Benarkah Ratusan Mahasiswa Ber-KTP Bandung Terinfeksi HIV/AIDS?

SiswantoBBC Suara.Com
Sabtu, 27 Agustus 2022 | 16:47 WIB
Benarkah Ratusan Mahasiswa Ber-KTP Bandung Terinfeksi HIV/AIDS?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Baru-baru ini sejumlah media mengutip data yang menyebut bahwa terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS pada kelompok usia produktif di Kota Bandung.

Bahkan, kelompok usia mahasiswa di Bandung yang terjangkit berkontribusi 6,97% dari jumlah kasus secara keseluruhan. Namun, benarkah demikian?

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Bandung Ira Dewi Jani menyatakan penyimpulan tersebut tidak sepenuhnya benar.

Dia mengatakan terdapat 5.843 kasus HIV/AIDS berdasarkan Data Wilayah (DW) Kota Bandung sepanjang 1991-2021. Adapun 6,97% dari kelompok usia mahasiswa berarti terdapat 407 kasus.

Baca Juga: Kota Bandung Kampanye 3 Zero, Tekan Angka HIV/AIDS

Akan tetapi, bukan berarti ada 407 mahasiswa di Kota Bandung yang terjangkit HIV/AIDS pada 2021.

“407 kasus itu adalah jumlah kumulatif selama 30 tahun, yang waktu terdiagnosa HIV (yang bersangkutan) mengaku sebagai mahasiswa.  Ini data dari 1991 sampai dengan 2021.  Jadi bukan data pada saat ini saja.  Bisa jadi saat ini sudah bukan mahasiswa lagi. Soalnya kalau yang tercatat sebagai mahasiswa selama 2021 hanya 11 orang,” kata Ira Dewi Jani kepada wartawan di Bandung, Yuli Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Baca juga:

Mengapa datanya harus terakumulasi?

"Soalnya kalau HIV memang datanya harus kumulatif, karena HIV sekali terdiagnosa terus saja dia terdiagnosa HIV.  Nggak kayak kalau kita terdiagnosa Covid, pernah ada dalam catatan terus hilang karena sudah sembuh.  Kalau yang HIV nggak.  Sekali dia terdiagnosa, tercatat, dan terlaporkan, maka dia akan terus ada di sistem sampai orangnya meninggal,” tutur Ira saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (25/8).

Baca Juga: Doyan Seks Bebas dan Narkoba, Ratusan Mahasiswa di Bandung Positif HIV, Jumlah Kemungkinan Terus Naik

Kelompok usia mana yang paling banyak terjangkit HIV/AIDS di Bandung?

Data yang bersumber dari Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) dan diolah Dinas Kesehatan Kota Bandung menunjukkan angka kasus penularan HIV di Kota Bandung selama 30 tahun terakhir didominasi oleh kelompok usia 20-29 tahun.

Dari total kasus HIV sebanyak 5.843 orang, yang tercatat selama kurun waktu 1991-2021, sebanyak 44,84% atau 2.620 orang berasal dari rentang usia tersebut. 

Kelompok usia 30-39 tahun menjadi kelompok kedua terbanyak yang tertular HIV dengan persentase 34,16% atau sebanyak 1.996 orang.  

Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh ini juga menjangkiti kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 2,09% atau 122 orang. 

“Kita harus ingat, selain transmisi seks atau penyalahgunaan pengguna narkoba suntik (penasun), HIV itu ada penularan dari ibu ke anak.  Jadi bisa saja anak yang muda banget itu tertular melalui ibu.  Kenapa kami bisa bilang begitu, karena perjalanan penyakit HIV itu nggak langsung.  Kalau dia terinfeksi, baru menimbulkan gejala tiga sampai lima tahun kemudian atau bahkan tiga sampai 10 tahun kemudian, tergantung daya tubuh dan banyaknya jumlah virus yang masuk ke tubuhnya,” kata Ira.

Faktor risiko perinatal atau penularan HIV dari ibu ke anak menyumbang sebanyak 2,06% atau 120 orang pada kasus HIV di Kota Bandung.  

Sementara, heteroseksual sebanyak 39,60% atau 2.313 orang, pengguna Napza Suntik 31,71% atau 1.853 orang, dan homoseksual 22,12% atau 1.292 orang.

Apa itu FWB dan benarkah FWB penyebab naiknya kasus HIV di kalangan muda?

Dari kicauan di media sosial Twitter, banyak warganet yang berpendapat kasus HIV/AIDS pada mahasiswa akibat aplikasi kencan dan perilaku friend with benefits (FWB).  

Hubungan friend with benefits (FWB) secara umum diartikan sebagai hubungan seksual dengan teman tanpa ikatan emosional.

