Suara.com - Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda sepakat melakukan revisi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Menurut Huda, memang banyak hal yang perlu diperbaiki dalam revisi ke depan.
"Banyak hal menurut saya yang perlu diperbaiki," kata Huda di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Kamis (1/9/2022).
Selain ada hal-hal yang perlu diperbaiki, Huda menilai perlu ada pembaruan di dalam sisdiknas. Menurutnya hal yang penting dilakukan pembaruan ialah masa waktu wajib belajar pendidikan dasar atau wajardiknas. Ia mengusulkan, wajardiknas dibuat menjadi 18 tahun dari sebelumnya hanya 13 tahun.
Baca Juga: Banyak Penolakan dari Kelompok Sipil, Komisi X DPR Usul Bentuk Pokja RUU Sisdiknas
"Saya termasuk yang akan mendorong wajardiknas 18 tahun misalnya. Ini baru ada kompromi 13 tahun, saya maunya 18 tahun. Artinya sejak PAUD, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi wajib pemerintah menanggung semuanya, gratis," kata Huda.
Dengan perhitungan alokasi dana pendidikan dari APBN, Huda meyakini wajardiknas 18 tahun bisa dibuat gratis atau cuma-cuma untuk masyarakat. Sebab biaya pendidikan tersebut akan ditanggung negara.
"Apakah mungkin? Mungkin. 20 persen anggaran kita sangat mungkin untuk itu. Cuma sekarang belum sepenuhnya untuk fungsi pendidikan, akhirnya gak bisa," kata Huda.
Sebelumnya, Huda mengusulkan pembentukan kelompok kerja atau Pokja Nasional terkait revisi Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Inisiasi pembentukan pokja tersebut untuk mengakomadsi pendapat dari berbagai kalangan dan masyarakat, yang kekinian cenderung menolak revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Adapun usulan Huda disampaikan usai menerima audensi dari peserta aksi terkait UU Sisdiknas di depan gedung DPR.
Huda sendiri mengatakan bahwa pihaknya sepakat untuk merevisi UU Sisdiknas, mengungat dinamika pengelolaan pendidikan nasional yang sudah jauh berubah sejak UU Sisdiknas pertama kali dibuat, 20 tahun lalu.
"Kendati demikian harus dibuka ruang dialog yang lebih transparan mengingat banyaknya penolakan dari kelompok masyarakat sipil. Maka saya menginisiasi adanya Kelompok Kerja (Pokja) Nasional RUU Sisdiknas ini,” kata Huda di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (1/9/2022).
Huda menegaskan adanya penolakan atas draf RUU Sisdiknas yang disusun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi harus diserap senagai aspirasi. Ia berujar aspirasi-aspirasi tersebut harus didengar dan dipertimbangkan dalam penyusunan dan pembahasan draf RUU Sisdiknas.
Dengan begitu diharapkan revisi tersebut dapat benar-benar menjadi payung hukum bagi terciptanya ekosistem pendidikan nasional yang sesuai.
"Apalagi suara-suara tersebut disampaikan oleh lembaga-lembaga yang selama ini terlibat aktif dalam pengelolaan pendidikan nasional seperti PGRI, P2G, Muhammadiyah, pemerhati pendidikan, hingga para guru besar," ujar Huda.
Menurut Huda, sejauh ini Kemendikbud Ristek memang terkesan berjalan sendiri dan tidak membuka ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan draf RUU Sisdiknas. Hal itu ia katakan menanggapi adanya kritikan dan penilaian adanya kelemahan aspek prosedural dan materi di RUU Sisdiknas.
"Pakar-pakar yang diundang sebagian besar mengaku hanya disuruh mendengarkan poin-poin dalam draf RUU Sisdiknas sehingga kesannya Kemendikbud Ristek hanya sosialisasi saja. Di samping itu memang belum ada grand desain pendidikan yang disepakati sebagai pijakan dalam pembentukan UU. Hal inilah yang dianggap kelemahan dari sisi prosedur penyusunan draf RUU Sisdiknas," ujar Huda.
Huda sekaligus mengkhawatirkan akan munculnya kastanasisasi pendidikan dengan adanya jalur baru persekolahan mandiri yang dilegitimasi di level UU, ketidakjelasan peran lembaga pendidikan tenaga kependidikan hingga polemik penghapusan tunjangan profesi guru.
Huda menegaskan semua hal yang terdapat di sisi konten atau materi RUU Sisdiknas itu harus dijawab secara seksama oleh pemerintah.
"Kekhawatiran ini bisa jadi karena minimnya dialog antara Kemendikbud Ristek dengan publik. Bisa jadi antara maksud perancang RUU Sisdiknas dengan publik ada gap yang memicu miss persepsi. Maka sekali lagi perlu ruang dialogis yang lebih luas," kata Huda.
Untuk menyerap semua aspirasi termasuk pihak yang kontra dengan RUU Sisdiknas, Huda mengatakan bahwa Kemendikbud Ristek tidak cukup hanya memberikan solusi lewat situs sosialisasi serta penampung keluhan dan masukan publik.
Karena itu, ia mengusulkan pembentukan Pokja Nasional RUU Sisdiknas agar dapat memfasilitasi pertemuan-pertemuan fisik antara stake holder pendidikan di Indonesia sehingga mereka bisa berdialog membahas format ideal UU Sisdiknas.
"Maka kami berharap Pokja Nasional RUU Sisdiknas ini bisa menjadi ruang dialog para stake holder pendidikan sehingga revisi RUU Sisdiknas benar-benar merupakan bentuk pertemuan ide, gagasan, dan harapan akan terbentuknya sistem pendidikan nasional terbaik yang kita impikan bersama," kata Huda.