Suara.com - Stephanie Hegarty
Wartawan isu kependudukan, BBC World Service
Harga makanan kini menjadi sangat mahal dan terkadang langka didapat di seluruh dunia.
Masyarakat di berbagai belahan dunia harus beradaptasi dengan keadaan baru ini dan terkadang mengubah apa yang mereka makan.
Baca Juga: Menko Airlangga Klaim Harga Pangan Stabil, Harga Beras Masih Rp 10 Ribu
Berlari larut malam ke swalayan di AS
Saat itu pukul empat pagi dan udara terasa lengket karena hangatnya musim panas di Georgia, Amerika Serikat, ketika Donna Martin tiba di tempat kerja.
Hari demi hari adalah sebuah pertarungan untuk memberi makan anak-anak di distrik sekolahnya.
Martin adalah direktur layanan makanan yang bertanggung jawab atas 4.200 anak, yang semuanya mengikuti program makanan sekolah gratis federal.
"Kami memiliki dua toko bahan pokok di seluruh komunitas kami yang berjumlah 22.000 orang," katanya.
"Ini benar-benar seperti gurun makanan."
Baca Juga: Harga Pangan Tinggi, Bos BI Sebut Inflasi Indonesia Bakal Lebihi Target 3%
Dan, dalam setahun terakhir, Martin berjuang untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan.
Baca juga:
- Penghargaan swasembada beras untuk Presiden Jokowi, 'tanpa sentuh kesejahteraan petani'
- Ratusan warga di pegunungan Papua hadapi wabah kelaparan, mengapa krisis pangan terus berulang di provinsi ini?
- Bagaimana invasi Rusia ke Ukraina bisa sebabkan harga roti naik, buat Afrika dan Timur Tengah resah
Inflasi makanan tahunan menyentuh puncak pada Juli 2022, tertinggi sejak 1979.
Ketika harga melonjak, beberapa distributor makanan, kata Martin, tidak lagi tertarik untuk memasok bahan pokok ke sekolah.
"Mereka memberi tahu saya: 'Kalian semua sangat pilih-pilih, dan marginnya [keuntungan] tidak ada,'" katanya.
Program makanan sekolah federal di AS diatur secara ketat.
Setiap produk seperti remah roti pada nugget ayam berasal gandum utuh dan makanan harus rendah gula dan garam.
Jadi, Martin harus mencari jenis-jenis makanan tertentu, mulai dari sereal hingga bagel atau yoghurt.
Dia menyadari bahwa pemasok bahan pokok juga sedang berjuang.
Kekurangan tenaga kerja yang kronis menyebabkan distributor tidak dapat menemukan pengemudi dan harga bahan bakar telah meningkat sebesar 60% sejak tahun lalu.
- Inflasi makanan tahunan di AS mencapai 10,9% di bulan Juli
- Orang Amerika menghabiskan 7,1% dari pendapatan mereka untuk makanan (USDA 2021)
Ketika pemasok tidak memberikan yang dibutuhkan, Martin harus punya banyak akal.
Baru-baru ini Martin tidak bisa mendapatkan selai kacang yang disukai anak-anak, jadi dia menggantinya dengan saus celup kacang.
"Saya tahu anak-anak tidak akan menyukainya, tetapi saya harus memberi mereka makan," katanya.
Sering kali dia dan stafnya harus menghabiskan waktu dari pagi hingga larut malam untuk "merampok" makanan dari rak-rak toko lokal seperti Walmart. "Setiap hari selama seminggu kami harus membeli yoghurt di seluruh kota. "Ada banyak anak yang sangat bersemangat untuk kembali ke sekolah dan saya tidak ingin mereka berkata: 'Ibu, kami tidak mendapatkan minuman smoothie hari ini.'"
Buah nangka selamatkan Sri Lanka dari kelaparan
Di suatu tempat yang dulunya merupakan sawah di luar Kandy, Sri Lanka tengah, Anoma Kumari Paranathala memetik kacang hijau dan daun mint segar dari kebun sayurnya.
Dari sini, sulit untuk membayangkan terjadi kekacauan di tempat lain di negara ini, ketika pemerintah dan ekonomi runtuh.
Terjadi kelangkaan atas semua kebutuhan - obat-obatan, bahan bakar dan makanan.
Bahkan orang-orang dengan pekerjaan bagus pun berjuang untuk membeli kebutuhan dasar.
"Sekarang orang khawatir tentang masa depan mereka," kata Paranathala. "Mereka takut tidak ada yang bisa dimakan."
Tanah itu milik keluarganya. Mereka mulai menanam selama pandemi hanya untuk bersenang-senang - sekarang menjadi tulang punggung untuk bertahan hidup.
- Inflasi makanan tahunan di Sri Lanka mencapai 75,8% di bulan Juni
- Warga Sri Lanka menghabiskan 29,6% dari pendapatan mereka untuk makanan
Paranthala belajar otodidak cara menanam sayuran dari buku dan video di YouTube.
Sekarang dia memiliki tomat, bayam, labu, akar talas dan ubi jalar di kebunnya.
