy Sambo.
Padahal, bersama suaminya, Putri ikut disangkakan terlibat pembunuhan berencana Brigadir J dan terancam hukuman di atas lima tahun penjara. Pihak kepolisian beralasan Putri masih memiliki anak berusia 1,5 tahun.
Hal ini menuai kritik publik yang menganggap adanya perlakuan khusus bagi Putri Candrawathi. Di media sosial, warganet membandingkan nasib Putri dengan sejumlah perempuan yang ditahan sehingga harus berpisah dengan anak balita mereka.
Komnas Perempuan menyerukan agar kepolisian memiliki standar dalam menangani kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Baca Juga: Polisi Tak Tahan Putri Candrawathi, Pakar Hukum Pidana: Tidak Akan Kurangi Hukuman
Baca Juga:
- 'Konsorsium 303 Kaisar Sambo', polisi klaim mulai mengusut dengan libatkan Divisi Propam dan PPATK
- Kasus Ferdy Sambo: Kewenangan Divisi Propam bakal 'dipreteli karena dianggap sangat berkuasa dan cenderung korup'
- Kasus Ferdy Sambo, Kapolri akan beri penjelasan kepada DPR terkait perkara dugaan pembunuhan berencana Brigadir J
Langkah hukum yang diambil kepolisian untuk tidak menahan Putri Candrawathi telah membangkitkan ingatan Baiq Nuril saat ia harus dipisahkan dengan anaknya yang masih berusia 2,5 tahun.
“Dulu saya punya anak kecil, bahkan dia yang antar saya ke Polres. Tapi kok di depan anak saya, saya ditahan. Sedangkan ini, kok bisa ya?” kata Baiq Nuril bertanya-tanya saat tahu Putri Candrawathi tidak ditahan polisi.
Nama Baiq Nuril menjadi sorotan media pada periode 2017 – 2019. Guru honorer SMAN 7, Nusa Tenggara Barat ini ditahan polisi setelah mengungkap kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolahnya.
Polisi menggunakan UU ITE – peraturan yang kontroversial – untuk menjerat Baiq Nuril dengan tuduhan menyebarluaskan rekaman elektronik yang bermuatan asusila.
Baca Juga: Tersangka Putri Candrawathi Tidak Ditahan, Netizen: Keadilan Bagi Rakyat Indonesia Tapi Bohong
“Saya ditahan dua bulan tiga hari,” katanya.
Baiq Nuril kemudian dibebaskan dari penjara setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan keputusan amnesti pada Juli 2019 di tengah kecaman dari publik kasus ini harus dihentikan.
Baiq Nuril membandingkan proses hukum yang dialaminya dengan Putri Candrawathi, “sangat-sangat tidak adil”.
“Putri kan istri seorang Irjen, kok bisa-bisanya tidak ditahan? Padahal kasusnya itu pembunuhan loh. Sedangkan saya, hanya ecek-ecek. Saya marah terutama sama polisi. Kok bisa ya?” kata Baiq Nuril terbata-bata.
Saat menjalani kasusnya dulu, Baiq Nuril sempat mengajukan penangguhan penahanan karena harus merawat seorang anak balita serta dua anak yang masih sekolah. Sebab, suaminya bekerja di luar pulau.
“Tapi mereka [polisi] tidak respons waktu itu. Sama sekali tidak ada,” katanya.
Alasan serupa juga digunakan Putri Candrawathi. Bedanya, permohonan penangguhan Putri Candrawathi mendapat sambutan baik dari kepolisian sementara Baiq Nuril "tidak ada respon”.
"Saya berharap… kalau ada perempuan yang berhadapan dengan hukum diperlakukan dengan sama. Jangan memandang beda-beda,” kata Baiq Nuril.
Wajib lapor
Dalam keterangannya, kepolisian tidak menahan Putri Candrawathi salah satunya karena ia masih memiliki anak berusia 1,5 tahun.
"Pertama alasan kesehatan, yang kedua kemanusiaan, yang ketiga masih memiliki balita,” kata Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol Agung Budi Maryoto kepada media, Kamis (01/09).
Selain itu, kepolisian juga mengklaim telah mengeluarkan surat pencegahan Putri Candrawathi ke luar negeri, dan melakukan wajib lapor.
"Dan, pengacara menyanggupi Ibu PC akan koperatif. Jadi itu pertimbangannya,” tambah Agung.