Sulit untuk menelusuri awal mula ungkapan FWB ini, tapi istilah ini sering diungkapkan publik dalam beberapa dekade belakangan ini.

Namun, dalam berbagai kajian psikologi, FWB dianggap sebagai gaya hubungan baru kasual yang mencampur aspek persahabatan dan fisik secara intim (Owen&Fincham, 2011).

Lalu, apakah perilaku tersebut memicu penularan HIV pada kelompok anak muda? 

Baca juga:

Andri (bukan nama sebenarnya) adalah seorang pemuda di Bandung yang mengaku terinfeksi HIV karena melakukan seks berisiko dengan pacarnya.  

Andri berkenalan dengan pacarnya di sebuah grup di media sosial. 

Perkenalan mereka berlanjut dengan hubungan pacaran yang intim.

Andri memutuskan setia, tapi pacarnya tidak.  Sang pacar sering berganti-ganti pasangan yang didapat dari aplikasi kencan. 

“Saya melakukan seks berisiko, tidak menggunakan pengaman,  tapi saya tidak berganti-ganti pasangan.  Jadi, saya pikir, ‘ah gak berganti-ganti pasangan, nggak akan tertular yang aneh-aneh’.  Padahal kita nggak tahu pasangan kita di belakang seperti apa,” ungkap pemuda 23 tahun itu.

Si pacar yang berusia setahun lebih tua kemudian meninggal dengan penyakit yang tidak diketahuinya.  

Andri mulai merasa curiga dan memutuskan melakukan tes HIV.  Hasilnya, Andri positif HIV. 

“Saya terpukul selama sebulan. Saya drop dan sampai sekarang pun (belum) menerima 100%.  Rasa sesal tetap ada,” ucapnya.  

Kendati demikian, Andri terus melanjutkan hidup dan disiplin mengonsumsi ARV.  

Saat ini, Andri mengaku virus di tubuhnya sudah dinyatakan “undetected” setelah menjalani terapi antiretroviral (ARV) selama empat tahun. 

Pola hubungan FWB, menurut Andri, sudah menjadi hal biasa di lingkungan pertemanannya. 

Biasanya diawali dengan pertemanan di aplikasi kencan lalu berlanjut dengan perilaku FWB.  

Ia sendiri menganggap FWB tidak berisiko ketika hubungannya hanya sebatas pelukan dan ciuman.  Namun, menurut Andri, banyak yang melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi.

 ”Di saat kita melakukan hubungan seks, terkadang anak-anak muda nggak berani untuk consent atau speak up ketika berhubungan seks oleh yang lebih tua tanpa menggunakan pengaman.  Jadi nggak ada keberanian untuk menolak hal tersebut [berhubungan seks tanpa alat kontrasepsi].  Jadi apapun yang dilakukan oleh pasangan yang umurnya lebih tua itu, anak-anak muda itu diam saja tidak ada perlawanan,” tutur Andri yang juga menuturkan pernah menemukan anak usia 13 tahun mempraktikkan hubungan FWB.  

“Sangat disayangkan manakala anak-anak tersebut melakukannya hanya karena dapat iming-iming sesuatu yang dia tidak punya atau diinginkan. Anak itu  tidak memikirkan risiko jangka panjangnya.  Perlu ada edukasi juga,” ucapnya. 

Ronald Jonathan, dokter peduli HIV/AIDS, berpendapat, kontribusi aplikasi kencan dan perilaku FWB  pada kenaikan kasus HIV di kelompok anak muda, jelas ada.  

Apalagi, jika masing-masing tidak mengetahui status HIV-nya dan melakukan hubungan seks tanpa pengaman.  Demikian halnya, bila berhubungan seksual dengan seseorang yang didapat dari aplikasi kencan. 

“Aplikasi-aplikasi kencan itu juga bisa berdampak buruk karena orang akhirnya ketemu orang, kemudian kalau mereka merasa cocok, mereka melakukan hubungan bisa dengan atau tanpa kondom tanpa tahu statusnya masing-masing, baik itu hubungan sejenis maupun lawan jenis, dan tidak berpikir panjang untuk risikonya,” tuturnya. 

Menurut Ronald, banyak yang tidak memahami, dalam infeksi HIV itu ada yang disebut masa jendela.  Masa antara terinfeksi HIV dengan kemunculan antibodi yang dapat terdekteksi selama tiga sampai 12 minggu. 

“Dalam tiga sampai 10 tahun sesudah terinfeksi HIV orang banyak yang tidak bergejala.  Jadi sehat-sehat saja, bisa tetap bekerja, bisa tetap berolahraga, tapi bisa menularkan.  Nah itu orang nggak ngeh.  Kadang-kadang yang konyol itu, ‘kan dok kelihatannya bersih’. Bersih gimana?  Kita itu tahunya seseorang  HIV atau tidak itu dari pemeriksaan darah.  Kalaupun negatif, kita harus yakin dia tidak di masa jendela,” kata Ronald yang aktif di isu HIV sejak 2004. 