Tidak semua orang cukup beruntung memiliki sebidang tanah yang luas, tetapi banyak orang Sri Lanka beralih ke sumber makanan lain - pohon nangka.
"Di setiap kebun, ada pohon nangka," kata Paranathala.
"Tetapi sampai baru-baru ini, orang tidak memperhatikan nangka. Mereka hanya jatuh dari pohon dan terbuang sia-sia."
Dari hasil kebun, dia sudah mulai membuat kari kelapa kental dengan buah nangka, menggantikan sayuran yang sekarang mahal untuk dibeli, atau daging.
Nangka juga sekarang muncul di makanan kottu - hidangan tumis populer yang dijual sebagai makanan jalanan.
Beberapa orang menggiling biji nangka untuk membuat tepung roti dan kue.
Nangka telah muncul di menu restoran-restoran trendi di seluruh dunia sebagai pengganti daging sejak beberapa tahun yang lalu.
Tetapi di Sri Langka, dibutuhkan krisis besar untuk membuatnya populer di sini, di mana tanaman ini tumbuh.
Lalu, seperti apa rasa buahnya?
"Ini adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan," katanya. "Ini surgawi."
Toko roti di Nigeria 'akan punah'
Biasanya, Emmanuel Onuorah tidak tertarik dengan perkembangan politik di negaranya - dia adalah seorang pembuat roti dan hanya ingin menjual roti.
Namun baru-baru ini di Nigeria, pekerjaannya hampir tidak mungkin dilakukan.
"Dalam setahun terakhir, tepung terigu naik lebih dari 200%, gula naik hampir 150%, telur yang kita gunakan untuk memanggang naik sekitar 120%," katanya.
"Kami sedang merugi," katanya.
Dia harus memberhentikan 305 dari 350 stafnya. "Bagaimana mereka akan memberi makan keluarga mereka?"
Sebagai presiden Asosiasi Pembuat Roti Premium Nigeria, dia berada di pusat gerakan.
Pada bulan Juli, dia mengumpulkan hampir setengah juta pembuat roti untuk menutup pintu mereka selama empat hari dalam sebuah tindakan "penghentian layanan".
Melalui aksi itu, dia berharap pemerintah memperhatikan dan mengurangi pajak atas produk yang diimpor.
Kombinasi dari hasil panen yang buruk dan peningkatan permintaan setelah pandemi menyebabkan harga gandum dan minyak nabati melonjak di seluruh dunia.
Invasi Ukraina memperburuk keadaan.
Di Nigeria, sebagian besar bahan pembuatan roti berasal dari impor. Tetapi sepotong roti dijual dengan harga yang lebih rendah dari Eropa sehingga jauh lebih sulit untuk menyerap kenaikan harga.
- Inflasi makanan tahunan di Nigeria mencapai 22% di bulan Juli
- Orang Nigeria menghabiskan 59,1% dari pendapatan mereka untuk makanan
Negara ini juga memiliki pasokan listrik publik yang tidak menentu, sehingga sebagian besar bisnis menggunakan generator pribadi berbahan bakar solar.
Harga bahan bakar minyak meningkat hingga 30%.
Nigeria sebenarnya kaya minyak, sayangnya hanya memiliki sedikit kilang bahan bakar dan harus mengimpor hampir semua solarnya.
Meskipun biayanya tiga kali lipat, Onuorah mengatakan, dia hanya bisa menaikkan harga sebesar 10-12% karena pelanggannya tidak mampu membayar lebih dari itu.
"Warga Nigeria dimiskinkan, bisnis tutup dan upah stagnan, Anda tidak bisa membebani mereka," katanya.
Rata-rata, penduduk Nigeria menghabiskan hampir 60% pendapatan mereka untuk makanan. Di AS sebaliknya, angkanya hanya sekitar 7%.
Keadaan seperti ini membuat sulit para toko roti. "Kami bukan asosiasi amal, kami berbisnis untuk mendapatkan keuntungan."
"Tapi kami terus berjalan dengan susah payah," katanya, "agar orang Nigeria bisa makan."
Panci umum yang memberi makan 75 orang di Peru
Mendaki jalan berliku-liku di atas bukit yang menghadap ke kota Lima yang berkabut, Justina Flores mencoba mencari tahu apa yang akan dia masak hari ini.
Makanan adalah masalah yang semakin sulit untuk dipecahkan setiap hari.
Pada masa puncak pandemi, Flores berkumpul 60 tetangganya mengumpulkan makanan apa pun yang dapat mereka masak.
Mayoritas penduduk San Juan de Miraflores adalah pekerja rumah tangga - juru masak, pembantu rumah tangga, pengasuh anak, dan tukang kebun - tetapi seperti Flores, sebagian besar kehilangan pekerjaan selama pandemi.
Keluarga mengalami kelaparan.
Mereka mulai memasak di panci besar di luar rumah Justina, dengan kayu yang mereka kumpulkan untuk bahan bakar.
Kemudian mereka membangun gubuk kecil dan seorang pendeta setempat menyediakan kompor.