Namun langkah ini telah menuai kritik publik. Di media sosial, sejumlah warganet membandingkan perlakuan khusus kepada Putri Candrawathi dengan perempuan-perempuan lainnya yang tetap ditahan polisi meski punya anak bayi.
BBC juga pernah menurunkan laporan di mana sejumlah ibu terpaksa membawa anak-anak mereka ke dalam tahanan dalam kasus pelemparan atap seng pabrik rokok di Lombok Tengah, NTB.
Artis Vanessa Angel bahkan dilaporkan memompa ASI di dalam penjara untuk membei asupan tiap hari pada anaknya yang belum genap berusia satu tahun, seperti dilaporkan Kompas.com. Kemudian, artis Zarima yang melahirkan anak di dalam penjara.
Baca juga:
Subjektivitas polisi timbulkan kecemburuan
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) penyidik kepolisian berwenang menahan tersangka dengan ketentuan tindak pidana tersebut memiliki ancaman penjara di atas lima tahun.
Syarat ini sudah terpenuhi terhadap tersangka Putri Candrawathi yang terancam pidana penjara maksimal 20 tahun karena terlibat tuduhan pembunuhan berencana.
Penahanan terhadap tersangka selama proses penyidikan, dilakukan agar tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 KUHAP).
Namun, dalam kasus Putri Candrawathi, kepolisian tidak menahannya dengan pertimbangan subjektif bahwa tersangka tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatan perbuatannya.
“Ruang subjektif inilah yang membawa kita kepada perbandingan-perbandingan di kasus yang lain. Sehingga kita melihat disparitas perlakuan… sehingga terlihat keberpihakannya ke siapa kepada siapa,” kata Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani.
Dalam kasus-kasus pada perempuan lain yang kini muncul di media-media, penyidik kepolisian tetap menahan tersangka meskipun belum tentu bisa melarikan diri, merusak barang bukti atau mengulangi perbuatannya.
“Syarat subjektif ini membuka ruang diskresi tanpa batas bagi penyidik, karena tidak ada indikator yang jelas selain tiga hal tadi… Jadi ruang itulah yang jadi samudera luas bagi penyidik untuk berselancar,” tambah Julius.
Julius mengkritik status penahanan Putri Candrawathi yang menurutnya tidak memiliki kepastian hukum. Semestinya, kata dia, kepolisian menjelaskan statusnya sebagai tahanan rumah tahanan (rutan), tahanan rumah atau tahanan kota seperti yang dijelaskan dalam Pasal 22 KUHAP.
“Penangguhan penahanan itu sifatnya post factum… Jadi dia dilakukan penahan dulu, baru diajukan penangguhan. Nah pertanyaannya kemarin dia dijelaskan nggak dia dikenakan penahan dan penahanan apa?” kata Julius.
BBC mengonfirmasi hal ini ke Kadiv Humas Mabes Polri, Dedi Prasetyo.
Dalam keterangan tertulis ia mengatakan, keterangan dari Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol, Agung Budi Maryoto, sebelumnya “sudah cukup”.
Dedi juga merujuk pada rekomendasi Komnas Perempuan dalam penanganan kasus yang melibatkan Putri Candrawathi.
Jadi standar kepolisian
Anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan perlakuan terhadap Putri Cendrawathi yang tidak ditahan karena memiliki anak balita, semestinya juga dilakukan dalam kasus-kasus lain ketika perempuan berhadapan dengan hukum.
"Ketika ada perempuan yang sedang memiliki hak maternitas, seperti sedang hamil, sedang menyusui, memiliki balita, Komnas Perempuan akan selalu merekomendasikan untuk tidak melakukan penahanan,” kata Siti Aminah.
Siti Aminah bilang, sejauh ini kepolisian masih belum memiliki standar memperlakukan perempuan yang berhadapan dengan hukum dalam proses penyidikan.
Di sejumlah kasus, polisi langsung menahan tersangka tanpa mempertimbangkan aspek psikologis maupun hak maternitasnya.
"Kepolisian harus punya standar kapan perempuan yang berhadapan dengan hukum itu, boleh dilakukan penahanan. Penahanan berbasis rumah tahanan itu adalah pilihan terakhir… Dan, ini kita harapkan pula dilakukan bukan hanya di kasus PC tapi di kasus-kasus yang lain,” kata Siti Aminah.