Suara.com - Kematian Darya Dugina, yang merupakan putri dari ideolog nasionalis Rusia Alexander Dugin telah mengubah fokus perang Ukraina dari medan pertikaian ke pinggiran kota Moskow, di mana mobil Darya diledakkan dan membuatnya tewas seketika.
Dinas Keamanan Rusia mengatakan bahwa Ukraina berada di balik pembunuhan perempuan berusia 29 tahun itu.
Tersangkanya diduga seorang warga Ukraina yang mengikuti Darya ke sebuah festival di wilayah Moskow untuk melakukan serangan itu, lalu melarikan diri ke negara tetangga Estonia, sebelum bisa ditangkap.
Namun, pejabat Ukraina menertawakan teori itu dan membantah keterlibatan mereka.
Baca Juga: Mengapa Rusia Bakar Gas Alam Senilai Rp147 Miliar Setiap Hari?
Penasihat Presiden Ukraina Mykhailo Podolyak menggambarkan klaim FSB itu sebagai “propaganda Rusia dari dunia fiksi”.
Dia berkata, sebenarnya pertikaian politik di dalam negeri Rusia yang menjadi alasan penyerangan itu.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengutuk peristiwa tersebut dan menggambarkannya sebagai “kejahatan keji yang kejam”.
Putin memberi anugerah anumerta “Order of Courage” kepada Darya. Sedangkan ayahnya yang berusia 60 tahun, Alexander Dugin memberikan penghormatan kepadanya dalam sebuah upacara peringatan di Moskow pada Selasa.
“Dia mati untuk Rusia di garis depan. Dan garis depan itu ada di sini,” kata Dugin.
Baca Juga: Ukraina Sulap Jalanan Kota Kyiv Jadi Pameran Alutsista Militer Rusia yang Hancur
Siapa Darya Dugina?
Darya Dugina bukan lah nama yang terkenal di Rusia, tapi dia dan ayahnya secara signifikan muncul di media-media, menyuarakan retorika propaganda anti-Ukraina dan anti-Barat.
Ayahnya, Alexander, terkadang disebut sebagai “otak Putin”. Dia telah lama mengeskpresikan filosofi ultranasional anti-Barat yang membuatnya menjadi tokoh penting di Moskow meski tidak memegang jabatan politik.
Sebagai pendiri gerakan Eurasia, pandangannya populer di kalangan elit politik Rusia.
Poin utama dari teori geopolitik Dugin adalah misi Rusia menantang dominasi AS di dunia dengan bantuan Iran serta pihak-pihak yang skeptis terhadap Uni Eropa.
Banyak orang Rusia meyakini bahwa Alexander Dugin adalah target sesungguhnya dari serangan ini, mengingat dia berencana pergi, namun bertukar kendaraan pada menit-menit terakhir sebelum kejadian.
Darya sendiri aktif menyuarakan gagasan ayahnya. Dia sering muncul di saluran televisi dan YouTube Rusia. Selain itu, dia menulis untuk sejumlah publikasi pro-pemerintah dan aktif di media sosial.
Sejalan dengan ideologi ayahnya, Darya pernah berbicara tentang memulihkan “Ruang Hebat” Rusia di seluruh Eurasia, dimulai dengan persatuan Slavia Timur yang terdiri dari Rusia, Ukraina, dan Belarus.
Darya, yang lahir pada tahun 1992, berkuliah di jurusan filsafat Universitas Negeri Moskow yang bergengsi.
Media massa di Rusia mengutip dosen-dosennya yang mengatakan bahwa dia dikenal sebagai mahasiswa yang berbakat dan cerdas.
Pada 2012-2013, dia sempat belajar di Universitas Bordeaux III di Prancis. Saat itu dia fokus mempelajari filsuf Yunani kuno Plato, yang karyanya menjadi topik tesis sekaligus penelitian pasca-sarjana Darya.
Sebuah situs indupenden Rusia, Meduza, mewawancarai beberapa teman Darya yang mengenalnya pada pertengahan 2010-an.
Mereka menggambarkannya sebagai perempuan muda yang ramah dan terbuka kepada siapa pun yang memiliki minat terhadap musik elektronik seperti dirinya.
