Suara.com - Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni merespons Keppres tentang Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato Sidang Tahunan MPR tuai kecaman.
Sahroni menilai keppres tersebut justru suatu bentuk pelengkap dalam upaya penyelesaian kasus HAM di tanah air. Menurutnya, jalur hukum selalu menjadi pilihan utama dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat.
"Menanggapi berbagai seruan di masyarakat, kami di Komisi III melihatnya penyelesaian nonyudisial ini adalah pelengkap. Jadi Kalau kata komnas HAM ini alternatif, kalau menurut saya ini pelengkap," kata Sahroni dalam keterangannya, Kamis (18/8/2022)
"Artinya, ini melengkapi proses hukum yang sudah ada, agar penyelesaiannya bisa lebih holistik, namun tidak berlarut-larut dan melelahkan. Namun tetap saja pilihan utamanya adalah melalui jalur hukum, Saya kira tidak jelek," sambungnya.
Ia mengklaim, pemerintah terus memproses hukum kasus HAM berat yang tengah ditanganinya. Ia mencontohkan seperti kasus dugaan pelanggaran HAM di Paniai yang telah naik ke tahap penyidikan di Kejaksaan Agung.
"Pada faktanya, penyidikan atas kasus HAM masa lalu terus berjalan di kejaksaan. Selain itu, Pak Jokowi sendiri sudah menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan berbagai dugaan pelanggaran HAM di masa lalu," ujarnya.
Menurutnya, Jokowi telah berkomitmen untuk serius menyelesaikan berbagai dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Jadi dalam hal ini, saya yakin pak Jokowi serius dan sekali lagi, penyelesaian nonyudisial itu hanya pelengkap semata," pungkasnya.
Kecaman
Baca Juga: Komnas HAM Pastikan Saksi Kasus Pelanggaran HAM Paniai Tidak Terbebani
Sebelumnya, dalam pidato di acara Sidang Tahunan DPR-MPR-DPRD pada Selasa (16/8/2022), Presiden Jokowi menyampaikan komitmennya terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Jokowi menyampaikan, Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah ditanda tangani.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, nukilan pidato Jokowi itu sebagai klaim keliru. Bahkan, hal tersebut bertolak belakang dengan realita kondisi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.
"Setelah hampir delapan tahun era pemerintahan Presiden Jokowi, kondisi penyelesaian beban Bangsa Indonesia ini justru mengalami kemunduran," kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam pesan singkat, Kamis (18/8/2022).
Usman mengatakan, Jokowi ingkar janji dengan belum tuntasnya pelanggaran HAM berat, mengangkat para penjahat HAM menjadi pejabat, hingga kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai ketentuan hukum dan berperspektif terhadap korban.
Kemunduran itu juga membuktikan bahwa Jokowi memang tidak memiliki political will --kehendak politik-- untuk menuntaskan Pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Pernyataan 'menjadi perhatian serius' dalam pidato tersebut dapat kita nilai sebagai kepura-puraan presiden semata," sambungnya.
Usman melanjutkan, hingga kini hanya satu kasus pelanggaran HAM berat yang kini naik ke persidangan, yakni Peristiwa Paniai 2014. Namun, hal tersebut tetap menjadi kontroversi mengingat hanya ada satu terdakwa.
Selain itu, penentuan lokasi pengadilan di Makassar, Sulawesi Selatan serta minimnya pelibatan korban menjadi catatan buruk. Usman menyebut, pengadilan HAM itu diprediksi gagal menghadirkan keadilan bagi publik dan mengulang tiga proses sebelumnya yang tidak menghukum satu pun pelaku.
"Tentu kita juga masih ingat bagaimana Jaksa Agung yang Presiden pilih yakni ST Burhanudin malah melawan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II di Pengadilan Tata Usaha Negara padahal telah keliru menyatakan bahwa kasus tersebut bukanlah pelanggaran HAM berat," tegas Usman.
Koalisi Masyarakat Sipil juga berpendapat, pernyataan Jokowi mengenai proses pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu ditelisik lebih jauh. Sejauh ini prosesnya tidak melibatkan partisipasi publik utamanya para penyintas dan keluarga korban.
Menurut Usman, tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai korelasi antara fungsi KKR dan peranannya dalam proses hukum di Pengadilan HAM.
Pengalaman dibatalkannya UU 27/2004 tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi tidak juga membuat pembahasan mengenai bentuk KKR yang sesuai dengan ketentuan hukum dan HAM secara internasional untuk kepentingan korban dan publik tak membuat prosesnya bisa diakses oleh publik.
"Perihal Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu juga melahirkan sejumlah polemik yang berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia," tegas dia.
Keppres tersebut secara tegas, lanjut Usman, memperlihatkan bahwa Pemerintah mengutamakan mekanisme non-yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal itu dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap sudah menuntaskan pelanggaran HAM berat.
Fakta tersebut tidak dapat dipungkiri terjadi akibat adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan hari ini. Perihal efektivitas yang didasari oleh tugas dan fungsi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ini juga patut dipertanyakan.