Senada dengan Ronald, Ketua Pokja Remaja Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, Mawar Pohan menyatakan, aplikasi kencan dan media sosial mendorong terjadinya kenaikan kasus HIV pada kelompok anak muda. 

“Media sosial dan aplikasi memang berkontribusi.  Terkait dengan aplikasi, (membuat) frekuensi seks meningkat,  kemudian jumlah pasangan seks juga jadi meningkat.  Mungkin karena lebih mudah mendapatkan kontak pasangannya.” 

“Soal perilaku-perilaku itu semakin (dianggap) biasa.  ‘Friend with benefits is a common thing, banyak yang melakukan’. Itu bagian dari bad influence-nya media sosial kan,” kata Mawar yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi ini.

Baca juga:

Berbeda dengan kedua pendapat tersebut, dr Ira Dewi Jani selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Bandung mengungkapkan, pihaknya belum bisa memastikan keterkaitan antara tren prilaku tersebut dengan kenaikan angka kasus HIV pada kelompok muda.  

Ia beralasan, hingga kini belum ada data yang membuktikan asumsi tersebut.

 “Kami belum ada data yang menunjukkan bahwa di golongan umur 20-29 tahun itu, faktor risiko yang menyebabkan risiko (penularan HIV) itu apa.” 

“Jadi saya nggak bisa bilang, ini akibat pergaulan bebas karena harus ada datanya,” sebut Ira.

Melawan stigma demi mencegah HIV di kelompok anak muda

Kalangan muda menjadi salah satu target program pencegahan dan pengendalian HIV di Kota Bandung. 

Untuk kelompok usia tersebut, Dinas Kesehatan Kota Bandung memiliki program HEBAT (Hidup Sehat Bersama Sahabat) yang ditujukan bagi remaja di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang masuk ke mata pelajaran Bimbingan Konseling. 

“Tentu saja kontennya disesuaikan dengan umur mereka.  Materinya tentang kesehatan resproduksi, HIV, penyalahgunaan napza, hal-hal seperti itu,” ujar Ira. 

Selain itu, lanjut Ira, pihaknya gencar menginformasikan deteksi dini HIV. 

Saat ini, 80 UPT Puskesmas di Kota Bandung sudah bisa melayani tes HIV secara gratis. Namun, adanya stigma terhadap ODHIV (orang dengan HIV) menghambat program deteksi dini tersebut. 

Dinas Kesehatan Kota Bandung menemukan sejumlah alasan terkait keengganan warga melakukan tes HIV, antara lain anggapan tes HIV hanya untuk populasi berisiko, merasa sehat, takut terhadap anggapan negatif masyarakat, takut dikeluarkan pekerjaan apabila hasilnya positif, dan takut dikeluarkan dari sekolah.  

“Yang harus digarisbawahi adalah sekarang bagaimana caranya kita bisa mengurangi stigma dan diskriminasi sehingga orang sadar bahwa kalau HIV itu memang nggak bisa dikenali hanya dari tanda dan gejala saja, tapi hanya bisa ditegakkan oleh pemeriksaan tes HIV,” ujar Ira. 

Stigma dan diskriminasi juga menjadi perhatian KPA Kota Bandung, dalam hal ini terhadap kelompok remaja.  

Menurut Mawar, kelompok muda menghadapi beragam stigma, mulai dari stigma lingkungan hingga stigma pada diri sendiri.  

Stigma itu menyulitkan kelompok muda mengakses layanan kesehatan, bahkan hal sederhana sekalipun seperti membeli kondom. 

“Di lapangannya, kalau kita lihat pembicaraan soal kondom, masih lekat sekali stigma.  Bisa jadi akses mereka terhadap kondom tidak mudah, walaupun dijual di mana-mana, tapi tidak semudah itu mereka bisa beli karena masih ada stigma.”  

“Terkait akses mereka terhadap layanan kesehatan.  Contoh bisa saja mereka awalnya terkena infeksi menular seksual (IMS) dulu.  Tapi karena masih muda, belum menikah,  (muncul anggapan) ‘masa sih berobat kayak gitu?’  Sudah menikah saja masih malu berobat IMS, apalagi yang belum."

"Akhirnya dia tidak mengakses pengobatan.  Sementara IMS meningkatkan risiko dia terkena HIV.  Artinya, mereka harus diberikan layanan dan keterbukaan informasi yang lebih.  Kalau memang sekarang sudah banyak (kelompok muda yang terjangkit HIV), ya sudah sediakan kondom atau dipermudah untuk mendapatkan kondom,” papar Mawar. 

