Suara.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap sejumlah pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Pelanggaran tersebut mulai dari hak hidup hingga hak anak. Temuan pelanggaran ditemukan dari hasil penyelidikannya.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyebut, dibunuhnya Brigadir J atas perintah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo masuk dalam kategori pelanggaran atas hak hidup.
"Terdapat pelanggaran hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Faktanya, terdapat pembunuhan terhadap Brigadir J yang terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022 di Rumah Dinas Eks Kadiv Propam Polri," kata Beka saat konferensi pers di Komnas HAM, Jakarta pada Kamis (1/9/2022).
Kemudian pelanggaran atas hak memperoleh keadilan. Hal dijamin dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
Baca Juga: Ngaku Diancam Brigadir J Setelah Dilecehkan di Magelang, Istri Ferdy Sambo Ketakutan
"Brigadir J yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap saudari PC (Putri, istri Ferdy Sambo) telah ‘dieksekusi’ tanpa melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan seterusnya (fair trial). Selain itu, terhadap Sdri. PC terhambat kebebasanya untuk melaporkan kejadian dugaan kekerasan seksual yang dialaminya ke kepolisian tanpa intervensi siapapun," kata Beka memaparkan.
Komnas HAM menemukan adanya obstruction of justice atau upaya penghalangan proses hukum. Hal ini masuk dalam kategori pelanggaran HAM.
"Berdasarkan fakta yang ditemukan, terdapat tindakan-tindakan yang diduga merupakan obstruction of justice dalam peristiwa penembakan Brigadir J tersebut," ujar Beka.
Tindakan yang dimaksud antara lain, pertama, sengaja menyembunyikan dan/atau melenyapkan barang bukti disaat sebelum atau sesudah proses hukum. Kedua, sengaja melakukan pengaburan fakta.
"Peristiwa tindakan obstruction of justice tersebut berimplikasi pemenuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang merupakan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam hukum nasional maupun internasional," ujar Beka.
Baca Juga: TKP Rusak, Komnas HAM Sebut Banyak Ditemukan Obstruction of Justice di Kasus Brigadir J
Tak hanya itu, ditemukan juga pelanggaran hak anak. Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo dan istrinya Putri telah berstatus tersangka bersama tiga orang lainnya. Akibatnya anak mereka mendapat perundungan.
"Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik maupun mental dijamin dalam Pasal 52 dan 58 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," jelas Beka.
"Faktanya, akibat dari peristiwa kematian Brigadir J, terjadi pelanggaran hak anak khususnya hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan psikis/mental terhadap anak-anak dari saudara FS (Ferdy Sambo) dan saudari PC (Putri)," sambung Beka.
Selain adanya pelanggaran HAM, Komnas HAM juga menyampaikan sejumlah kesimpulannya yakni;
- Telah terjadi peristiwa kematian Brigadir J pada 8 Juli 2022 di rumah dinas eks Kadiv Propam di Duren Tiga Nomor 46 Jakarta Selatan.
- Peristiwa pembunuhan Brigadir J dikategorikan sebagai tindakan Extra Judicial Killing.
- Berdasarkan hasil autopsi pertama dan kedua ditemukan fakta tidak adanya penyiksaan terhadap Brigadir J, melainkan luka tembak.
- Terdapat dugaan kuat terjadinya peristiwa Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Sdri. PC di Magelang tanggal 7 Juli 2022.
- Terjadinya obstruction of justice dalam penanganan dan pengungkapan peristiwa kematian Brigadir J.
Adapun rekomendasi Komnas HAM sebagai berikut,
- Meminta kepada Penyidik untuk menindaklanjuti temuan fakta peristiwa oleh Komnas HAM RI dalam proses penegakan hukum dan memastikan proses tersebut berjalan imparsial, bebas intervensi, transparan serta akuntabel berbasis scientific investigation.
- Menindaklanjuti pemeriksaan dugaan kekerasan seksual terhadap Sdri. PC di Magelang dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kondisi kerentanan-kerentanan khusus.
- Memastikan penegakan hukumnya tidak hanya sebatas pelanggaran disiplin atau kode etik, tapi juga dugaan tindak pidana dan tidak hanya terhadap terduga pelakunya saja tapi juga semua pihak yang terlibat baik dalam kapasitas membantu maupun turut serta.
- Meminta kepada Inspektorat Khusus untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik setiap anggota kepolisian yang terlibat dan menjatuhkan sanksi kepada anggota kepolisian yang terbukti melakukan obstruction of justice dalam penanganan dan pengungkapan peristiwa kematian Brigadir J sesuai dengan Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Sanksi Pidana dan Pemecatan kepada semua anggota kepolisian yang terbukti bertanggung jawab, memerintahkan berdasarkan kewenangannya membuat skenario, mengonsolidasikan personil kepolisian dan merusak serta menghilangkan barang bukti terkait peristiwa kematian Brigadir J.
- Sanksi Etik Berat/Kelembagaan kepada semua anggota kepolisian yang terbukti berkontribusi dan mengetahui terjadinya obstruction of justice terkait peristiwa kematian Brigadir J.
- Sanksi Etik Ringan/Kepribadian kepada semua anggota kepolisian yang menjalankan perintah atasan tanpa mengetahui adanya substansi peristiwa dan/atau obstruction of justice.
- Menguatkan kelembagaan UPPA menjadi direktorat agar dapat menjadi lebih independen dan profesional dalam penanganan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual.
- Mengadopsi praktik baik dalam penanganan pelaporan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap Sdri. PC pada kasus lain perempuan berhadapan dengan hukum.
- Meminta kepada Kapolri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penanganan perkara hukum yang melibatkan pejabat utama kepolisian serta membangun standar pelibatan Lembaga pengawas eksternal kepolisian.
- Melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh anggota kepolisian negara Republik Indonesia agar dalam menjalankan kewenangannya untuk tetap patuh pada ketentuan Perundang-undangan yang berlaku serta memegang teguh prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta memenuhi azas keadilan dan sesuai dengan standar hak asasi manusia sebagai upaya penjaminan peristiwa yang sama tidak berulang kembali.