Kisah Bom-bom Nuklir AS yang Hilang dan Tak Dapat Ditemukan hingga Sekarang

SiswantoBBC Suara.Com
Sabtu, 27 Agustus 2022 | 17:02 WIB
Kisah Bom-bom Nuklir AS yang Hilang dan Tak Dapat Ditemukan hingga Sekarang
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Zaria Gorvett, BBC Future

Amerika Serikat telah kehilangan setidaknya tiga bom nuklir yang tidak pernah ditemukan – keberadaannya diyakini masih ada di suatu tempat saat ini. Bagaimana bisa terjadi?

Di suatu pagi saat musim dingin yang sejuk pada puncak Perang Dingin, 17 Januari 1966, sekitar pukul 10:30 pagi, seorang nelayan Spanyol menyaksikan bungkusan jatuh dari langit.

Tanpa suara, benda berwarna putih tak berbentuk itu meluncur menuju Laut Alboran. 

Baca Juga: Harganya Termahal di Dunia, Kekuatan Benda Ini Melebihi Bom Nuklir

Ada sesuatu yang tergantung di bawahnya, meskipun dia tidak bisa melihat apa itu. Kemudian bungkusan itu hilang tertelan ombak.

Pada saat yang sama, di desa nelayan terdekat, Palomares, penduduk setempat melihat ke langit yang sama dan menyaksikan pemandangan yang sangat berbeda – dua bola api raksasa, meluncur ke arah mereka. 

Dalam hitungan detik, keindahan pedesaan yang damai itu hancur. Gedung-gedung berguncang. Pecahan peluru menghujam mengiris tanah. Bagian-bagian tubuh manusia berserakan

Beberapa minggu kemudian, Philip Meyers menerima pesan melalui teleprinter – perangkat yang dapat mengirim dan menerima email primitif. 

Saat itu, ia bekerja sebagai petugas penjinak bom di Fasilitas Udara Angkatan Laut Sigonella, di Sisilia timur. 

Baca Juga: Jerman Borong Puluhan Jet Tempur F-35, Siapkan Armada Pembawa Bom Nuklir?

Dia diberitahu bahwa ada keadaan darurat yang sangat rahasia di Spanyol, dan dia harus berangkat ke sana dalam beberapa hari. 

Namun, misi itu tidak serahasia yang diharapkan militer. 

“Saya tidak terkejut ketika dipanggil ke sana," kata Meyers. 

Bahkan publik juga tahu apa yang sedang terjadi. Ketika dia menghadiri sebuah pesta malam itu dan mengumumkan perjalanan misteriusnya, peristiwa yang seharusnya rahasia itu malah menjadi semacam lelucon. 

"Itu agak memalukan," kata Meyers. "Itu seharusnya rahasia, tetapi teman-teman saya memberi tahu saya mengapa saya harus pergi."

Selama berminggu-minggu, surat kabar di seluruh dunia melaporkan desas-desus tentang kecelakaan yang mengerikan - dua pesawat militer AS bertabrakan di udara, menyebarkan empat bom termonuklir B28 di Palomares. 

Tiga dengan cepat ditemukan di darat – tetapi satu menghilang ke hamparan biru berkilauan di arah tenggara, hilang ke dasar hamparan Laut Mediterania di dekatnya. 

Sekarang perburuan bom nuklir dengan hulu ledak 1,1 megaton, dengan daya ledak 1.100.000 ton TNT dilakukan.

Jumlah yang tidak diketahui

Faktanya, insiden Palomares bukan satu-satunya peristiwa di mana ada senjata nuklir yang salah tempat. 

Setidaknya ada 32 kecelakaan yang disebut "panah patah" - yang melibatkan perangkat yang bisa meratakan dan menghancurkan Bumi ini - sejak 1950. 

Dalam banyak kasus, senjata dijatuhkan secara tidak sengaja atau dibuang dalam keadaan darurat, kemudian ditemukan kembali. 