Sementara itu, imbuh Mawar,  pendidikan seks belum diberikan secara merata dan kualitasnya tidak sama. 

Padahal pendidikan seks pada remaja, menurut Mawar, bisa membuka ruang diskusi secara terbuka, misalnya mengenai kesehatan reproduksi.  

“Sehingga orang bisa lebih paham, kenapa dia berisiko dan apa yang bisa dilakukan terkait risiko itu.  Apakah menghindari atau mengurangi atau menghilangkan risiko itu.  Dia bisa menentukan pilihan itu, jika dia melakukan itu, dia tahu akan risikonya.  Itu kan perlu dibicarakan, nggak bisa informasi itu ditutupi lagi.  Jadi memang keterbukaan tentang pendidikan seksualitas itu penting.  Juga,  keterbukaan terhadap akses layanan terhadap anak muda yang lebih ramah tanpa melihat status pernikahan,” urai Mawar. 

Mawar menyebutkan, puskesmas di Kota Bandung sebenarnya sudah memiliki layanan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).  

Namun, kata Mawar, remaja belum  dibiasakan mengakses layanan kesehatan sendiri.  

“Misalnya, datang sendiri ke puskesmas, kalau dia punya masalah.  Itu juga masih jadi hambatan.  Banyak remaja yang belum bisa mengakses layanan itu,” sebutnya. 

Data UNAIDS menyebutkan, di Asia dan Pasifik, kurang dari 25% laki-laki gay muda dan laki-laki lain yang berhubungan seks dengan laki-laki dan remaja penasun menerima layanan pencegahan untuk melindungi diri mereka sendiri dan orang lain dari HIV.  

UNAIDS pun menyebutkan, penyerapan layanan pencegahan, tes, dan pengobatan HIV di kalangan populasi muda secara luas, tidak merata.  

“Stigma dan diskriminasi serta kurangnya layanan yang terdiferensiasi dan ramah  remaja adalah beberapa faktor yang menghambat respon HIV di kalangan populasi kunci muda,” cuit UNAIDS Asia Pacific, Senin (15/8).

Baca juga:

Hambatan lainnya terkait pencegahan dan pengendalian HIV pada kelompok muda diungkapkan Ronald Jonathan.  

Ia berpandangan, kelompok muda sebetulnya sudah mendapat informasi yang cukup banyak mengenai perilaku seks aman dan cara mencegah penularan HIV, tapi informasi itu tidak diiringi dengan kesadaran atau perubahan prilaku. Padahal mereka paham apa itu HIV dan bagaimana cara mencegah penularan HIV. 

“Kadang-kadang anak muda itu kalau sudah keburu nafsu, nggak berpikir lagi soal (seks aman) seperti ini.  Walaupun sudah dikasih tahu.  Selalu berpikirnya ‘oh itu orang di luar sana, bukan saya’. Merasa dirinya bersih, merasa dirinya aman, tapi bersih dan amannya dalam tanda kutip,” kata Ronald.  

Selain penggunaan kondom, ungkap Ronald, pemerintah sebetulnya sudah mulai menjalankan program Pre-exposure Prophylaxis (PrEP) atau penggunaan obat antiretroviral (ARV) oleh seseorang yang tidak terinfeksi HIV, sebelum terpapar HIV, dan bertujuan agar ia tidak terinfeksi HIV.  

Jika dikonsumsi dengan dosis yang tepat, PrEP dapat mengurangi risiko tertular melalui hubungan seksual hingga lebih dari 90%.  Di Indonesia, layanan PrEP tersedia di Batam, Yogyakarta, DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Bandung, dan beberapa kota lainnya.  Di Bandung, layanan PrEP bisa diakses di Puskesmas Garuda dan Klinik Mawar. 

“Syarat PrEP itu dia minumnya pada saat HIV negatif.  Jadi sebelum diberikan, dia harus periksa darah dulu.  Jadi bisa aman (dari penularan HIV), walaupun seks tanpa kondom.  Tetapi yang harus diwaspadai,   PrEP itu hanya melindungi orang dari HIV, tapi tidak melindungi orang dari Hepatitis B dan C, infeksi menular seksual,  maupun Human Pappilloma Virus (HPV),” jelas Ronald. 

Karena itu, Ronald menyarankan agar tetap menggunakan kondom untuk mencegah penularan penyakit-penyakit lainnya yang juga bisa berakibat fatal jika terinfeksi.  

“Kalau kita bicara dalam konteks Indonesia, perlindungan dan pencegahan paling ideal adalah abstinence atau tidak melakukan seks di luar nikah dan saling setia,” tandas Ronald.

Wartawan di Bandung, Yuli Saputra, berkontribusi untuk artikel ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI