Suara.com - Pembunuhan berencana terhadap Brigadir J tidak hanya melanggar hak-haknya sebagai korban yang nyawanya hilang. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyebut terdapat hak dari anak terduga pelaku, Ferdy Sambo yang dilanggar.
Dalam kasus ini, Ferdy Sambo menjadi tersangka, sebagai aktor utama yang memerintahkan penembakan ke Brigadir J. Istrinya Putri Candrawathi juga ditetapkan sebagai tersangka.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik maupun mental dijamin dalam Pasal 52 dan 58 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Kemudian dijamin juga di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Baca Juga: Jefri Nichol Sebut Anak Ferdy Sambo Ribut di Kelab Malam, Kini Minta Maaf
"Faktanya, akibat dari peristiwa kematian Brigadir J, terjadi pelanggaran hak anak khususnya hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan psikis/mental terhadap anak-anak dari saudara FS (Ferdy Sambo) dan saudari PC (Putri)," kata Beka saat konferensi pers di kantornya di Jakarta, Kamis (1/9/2022).
Sementara untuk pelanggaran HAM lainya dalam kasus ini di antaranya, pelanggaran atas hak hidup.
"Terdapat pelanggaran hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Faktanya, terdapat pembunuhan terhadap Brigadir J yang terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022 di Rumah Dinas Eks Kadiv Propam Polri," kata Beka.
Kemudian pelanggaran atas hak memperoleh keadilan. Hal itu dijamin dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
"Brigadir J yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap saudari PC (Putri, istri Ferdy Sambo) telah ‘dieksekusi’ tanpa melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan seterusnya (fair trial). Selain itu, terhadap Sdri. PC terhambat kebebasannya untuk melaporkan kejadian dugaan kekerasan seksual yang dialaminya ke kepolisian tanpa intervensi siapapun," kata Beka memaparkan.
Baca Juga: Ralat Salah Ucap Anak Ferdy Sambo Ribut di Club, Jefri Nichol Beri Jawaban Tegas Soal Teror
Komnas HAM menemukan adanya obstruction of justice atau upaya penghalangan proses hukum. Hal ini masuk dalam kategori pelanggaran HAM.
"Berdasarkan fakta yang ditemukan, terdapat tindakan-tindakan yang diduga merupakan obstruction of justice dalam peristiwa penembakan Brigadir J tersebut," ujar Beka.
Tindakan yang dimaksud antara lain, pertama, sengaja menyembunyikan dan/atau melenyapkan barang bukti disaat sebelum atau sesudah proses hukum. Kedua, sengaja melakukan pengaburan fakta.
"Peristiwa tindakan obstruction of justice tersebut berimplikasi pemenuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang merupakan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam hukum nasional maupun internasional," ujar Beka.
Di samping adanya pelanggaran HAM, Komnas HAM juga menyampaikan sejumlah kesimpulannya, di antaranya,
1. Telah terjadi peristiwa kematian Brigadir J pada 8 Juli 2022 di rumah dinas eks Kadiv Propam di Duren Tiga Nomor 46 Jakarta Selatan.
2. Peristiwa pembunuhan Brigadir J dikategorikan sebagai tindakan Extra Judicial Killing.
3. Berdasarkan hasil autopsi pertama dan kedua ditemukan fakta tidak adanya penyiksaan terhadap Brigadir J, melainkan luka tembak.
4. Terdapat dugaan kuat terjadinya peristiwa Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Sdri. PC di Magelang tanggal 7 Juli 2022.
5. Terjadinya Obstruction of Justice dalam penanganan dan pengungkapan peristiwa kematian Brigadir J.
Adapun rekomendasi Komnas HAM sebagai berikut,
1. Meminta kepada Penyidik untuk menindaklanjuti temuan fakta peristiwa oleh Komnas HAM RI dalam proses penegakan hukum dan memastikan proses tersebut berjalan imparsial, bebas intervensi, transparan serta akuntabel berbasis scientific investigation.
2. Menindaklanjuti pemeriksaan dugaan kekerasan seksual terhadap Sdri. PC di Magelang dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kondisi kerentanan-kerentanan khusus.
3. Memastikan penegakan hukumnya tidak hanya sebatas pelanggaran disiplin atau kode etik, tapi juga dugaan tindak pidana dan tidak hanya terhadap terduga pelakunya saja tapi juga semua pihak yang terlibat baik dalam kapasitas membantu maupun turut serta.
4. Meminta kepada Inspektorat Khusus untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik setiap anggota kepolisian yang terlibat dan menjatuhkan sanksi kepada anggota kepolisian yang terbukti melakukan Obstruction Of Justice dalam penanganan dan pengungkapan peristiwa kematian Brigadir J sesuai dengan Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
• Sanksi Pidana dan Pemecatan kepada semua anggota kepolisian yang terbukti bertanggung jawab, memerintahkan berdasarkan kewenangannya membuat skenario, mengonsolidasikan personil kepolisian dan merusak serta menghilangkan barang bukti terkait peristiwa kematian Brigadir J.
• Sanksi Etik Berat/Kelembagaan kepada semua anggota kepolisian yang terbukti berkontribusi dan mengetahui terjadinya obstruction of justice terkait peristiwa kematian Brigadir J.
• Sanksi Etik Ringan/Kepribadian kepada semua anggota kepolisian yang menjalankan perintah atasan tanpa mengetahui adanya substansi peristiwa dan/atau obstruction of justice.
5. Menguatkan kelembagaan UPPA menjadi direktorat agar dapat menjadi lebih independen dan profesional dalam penanganan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual.
6. Mengadopsi praktik baik dalam penanganan pelaporan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap Sdri. PC pada kasus lain perempuan berhadapan dengan hukum.
7. Meminta kepada Kapolri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penanganan perkara hukum yang melibatkan pejabat utama kepolisian serta membangun standar pelibatan Lembaga pengawas eksternal kepolisian.
8. Melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh anggota kepolisian negara Republik Indonesia agar dalam menjalankan kewenangannya untuk tetap patuh pada ketentuan Perundang-undangan yang berlaku serta memegang teguh prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta memenuhi azas keadilan dan sesuai dengan standar hak asasi manusia sebagai upaya penjaminan peristiwa yang sama tidak berulang kembali.