Tapi tiga bom milik AS telah hilang sama sekali – mereka masih di luar sana sampai hari ini, bersembunyi di rawa-rawa, ladang dan lautan di suatu tempat di planet ini.

"Kami lebih banyak tahu tentang kasus-kasus Amerika," kata Jeffrey Lewis, direktur Program Non-proliferasi Asia Timur di Pusat Studi Non-proliferasi James Martin, California. 

Dia menjelaskan bahwa daftar lengkap senjata nuklir yang hilang ini baru terpublikasi ketika ringkasan milik Departemen Pertahanan AS dideklasifikasi pada 1980-an.

Banyak yang terjadi selama Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet berpacu dalam doktrin Mutually Assured Destruction (MAD).

Dampaknya, pesawat-pesawat yang dipersenjatai dengan senjata nuklir terbang di udara setiap waktu dari tahun 1960 hingga 1968, dalam operasi yang dikenal sebagai Kubah Chrome .

"Kami tidak tahu banyak tentang senjata nuklir negara lain. Kami tidak tahu apa-apa tentang Inggris atau Prancis, atau Rusia atau China," kata Lewis. "Jadi saya rasa kita tidak punya perhitungan penuh.”

Masa lalu nuklir Uni Soviet terutama, sangat tidak diketahui. Negara ini setidaknya punya stok 45.000 senjata nuklir pada 1986. 

Ada kasus-kasus yang diketahui di mana negara itu kehilangan bom nuklir yang tidak pernah diambil kembali.

Tetapi tidak seperti insiden AS, semuanya terjadi di kapal selam dan lokasinya diketahui, meskipun tidak dapat diakses.

Salah satunya terjadi pada 8 April 1970, ketika api mulai menyebar melalui sistem pendingin udara kapal selam bertenaga nuklir K-8 Soviet saat sedang menyelam di Teluk Biscay – di timur laut Samudra Atlantik di lepas pantai Spanyol dan Prancis, yang terkenal dengan badai ganas dan di mana banyak kapal menemui ajal. 

Kapal selam itu memiliki empat torpedo nuklir di dalamnya, dan ketika tenggelam, dia membawa muatan radioaktifnya.

Namun, kapal-kapal yang hilang ini tidak selalu berada di titik tenggelamnya. Pada tahun 1968, sebuah K-129 Soviet secara misterius tenggelam di Samudra Pasifik barat laut Hawaii, bersama dengan tiga rudal nuklir. 

AS segera mengetahuinya, dan memutuskan untuk melakukan upaya rahasia untuk mengambil kembali rudal-rudal nuklir ini, "yang benar-benar merupakan cerita yang cukup gila", kata Lewis.

Miliarder eksentrik Amerika, Howard Hughes, yang terkenal dengan spektrum aktivitasnya yang luas, termasuk sebagai pilot dan sutradara film, berpura-pura tertarik pada penambangan laut dalam. 

"Tapi sebenarnya, itu bukan penambangan laut dalam, ini adalah upaya untuk membangun cakar raksasa yang bisa turun ke dasar laut, mengambil kapal selam yang hilang, dan membawanya kembali ke permukaan,” kata Lewis. 

Proyek ini dinamai Project Azorian – dan sayangnya tidak berhasil. Kapal selam itu pecah saat diangkat.

"Dan senjata nuklirnya jatuh kembali ke dasar laut," kata Lewis. 

Beberapa orang berpikir senjata itu tetap ada di sana sampai hari ini, terperangkap di makam mereka yang berkarat – meskipun yang lain percaya bahwa senjata itu akhirnya ditemukan.

Sesekali, ada laporan bahwa beberapa senjata nuklir AS yang hilang telah ditemukan.

Di tahun 1998, seorang pensiunan perwira militer dan rekannya dicengkeram dengan tekad yang tiba-tiba untuk menemukan sebuah bom yang dijatuhkan di dekat Pulau Tybee, Georgia pada tahun 1958. 

Mereka mewawancarai pilot yang awalnya kehilangan bom itu, serta orang-orang yang telah mencari bom tersebut tanpa hasil beberapa dekade yang lalu – dan mempersempit pencarian ke Wassaw Sound, teluk terdekat di Samudra Atlantik. 

