Suara.com - Pemerintah kembali berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kini yang menjadi sasaran adalah BBM bersubdisi jenis Pertalite dan Solar.
Sinyal mengenai rencana BBM naik ini telah berembus sejak beberapa pekan lalu. Presiden Joko Widodo telah beberapa kali menyatakan bahwa subsidi yang diberikan untuk BBM sudah cukup besar.
Hal tersebut membuat pemerintah tak bisa terus menerus menanggung subsidi tersebut, terlebih saat ini harga minyak mentah dunia tengah melonjak.
Apa saja fakta-fakta seputar kenaikan harga BBM bersubsidi? Berikut ulasannya.
Baca Juga: Wacana Harga BBM Naik Jangan Memicu Aksi Spekulan, Pemerintah Diminta Tetap Awas
Subsidi BBM capai Rp 502 Triliun
Suda beberapa kali Presiden Joko Widodo menyatakan subsidi yang diberikan pemerintah untuk bahan bakar minyak sudah terlampau besar.
Kini pemerintah telah memberikan subsidi untuk BBM sebesar Rp502 triliun. Menurut presiden, taka da negara manapun di belahan bumi ini yang mempu menanggung subsidi sebesar itu.
"Perlu kita ingat subsidi terhadap BBM sudah terlalu besar dari Rp170 (triliun) sekarang sudah Rp502 triliun. Negara manapun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu," kata Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Senin 1 Agustus 2022.
Presiden bandingkan harga BBM Indonesia dengan negara lain
Kenaikan harga BBM bersubsidi nampaknya suda di depan mata. Sejumlah sinyal kenaikan harga BBM telah diberikan oleh pemerintah.
Setelah menyatakan beban subsidi BBM yang diberikan pemerintah sudah terlampau tinggi, Presiden Joko Widodo juga membandingkan harga BBM di Indonesia dengan di sejumlah negara.
Menurut presiden, saat ini harga BB< di negara lain bisa mencapai Rp31 dan Rp 32 ribu per liternya. Sementara di Indonesia, harga BBM jenis Pertalite hanya dipatok dengan harga Rp 7.650 per liter.
"Kita patut bersyukur, Alhamdulilah kalau bensin di negara lain harganya sudah Rp31.000, Rp32.000. Di Indonesia Pertalilte masih harganya Rp7.650," ucap presiden.
Perkiraan harga baru BBM bersubsidi
Meski kabar harga BBM bersubsidi akan naik, hingga kini pemerintah belum juga membocorkan berapa harga baru BBM bersubsidi nantinya.
Namun di media sosial, warganet sudah mulai mengira-ngira harga baru BBM bersubsidi tersebut. Di media sosial seperti Twitter dan Instagram, warganet memperkirakan harga BBM jenis Pertalite akan naik dari harga sekarang Rp 7.650 menjadi Rp10 ribu.
Namun kabar tersebut ditepis oleh PT Pertamina. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengatakan, hingga kini Pertamina belum menerima informasi apapun mengenai harga baru BBM bersubsidi.
Menurut Irto, Pertalite dan Solar adalah jenis BBM yang harganya memang ditentukan oleh pemerintah. PT Pertamina menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada pemerintah.
Dampak jika harga BBM bersubsidi naik
Setiap kebijakan yang diambil pemerintah tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Termasuk dalam hal menaikkan harga BBM.
Menurut Anggota Komisi I DPR RI, Ahmad Muzani, jika pemerintah menaikkan harga BBM, maka akan berdampak pada inflasi.
Dan kenaikan inflasi, lanjut Muzani, akan menyebabkan harga kebutuhan pokok meningkat. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM bersubsidi akan membuat daya beli masyarakat semakin kecil.
"Tentu stabilitas harga pokok dan tidak naiknya harga BBM menjadi harapan dari setiap rakyat Indonesia. Meskipun kami menyadari bahwa anggaran subsidi BBM saat ini telah mencapai Rp502 triliun, angka tersebut jumlahnya sangat fantastis," kata Muzani di Jakarta beberapa waktu lalu.
Kalangan buruh tolak kenaikan harga BBM
Seiring dengan kenaikan harga BBM, harga kebutuhan pokok diperkirakan juga akan naik. Hal ini kemudian memicu gelombang protes dari masyarakat.
Salah satunya dari kalangan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa buruh menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.
Diantaranya adalah kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli masyarakat, sebab hal tersebut tida diimbangi dengan kenaikan upah buruh.
Alasan lainnya adalah, kenaikan harga BBM akan memicu gelombang PHK, sebagai imbas efisiensi keuangan yang dilakukan perusahaan.
Kontributor : Damayanti Kahyangan