Beberapa orang bahkan pernah tampil bersamanya di sebuah band, di mana Darya memainkan suling.
“Dia adalah orang yang menarik untuk diajak mengobrol, dia pintar, namun polos hampir seperti anak kecil,” kata salah satu teman Darya kepada Meduza.
“Kami bisa membicarakan apa pun, tapi tidak pernah membahas pemikiran ayahnya. Bukan karena dia menghindarinya, tapi karena ada lebih banyak hal di dalam dirinya, seperti wawasan tentang buku, film, dan seleranya yang keren.”
Ayah nasionalis
Pada saat itu, ayah Darya yang sudah terkenal dengan ideologi nasionalis dan anti-Ukraina, semakin menonjol.
Pada 2014, muncul sebuah video yang menunjukkan Dugin berkata dalam bahasa Rusia: “Saya pikir, bunuh, bunuh, dan bunuh [orang-orang Ukraina], tidak perlu ada pembicaraan lain.”
Komentar itu membuat marah banyak orang Rusia, bahkan muncul petisi untuk mencopot Dugin dari posisinya sebagai Kepala Departemen Sosiologi dan Hubungan Internasional di Universitas Negeri Moskow.
Petisi itu ditandatangani oleh lebih dari 10.000 orang dan berujung pada pemecatannya.
Pada 2015, dia dikenai sanksi oleh AS dan Kanada karena diduga berperan dalam pencaplokan Krimea.
Tidak lama setelah itu, teman-teman Darya mengatakan bahwa Darya tertarik dengan agama Ortodoks Rusia.
Itu mengejutkan beberapa temannya di Moskow yang kebarat-baratan, sehingga persahabatan mereka mendingin.
“Dia pelan-pelan menjadi penganut gagasan ayahnya tentang Eurasia dan kami berhenti berkomunikasi,” kata salah satu temannya, dikutip oleh situs Meduza.
Pendukung invasi Ukraina
Pada akhir 2010-an, Darya Dugina mulai muncul di berbagai saluran TV Rusia dan menulis untuk situs pro-pemerintah.
Dia sering mengomentari politik Eropa, menyatakan dukungannya untuk kekuatan politik yang dia sebut sebagai “hak baru”, dan memprediksi kemenangan mereka atas kaum liberal.
Pada 2018, dalam sebuah kolom untuk media propaganda pemerintah, Russia Today, Darya menulis tentang kematian Emmanuel Macron sebagai Presiden Prancis dan menyatakan dukungan kuatnya untuk politisi sayap kanan, Marine Le Pen.
Ketika pemilihan presiden Prancis pada 2017 dan 2022 berlangsung, dia menuliskan harapannya untuk kemenangan Le Pen.
Di dalam kemunculannya di media-media ini, Darya menggunakan nama pena “Platonova”, yang disebut-sebut terkait dengan kekagumannya pada filsuf Yunani Kuno, Plato.
November lalu, setelah Rusia mengerahkan pasukannya di dekat perbatasan Ukraina, Darya menggambarkan Ukraina sebagai “perbatasan bersih” antara Rusia dan Barat.
Setelah invasi Rusia dimulai, Darya secara vokal mendukungnya, bahkan menulis itu sebagai “realisasi kekaisaran”.
Pada bulan Juli, dia masuk ke dalam daftar sanksi Inggris sebagai “kontributor disinformasi yang terkenal terkait Ukraina”.
Pada pertengahan Juni, dia mengunjungi pabrik baja Azovstal setelah kota Mariupol di Ukraina diduduki sepenuhnya oleh pasukan Rusia.
Sebelum pembunuhannya terjadi, dia bekerja sama dengan penerbit sayap kanan Rusia, “The Black Hundred” untuk merilis “The Book of Z” yang digambarkan oleh penerbit sebagai “kumpulan kesaksian dan cerita oleh para saksi mata”.
Huruf "Z" menjadi simbol invasi Rusia ke Ukraina, dengan kendaraan militer dan seragam tentara ditandai dengan huruf itu selama enam bulan terakhir.