Flores meminta para pedagang pasar untuk menyumbangkan makanan yang seharusnya terbuang sia-sia.
Dua tahun kemudian mereka memberi makan 75 orang, tiga kali seminggu.
Flores, yang bekerja sebagai asisten dapur sebelum Covid, telah menjadi pemimpin di komunitasnya.
"Saya terus mengetuk pintu, mencari dukungan."
- Inflasi makanan tahunan di Peru mencapai 11,59% di bulan Juli
- Orang Peru menghabiskan 26,6% dari pendapatan mereka untuk makanan
Sebelumnya, Flores pernah membuat semur hangat dengan daging dan sayuran, yang disajikan bersama nasi.
Tetapi dalam beberapa bulan terakhir, sumbangan makanan telah berkurang drastis dan semua jenis makanan menjadi lebih sulit didapat.
"Kami putus asa, saya harus mengurangi porsinya," kata Flores.
Dia berjuang untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti beras.
Aksi protes dan pemogokan para petani serta pekerja transportasi atas kenaikan BBM dan pupuk, April lalu, telah mengganggu pasokan makanan.
Baru-baru ini, karena kenaikan biaya, Flores harus berhenti menyajikan daging.
Dia pun menggunakan darah, hati, tulang dan ampela karena harganya terjangkau.
Kemudian, jeroan itik terlalu mahal, dan dia menggantinya dengan telur goreng.
Ketika harga minyak melonjak, dia memberi keluarga lain telur untuk dimasak di rumah. Sekarang, telur pun tidak ada.
Jadi hari ini dia menyajikan pasta dengan saus yang terbuat dari bawang dan rempah-rempah.
Flores tidak menyalahkan para petani atas pemogokan, atau kelangkaan ini.
"Kami bisa menanam pangan di Peru, tetapi pemerintah tidak membantu," katanya.
Boikot ayam di Yordania
Pada 22 Mei lalu, akun anonim yang mencuit dalam bahasa Arab meminta warganet untuk menandai gambar produk ayam dengan tagar yang menyerukan boikot atas perusahaan ayam yang tamak.
Beberapa hari kemudian di Yordania, Salam Nasralla sedang dalam perjalanan pulang dari supermarket ketika melihat kampanye itu menjadi viral.
"Kami mendengarnya dari mana-mana, semua teman dan keluarga kami membicarakannya. Itu ada di seluruh media sosial dan TV," kata Nasralla.
Perempuan itu baru saja menyadari kenaikan harga pada tagihan belanjanya sendiri.
Sebagai ibu dua anak yang rutin memasak untuk orang tua, saudari perempuan, dan para keponakan, ia membeli banyak ayam.
Dia merasa terdorong untuk ambil bagian.
Baca juga:
- Afghanistan: Musim dingin kian dekat, warga menghadapi 'neraka di Bumi' dengan bencana kelaparan mengintai
- Dampak perubahan iklim: Ribuan warga Madagaskar yang kelaparan makan daun kaktus dan serangga
- Hari Cokelat Sedunia: Apakah kudapan manis ini merugikan orang lain dan lingkungan?
Selama 10 hari dia menghindari ayam, namun itu sulit. Karena daging dan ikan juga mahal, Salam dan keluarganya makan ayam hampir setiap hari.
Mereka makan bubur hummus, gorengan falafel dari kacang atau terong goreng sebagai pengganti daging.
Dua belas hari setelah kampanye dimulai, harga ayam turun sepertiganya, hampir Rp15.000 ($1 atau 0,7 Dinar) per kilo.
- Inflasi makanan tahunan di Yordania mencapai 4,1% di bulan Juni
- Masyarakat Yordania menghabiskan 26,9% dari pendapatan mereka untuk makanan
Rami Barhoush, yang mengelola peternakan ayam, mendukung gagasan boikot tetapi menganggap cara ini salah paham.
Peternakannya telah berjuang dengan kenaikan biaya sejak awal tahun, terutama untuk bahan bakar dan pakan ayam.
Faktor-faktor global telah mendorong kenaikan harga bahan bakar dan biji-bijian - dipengaruhi faktor-faktor seperti China membangun peternakan babi besar setelah flu babi, kekeringan di Amerika Selatan dan perang di Ukraina.
Di Yordania, pemerintah mengusulkan batas harga untuk ayam, tetapi hanya beberapa untuk produk lainnya.
Peternak ayam setuju atas pembatasan harga itu sampai akhir Ramadan.
Namun pada awal Mei, mereka terpaksa menaikkan harga, menyebabkan gejolak.
Kemudian kegemparan media sosial dimulai.
"Ayam mewakili ketidaksenangan dengan semua kenaikan harga," katanya.
Nasralla merasa senang ketika protes itu memiliki dampak, tetapi ia khawatir cara itu tidak sampai ke inti masalah.
"Sayangnya petani kecil dan penjual ayam yang paling dirugikan dan bukan pedagang besar yang memberi harga tinggi pada semua kebutuhan petani."
Laporan tambahan oleh Suneth Perera, Guadalupe Pardo dan Riham Al Baqaeen