Selama bertahun-tahun, duo maverick ini menjelajahi daerah itu dengan perahu, mengikuti penghitung Geiger di belakang mereka untuk mendeteksi lonjakan radiasi.

Dan suatu hari, di tempat yang persis seperti yang digambarkan pilot – mereka menemukan sebuah area dengan radiasi 10 kali lipat dari tempat lain. 

Pemerintah segera mengirimkan tim untuk menyelidiki. Tapi sayang, itu bukan senjata nuklir. Anomali itu disebabkan oleh radiasi alami dari mineral di dasar laut.

Jadi untuk saat ini, tiga bom hidrogen AS yang hilang – dan, paling tidak, sejumlah torpedo milik Soviet – masih menjadi monumen rahasia di dasar laut, pengingat risiko perang nuklir, meskipun sebagian besar telah dilupakan. 

Mengapa kita belum menemukan semua senjata jahat ini? Apakah ada risiko mereka meledak? Dan apakah kita akan bisa mengambilnya kembali?

Objek terselubung

Ketika Meyers akhirnya tiba di Palomares – desa Spanyol tempat pesawat bom B52 jatuh pada tahun 1966 – pihak berwenang masih mencari bom nuklir yang hilang. 

Setiap malam timnya tidur di tenda-tenda di desa yang dingin dan lembap. 

"Itu seperti musim dingin Inggris," katanya. Pada siang hari tak banyak yang bisa mereka lakukan – itu adalah permainan menunggu.

"Ini hal standar di militer, cepat-cepat dan menunggu," kata Meyers. "Kami harus bergegas dan kemudian kami tidak melakukan apa-apa selama dua minggu. Dan kemudian setelah itu, eksplorasi bawah laut menjadi sangat serius."

Tim pencari membawa dua alat yang cerdik. Salah satunya adalah teorema dari abad ke-18 yang ditemukan oleh seorang pendeta Presbiterian yang menjadi matematikawan amatir.

Alat ini membantu orang menggunakan informasi tentang kejadian masa lalu untuk menghitung kemungkinan kejadian itu terjadi lagi. 

Mereka menggunakan teknik "inferensi Bayesian" ini untuk memutuskan di mana mencari bom, dan untuk membantu mereka mencari dengan cara seefisien mungkin serta memaksimalkan peluang mereka untuk menemukannya. 

Yang kedua adalah "Alvin", kapal selam laut dalam termutakhir saat itu yang mampu menyelam ke kedalaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Seperti hiu putih yang gemuk, setiap hari ia turun ke perairan Mediterania yang biru tua dengan kru manusia di perutnya, dan memulai perburuan visual.

TIGA BOM AS YANG HILANG

Apa? Satu bom termonuklir Mark 15. 

Di mana? Pulau Tybee, Georgia. 

Kapan? 5 Februari 1958. 

Bagaimana? Dibuang untuk mengurangi berat pesawat untuk pendaratan yang lebih aman.

-

Apa? Satu bom termonuklir B43. 

Di mana? Laut Filipina. 

Kapan? 5 Desember 1965. 

Bagaimana? Sebuah pesawat pengebom, pilot dan senjata nuklir tergelincir dari sisi kapal induk, tidak pernah terlihat lagi.   

-

Apa? Satu bom termonuklir B28FI, tahap kedua. 

Di mana? Pangkalan Udara Thule, Greenland. 

Kapan? 22 Mei 1968. 

Bagaimana? Sebuah kebakaran kabin memaksa kru untuk meloncat keluar, meninggalkan pesawat itu jatuh dengan muatan nuklirnya di dalamnya. 

Pada 1 Maret 1966, kapal selam kecil itu akhirnya melihat sesuatu: jejak yang dibuat oleh bom ketika pertama kali menabrak dasar laut

Gambar-gambar selanjutnya mengungkapkan pemandangan yang menakutkan – ujung bulat dari senjata nuklir yang hilang, ditutupi oleh sebuah selubung – parasut putihnya, yang sebagian terbuka saat jatuh, terjerat dengan muatannya sendiri. 

Tabung logam yang mematikan ini entah bagaimana terlihat menyerupai seseorang yang didandani sebagai hantu Halloween dengan seprai.

Namun perjuangan belum usai. Sekarang adalah tugas Meyers untuk mencari tahu bagaimana cara mengeluarkan bom ini dari dasar laut – di mana ia teronggok sedalam 2.850 kaki (869m). 

Mereka membuat semacam pancing dari beberapa ribu meter tali nilon berat dan memasang kait logam. Idenya adalah untuk mengunci perangkat, dan menariknya sampai cukup dekat ke permukaan sehingga penyelam bisa turun dan mengamankannya lebih teliti. 

"Itulah rencananya. Tapi itu tidak berhasil," kata Meyers.

“Semuanya dilakukan dengan sangat hati-hati dan perlahan," kata Meyers. "Jadi kami hanya menunggu. Kami cemas, ingin melihat apa yang akan kami lakukan selanjutnya ketika itu muncul." 

Mereka berhasil memasang bom nuklir ke pengait, dan mulai mengangkatnya keluar dari air. Mereka telah mengangkatnya dari bawah laut ketika bencana terjadi. 

Parasutnya tiba-tiba mengembang dan  memperlambat kecepatan kargonya, sehingga membuatnya lebih sulit untuk bergerak.

“Tahukah Anda bahwa parasut bekerja dengan baik di air, seperti di darat?" kata Meyers. 

Akhirnya, parasut itu menarik tali dan pengaitnya dengan sangat keras sehingga ia putus begitu saja – mengirim bom nuklir perlahan-lahan meluncur kembali ke dasar laut. 

Kali ini, bom nuklir itu tersuruk jauh lebih dalam dari sebelumnya. Kapal selam Alvin Kecil – dengan kru manusia di dalamnya – untungnya berhasil menghindari terjerat dan berakhir di dasar laut bersamanya.

Meyers sangat terpukul. "Itu sangat mengecewakan," katanya. 

Dengan bom yang sekarang lebih tidak dapat diakses dari sebelumnya, tali pancing buatannya tidak cukup panjang untuk menangkapnya, jadi tugas itu diserahkan ke tim lain, di kapal lain.

Sebulan kemudian mereka menggunakan jenis kapal selam robot yang berbeda – kendaraan bawah air yang dikendalikan kabel – untuk mengambil bom dengan parasutnya secara langsung, dan mengangkatnya. 

Bom itu telah bergeser di selongsongnya, sehingga tidak bisa dilucuti dengan cara biasa, yakni melalui port khusus di samping.

Cara yang lebih berbahaya, petugas harus memotong senjata nuklir. 

"[Itu akan] sangat menegangkan, harus mengebor lubang di bom hidrogen," kata Meyers. "Tapi mereka melakukannya. Mereka siap melakukan itu."

Sebuah misteri di rawa-rawa

Sayangnya, tiga bom yang hilang masih di luar sana hingga hari ini.

Namun, risiko mereka menyebabkan ledakan nuklir dianggap rendah.

Untuk memahami alasannya, ada baiknya untuk melihat cara kerja bom nuklir.

Pada bulan September 1905, Albert Einstein meletakkan pulpennya di halaman makalah ilmiahnya, dan menuliskan sebuah ide yang akan menjadi persamaan paling terkenal di dunia. 

E = mc2, atau energi sama dengan massa benda dikalikan dengan kuadrat kecepatan cahaya. 

Artinya setiap atom yang menyusun dunia dapat ditukar menjadi energi, dan sebaliknya. Pelepasan energi sangat eksplosif, itulah yang memberi kekuatan pada Matahari.

Tiga puluh empat tahun kemudian, Einstein menulis kepada Presiden AS , Franklin Roosevelt, untuk memperingatkannya bahwa Nazi sedang berupaya mengubah teorinya menjadi senjata – dan sisanya adalah sejarah. 

Proyek Manhattan dengan cepat terbentuk, dan pada tahun 1945, AS menjatuhkan senjata nuklir pertamanya.

Bom yang digunakan di Kota Hiroshima di Jepang dan – beberapa hari kemudian – Nagasaki, adalah bom atom original.

Ini melibatkan "fisi" nuklir, di mana partikel subatomik berenergi tinggi (neutron) dihancurkan menjadi elemen radioaktif besar yang stabil, yang kemudian menjadi tidak stabil dan hancur atau "terpecah" menjadi elemen-elemen yang lebih kecil. 

Reaksi ini melepaskan sejumlah besar energi dan lebih banyak lagi neutron, menyebabkan atom-atom lain terbelah secara bergantian, sampai Anda berakhir dengan reaksi berantai yang masif dan tak terkendali. 

Pertama kali mereka diuji, para ilmuwan tidak yakin reaksinya akan berhenti – mereka mempertimbangkan kemungkinan yang sangat nyata bahwa dunia akan berakhir. 

Untuk mencapai fisi nuklir, bom atom biasanya memiliki alat mirip senjata yang menembakkan "peluru" berongga dari bahan radioaktif seperti uranium-235, uranium-235, atau menggunakan bahan peledak konvensional untuk menekan atom plutonium-239, untuk mencapai massa kritis dan menembakkan neutron yang akan memicu reaksi berantai fisi. 

Di Hiroshima dan Nagasaki, senjata-senjata awal ini meratakan tanah bermil-mil dan membunuh ratusan ribu orang, beberapa di antaranya menguap di zona ledakan dan yang lain meninggal karena luka bakar radiasi atau menderita hingga berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun sesudahnya.

Generasi berikutnya – jenis yang digunakan pada 1950-an dan 60-an, ketika sebagian besar senjata nuklir dunia yang hilang salah tempat – ribuan kali lebih kuat. 

Sebuah bom yang diuji oleh Soviet mencapai hingga 57 megaton sedangkan yang diuji oleh AS di Bikini Atoll pada 1950-an mencapai hingga 15 megaton. 

Ini adalah termonuklir, atau bom hidrogen, dan melibatkan reaksi nuklir kedua.

Pertama, ada langkah fisi biasa seperti bom atom, yang akan melepaskan sejumlah energi yang mengejutkan. Reaksi ini akan menyalakan inti kedua, kali ini mengandung isotop hidrogen – deuterium (hidrogen berat) dan tritium (hidrogen radioaktif) – yang saling menghancurkan dan melepaskan lebih banyak energi ketika mereka menyatu untuk membentuk helium dan satu neutron bebas.

Sistem ini meninggalkan ruang untuk sejumlah perangkat keamanan.

Seperti bom yang hilang di Pulau Tybee, yang masih tertimbun lumpur di suatu tempat di Wassaw Sound. Pada tanggal 5 Februari 1958, senjata termonuklir Mark 15 seberat 7.600 pon (3.400 kg) ini dimuat ke pesawat pengebom B-47, yang akan bergabung dengan B-47 lain dalam misi pelatihan panjang. 

Idenya adalah untuk mensimulasikan serangan terhadap Uni Soviet. Pilot berangkat dari Florida dan melintasi jalan mereka ke target mereka, sebagai cara untuk menguji kemampuan mereka untuk terbang dengan senjata berat di atas kapal selama berjam-jam.

Semuanya berjalan dengan baik, tetapi dalam perjalanan kembali ke pangkalan, pesawat menghadapi misi pelatihan terpisah di Carolina Selatan. 

Rencana kelompok ini adalah untuk mencegat salah satu B-47 – tetapi ada kesalahan dan mereka tidak melihat pesawat yang kedua, yang membawa senjata nuklir. Dalam kecelakaan berikutnya, B-47 yang membawa bom nuklir rusak.

Pilot memutuskan untuk membuang bom nuklir ke dalam air, lalu melakukan pendaratan darurat. 

Bom itu jatuh 30.000 kaki (9.144m) ke perairan lepas Pulau Tybee – dan bahkan benturan ini tidak meledakkannya. Faktanya, luar biasa, tidak satu pun dari 32 kecelakaan ‘panah patah’ menyebabkan ledakan komponen nuklir – meskipun dua di antaranya telah mencemari area yang luas dengan bahan radioaktif.

Salah satu faktor yang bisa membuatnya mungkin terjadi adalah sistem penjaga bahan nuklir yang dibutuhkan untuk reaksi fisi terpisah dari senjata itu sendiri

Kapsul atau "ujung" - yang dalam hal ini, terbuat dari plutonium - kemudian dapat ditambahkan ke senjata pada menit terakhir, saat dibutuhkan. 

Ini artinya, bahkan jika bahan peledak konvensional senjata itu meledak ketika berada di atas kapal, bahan radioaktif tidak akan cukup panas untuk benar-benar melakukan pemecahan atom.

Bom-bom selanjutnya juga menyertakan fitur seperti "keamanan satu titik" – cara untuk memastikan perangkat nuklir tidak meledak tanpa diaktifkan. 

"Jika bahan peledak meledak, Anda ingin dia meledak dengan cara yang tidak rata. Anda ingin plutonium menyembur keluar," kata Lewis.

Jadi, memiliki begitu banyak fitur keselamatan sangat diperlukan – sebagian besar karena fitur tersebut tidak selalu berfungsi. 

Dalam satu kasus pada tahun 1961, sebuah B-52 pecah saat terbang di atas Goldsboro, North Carolina, menjatuhkan dua senjata nuklir ke tanah. Salah satunya relatif tidak rusak setelah parasutnya berhasil dikerahkan, tetapi pemeriksaan selanjutnya mengungkapkan bahwa tiga dari empat sistem pengamanan telah gagal.

Dalam dokumen yang dideklasifikasikan pada 1963, Menteri Pertahanan AS saat itu menyimpulkan insiden tersebut sebagai kasus di mana "dengan sedikit peluang, secara harfiah kegagalan dua kabel untuk bersilangan, ledakan nuklir dapat dihindari".

Bom nuklir lainnya jatuh bebas ke tanah, di mana ia pecah dan akhirnya tertanam di sebuah lapangan. 

Sebagian besar ditemukan, tetapi satu bagian yang mengandung uranium tetap tersangkut di bawah lumpur setinggi lebih dari 15 kaki. Angkatan Udara AS membeli tanah di sekitarnya untuk mencegah orang menggali.

Beberapa insiden begitu membingungkan, sampai hampir terdengar dibuat-buat. 

Salah satu yang paling luar biasa terjadi ketika latihan di USS Ticonderoga pada 1965. Sebuah Skyhawk A4E yang bermuatan bom nuklir B-43 berguling di dalam kabin pesawat. 

Bencana itu terjadi dalam gerakan lambat – kru di dek dengan cepat menyadari bahwa pesawat akan jatuh, dan melambaikan tangan kepada pilot untuk mengerem. 

Tragisnya, pilot tidak melihat mereka, dan letnan muda, pesawat dan senjata itu menghilang ke Laut Filipina. Mereka masih ada di bawah air hingga kini, 16.000 kaki (4.900 m) di dekat sebuah pulau di Jepang.

Gambaran yang membingungkan

Setelah hampir 10 minggu pencarian, bom pulau Tybee dinyatakan hilang pada 16 April 1958. 

Menurut tanda terima yang ditulis oleh pilot yang menjatuhkannya, senjata itu tidak berisi kapsul nuklir. Namun, beberapa orang khawatir bahwa ini mungkin tidak benar

Pada 1966, asisten Menteri Pertahanan saat itu menulis sebuah surat di mana ia menggambarkan bom itu sebagai "lengkap" – yaitu mengandung inti plutonium. 

Jika ini benar, Mark 15 mungkin masih mampu menyebabkan ledakan termonuklir penuh.

Saat ini bom tersebut diperkirakan berada di bawah lumpur setinggi 5-15 kaki (1,5-4,6 m) di dasar laut. 

Dalam laporan akhir tentang senjata yang diterbitkan pada tahun 2001, Badan Kontraproliferasi dan Senjata Nuklir Angkatan Udara menyimpulkan bahwa jika bahan peledak konvensional di dalamnya masih utuh, itu dapat menimbulkan "bahaya ledakan serius" bagi personel dan lingkungan – dan oleh karena itu sebaiknya bom itu tidak diganggu, bahkan oleh upaya pemulihan.

Tapi bisakah senjata nuklir meledak di bawah air?

Ternyata, bisa. Pada 25 Juli 1946, AS meledakkan bom atom di Bikini Atoll – rangkaian pulau tropis yang sempurna seperti kartu pos yang dikelilingi oleh terumbu karang pirus, dan di luarnya, laut biru tua Samudra Pasifik. 

Mereka menggantung perangkat itu sedalam 27m di bawah kapal yang penuh dengan babi dan tikus, dan menyalakannya. 

Beberapa kapal tenggelam seketika, dan sebagian besar hewan mati – baik dari ledakan awal atau keracunan radiasi. 

Salah satu gambar mencolok dari hari itu menunjukkan awan jamur putih raksasa naik seperti formasi cuaca asing, di depan pantai berpohon palem. 

Sebagai hasil dari tes ini dan tes lainnya, pulau-pulau menjadi sangat radioaktif sehingga plankton bersinar di pelat fotografi

Pantai itu masih terkontaminasi sampai hari ini – orang-orang yang pernah tinggal di sana tidak pernah bisa kembali, meskipun seperti Chernobyl tempat ini telah menjadi oasis bagi satwa liar.

Kerugian permanen

Lewis berpikir tidak mungkin kita akan menemukan tiga bom nuklir yang hilang. Alasannya sama dengan mengapa mereka tidak ditemukan saat pencarian pertama.

Salah satunya adalah bahwa mereka biasanya ditemukan melalui pencarian visual – dan ini sangat sulit.

Ketika pesawat jatuh ke laut, kotak hitam sering ditemukan berhari-hari atau berminggu-minggu kemudian oleh otoritas yang ingin mengumpulkan apa yang terjadi. 

Ini mungkin memberi kesan bahwa mudah untuk menemukan benda-benda seperti itu di petak-petak air yang luas dengan teknologi modern. 

Tetapi mereka memiliki rahasia yang membantu proses ini - "suar lokasi bawah laut", yang memandu tim pencari ke arah mereka dengan pulsa elektronik berulang.

Senjata nuklir yang hilang tidak dilengkapi dengan peralatan seperti itu. 

Sebaliknya, tim harus mempersempit area pencarian, kemudian menjelajahi lautan sedikit demi sedikit – proses yang membosankan dan tidak efisien, yang membutuhkan penyelam manusia atau kapal selam.

Alternatifnya adalah mencari lonjakan radiasi, seperti yang dilakukan pensiunan perwira militer Derek Duke dalam pencariannya untuk bom Tybee. 

Tapi ini juga sangat rumit – sebagian karena bom nuklir sebenarnya tidak terlalu radioaktif.

"Mereka dirancang untuk tidak menjadi ancaman radioaktif bagi pasukan yang membawanya,” kata Lewis. 

"Jadi mereka memang memiliki tanda radioaktif, tapi itu tidak terlalu signifikan - Anda harus cukup dekat."

Pada tahun 1989, kapal selam nuklir Soviet lainnya, K-278 Komsomolets, tenggelam di Laut Barents di lepas pantai Norwegia. 

Seperti K-8, kapal itu juga bertenaga nuklir, dan tengah membawa dua torpedo nuklir pada saat tenggelam. 

Selama beberapa dekade, bangkainya telah berada satu mil (1,7 km) di bawah perairan Arktik.

Tetapi pada tahun 2019, para ilmuwan mengunjungi kapal tersebut – dan mengungkapkan bahwa sampel air yang diambil dari pipa ventilasinya mengandung tingkat radiasi hingga 100.000 kali lebih tinggi daripada yang biasanya ditemukan di air laut. 

Ini bukan hal biasa. Diperkirakan bahwa elemen radioaktif dari reaktor nuklirnya – yang bertentangan dengan torpedo nuklirnya – bocor melalui sebuah lubang, mungkin karena pecah saat jatuh. 

Hanya setengah meter lebih jauh dari pipa, isotopnya sangat encer, dan tingkat radiasinya normal.

Bagi Lewis, daya tarik dengan senjata nuklir yang hilang bukanlah risiko potensial yang mereka timbulkan sekarang - namun: kerapuhan sistem kita yang tampaknya canggih untuk menangani penemuan berbahaya dengan aman.

"Saya pikir kita memiliki fantasi bahwa orang-orang yang menangani senjata nuklir entah bagaimana berbeda dari semua orang lain yang kita kenal, membuat lebih sedikit kesalahan, atau bahwa mereka entah bagaimana lebih pintar. Tetapi kenyataannya adalah bahwa organisasi yang menangani senjata nuklir adalah sama seperti organisasi lainnya. Mereka membuat kesalahan. Mereka tidak sempurna," kata Lewis.

Bahkan di Palomares, di mana semua bom nuklir yang dijatuhkan akhirnya ditemukan kembali, tanahnya masih terkontaminasi radiasi dari dua bom nuklir yang diledakkan dengan bahan peledak konvensional. 

Beberapa personel militer AS yang membantu upaya pembersihan awal – menyekop permukaan tanah ke dalam tong – menderita kanker misterius yang mereka yakini terkait dengan pekerjaan mereka. 

Pada 2020, sejumlah penyintas mengajukan gugatan class action terhadap Sekretaris Urusan Veteran – meskipun banyak dari penggugat saat ini berusia akhir 70-an dan 80-an.

Sementara itu, masyarakat setempat telah berkampanye untuk pembersihan yang lebih menyeluruh selama beberapa dekade. 

Palomares dijuluki "kota paling radioaktif di Eropa", dan para pemerhati lingkungan lokal saat ini memprotes rencana perusahaan Inggris untuk membangun sebuah resor liburan di daerah tersebut.

Lewis yakin bahwa kerugian seperti yang terjadi selama Perang Dingin tidak mungkin terjadi lagi, terutama karena operasi Chrome Dome berakhir pada tahun 1968, dan pesawat yang membawa bom nuklir tidak lagi terbang di sekitar latihan reguler. 

"Peringatan lewat udara berakhir karena alasan yang jelas," katanya. "Pada akhirnya, diputuskan bahwa itu terlalu berbahaya."

Pengecualian untuk kemajuan ini, tentu saja, kapal selam nuklir – dan bahkan hingga hari ini, ada yang nyaris menjadi bencana. 

AS saat ini memiliki 14 kapal selam rudal balistik (SSBN) yang beroperasi, sementara Prancis dan Inggris masing-masing memiliki empat.

Untuk bekerja sebagai pencegah nuklir, kapal selam ini harus tetap tidak terdeteksi selama operasi di laut, dan ini berarti mereka tidak dapat mengirim sinyal ke permukaan untuk mencari tahu di mana mereka berada. 

Sebagai gantinya, mereka harus menavigasi sebagian besar dengan sistem inersia – pada dasarnya, kru mengandalkan mesin yang dilengkapi dengan giroskop untuk menghitung di mana kapal selam berada pada waktu tertentu berdasarkan di mana terakhir kali kapal itu menuju, dan seberapa cepat kapal itu melaju. 

Sistem yang berpotensi tidak tepat ini telah mengakibatkan sejumlah insiden, termasuk baru-baru ini pada 2018 ketika SSBN Inggris hampir menabrak sebuah feri.

Dengan begitu, era hilangnya senjata nuklir mungkin belum berakhir.

Versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul The lost nuclear bombs that no one can find dapat anda baca di BBC Future.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI